Semangat sekali Kemala sore ini. Bagaimana tidak? Hari ini ia punya kesempatan, tepatnya alasan untuk singgah di rumah Pak Yasin, atasannya.

Pak Yasin yang ganteng. Pak Yasin yang menurut cerita penuh perhatian terhadap keluarga. Ia tak pernah mau pulang terlambat karena tak mau anaknya telantar. Ia mau membantu pekerjaan rumah istrinya karena mereka sama-sama pekerja. Memasak dan mengepel bukan hal yang tabu baginya. Begitu selalu cerita Pak Yasin kepada Kemala.

"Masih menunggunya?"
Aku mengangguk.
"Mengapa tak kaubalas saja pesan-pesannya?"
"Aku menunggunya mengirimkan pesannya yang kesepuluh."
"Sekarang pesan  keberapa yang engkau terima?"
"Kesembilan. Kurang satu lagi."


Rinai datang petang ini,
memberikan kecupan basahnya kepada bumi.

Bumi pun menyambutnya dengan mesra,
ia uapkan aroma tanah nan membius dari tubuhnya.

Wahyu
Melihatnya lagi di usia mendekati senja, bukanlah kehendakku. Setelah sekian lama bertugas ke Nusa Tenggara Timur untuk melupakan luka hatiku, tiba-tiba saja aku harus pulang karena satu alasan: daerah rawan konflik. Ya, di sana memang sering terjadi pertentangan antaretnis ataupun antaragama. Dan aku diperbolehkan atau mungkin tepatnya dipaksa pulang ke Jawa.

Di Jawa, aku bertugas di sebuah SMP. Entah mengapa, akhirnya aku menjadi orang kepercayaan kepala sekolahku. Akhirnya aku pun disuruh maju sebagai guru berprestasi.Menang. Tahun berikutnya, disuruh maju pula untuk ikut tes calon kepala sekolah. Berhasil pula. Dan di sini, kutemui wajahnya lagi.
Masih cantik, namun ada gurat duka di wajahnya. Hidupnya berat, itu yang aku tahu. Jangan ditanya lagi tentang perasaanku. Dialah satu-satunya perempuan yang pernah mengisi hatiku. Meskipun jantungku sudah cukup tua, namun dia bisa berdenyut lebih kencang jika kutengah melihatnya.


Wahyu

Aku pernah mengenalnya di suatu waktu yang lalu. Mahasiswi baru yang lucu. Matanya itu, lho. Menyimpan magnet yang demikian besar untuk selalu ditatap. Dan ia menatapku dengan penuh rasa takut. Ah, tak tega rasanya melihatnya ketakutan. Kuberi sedikit senyum terbaikku. Ospek bukan sarana intimidasi. Aku ingin membuatnya lebih nyaman dengan kampus barunya.

Hari-hari berlalu dengan balutan warna merah muda nan segar. Ceria rasanya. Setiap bertemu kami akan terlibat obrolan ringan dan panjang. Tak ada henti, gadis itu selalu enak untuk diajak bicara. Nyambung. Selalu kukagumi, alangkah cerdasnya ia. Lalu lahirlah proklamasi hubungan kami: pacaran sehat.


Santi
“Ha? Kepala Sekolah baru? Mendadak sekali?Pak Bardi dipindah ke mana?” tanyaku beruntun kepada Bu Neny ketika dia menceritakan ada kepala sekolah baru lewat telepon pagi ini. Aku memang sedang tak berada di sekolah karena mendapat tugas diklat selama 4 hari di LPMP.

“Panjang ceritanya,” jawab Bu Neny dari seberang sana. “Yang jelas, Kepala kita yang baru masih muda, lho. Paling sekitar 2-3 tahunan di atasmu.”


Anak laki-laki tanggung itu berdiri di hadapanku.  Anak yang cakap. Tampan sekali. Kulitnya  bersih. Rambutnya hitam ikal. Hidungnya mancung, bibirnya merah alami. Namun, sorot matanya sayu. Wajahnya menunduk. Kedua tangannya terkulai jatuh. Matanya berkaca-kaca.

Aku hanya diam memandangnya. Qoyyum namanya. Nama yang bagus, diambil dari asma’ul husna. Namun, baru saja ia kumarahi karena alasan yang keterlaluan: menempeleng adik kelasnya sampai berdarah-darah. Ini sekolah, bukan tempat tawuran. Dan aku tak bisa memaklumi hal ini.

Nadia duduk di beranda rumah sambil melihat kedua anaknya bermain di halaman. Senang benar hatinya melihat kedua buah hatinya rukun bermain. Nina, yang besar, sudah bisa momong adiknya. Ia hanya tinggal mengawasi saja. Ah, anak itu sudah banyak berubah. Dulu ia rewel sekali, tapi sekarang sudah agak mandiri.

Namun, tiba-tiba ia mendengar teriakan Nina. “Adik, gimana, sih. Susah banget diomongin. Mau pakai cara kasar atau halus?”

Sore yang penat, matahari sudah hendak masuk ke peraduan. Layung-layung jingga menghias kaki langit di ufuk barat. Indah tetapi mengandung misteri, begitu selalu pikirku tentang senja. Entahlah, aku tak suka senja. Kata simbah, ada candikala di kala senja.Namun, melihat senja dari teras rumah selalu menjadi ritual kesukaanku menjelang malam, sembari melepas penat setelah lelah bekerja seharian. Itu kalau aku bisa pulang sebelum magrib. Kalau tidak, berarti aku masih di kantor berkutat menyelesaikan pekerjaanku.

Biasanya, aku duduk di teras rumah sambil menikmati majalah yang belum sempat kubaca. Tentu, dengan teman secangkir teh dan camilan. Kue sagon. Kue tradisional yang berasa dari ketan, gula, dan kelapa ini menjadi jajanan favortiku sejak kecil. Nenek sering membuatkanku dulu. Sekarang, sejak nenek tak ada, aku selalu memesannya dari tetangga nenek, yang dulu sering membantu nenek membuat sagon.

13020196861702805975
by google
Lara tertidur dengan air mata mengering di pipinya. Baru saja ia dimarahi mamanya karena tak mau menggosok giginya dulu sebelum tidur. Menggosok gigi sebelum tidur? Ah, bikin ngantuknya hilang saja. Padahal kalau kantuknya telah hilang, ia akan susah tidur.
Namun, mamanya selalu memaksa gadis kecil yang duduk di kelas 2 ini untuk sikat gigi. Biar nggak berlubang, kata Mama. Dan hari ini ia menolaknya mentah mentah. Ah, malas. Mamanya marah dan ia pun ngambeg. Masuk kamar, lalu mengunci pintu. Tertidurlah ia dengan air mata mengering di pipinya.

Dalam tidurnya, ia mimpi bertemu seseorang. Ah, bukan seseorang. Sesuatu. Sebuah gigi, seperti gigi yang ia punya. Kok hanya sebuah? Ya, memang. Gigi ini ternyata memiliki  sepasang kaki, tangan, mata, telinga, hidung satu, dan mulut yang juga satu.


1305991911844100287
dari google
Sepi. Hujan di luar belum lagi deras. Namun, kabut tipis yang menebarkan aroma galau tampak terasa di hati Ilham. Galau hatinya terbawa gerimis yang turun setitik demi setitik. Kegelisahan merejam hatinya di ujung penantiannya. Ya, penantiannya atas sebuah kabar.
Tak pernah begini. Biasanya sms-nya selalu berbalas. YM-nya selalu bersambut. Facebooknya selalu berjawab. Kalau bukan ia yang menghubungi, pasti gadisnya yang akan menyapanya terlebih dahulu. Sekadar say hai, sekadar mengingatkan makan siang, atau justru sekadar laporan peristiwa apa yang sedang dilakukannya. Di mana dia?

Seingatnya, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya untuk menyakiti gadis itu. Ya, Moza terlalu baik untuk disakiti. Dia selalu menerima Ilham dengan segala kelapangan dadanya. Memberinya perhatian berlebih, atau hanya sekadar senyum hangat pembangkit semangat.

Dikenalnya gadis itu suatu masa yang lalu, di sebuah tempat beraroma kabut. Baginya, menikmati kabut, menciumnya dalam putih yang gelap merupakan suatu hal yang sangat menggairahkan. Dan ia menemukan kesukaan yang sama dari gadis itu. Mereka menikmati putihnya kabut dalam nuansa cinta yang tak terpahami.

“Lala tak masuk latihan lagi hari ini, Don?” tanya Pak Noor kepada Dona.
“Nggak, Pak, “ sahut  Dona. “Sudah dua kali latihan ia absen terus. Sayang, ya Pak.”
“Iya, Don. Padahal bakatnya sangat bagus. Sayang kalau tak diasah. Bapak yakin, kalau dia mau  lebih rajin latihan, POPDA yang akan datang ia pasti akan memperoleh emas di tingkat provinsi.”
Dona diam saja. Lala memang atlet kesayangan Pak Noor di Klub Atletik Sportif ini. Mereka tidak berasal dari satu sekolah sehingga Dona tak tahu keseharian Lala. Yang ia tahu, Lala sangat berbakat. Meskipun jarang latihan, Dona tak pernah bisa mengalahkan Lala setiap Pak Noor mengetes kemajuan latihan mereka.



Di sebuah desa, tinggallah seorang janda tua. Namanya mbok Randha Dadapan. Ia hidup seorang diri di rumah kecilnya yang berada di tepi hutan.  Pekerjaan sehari-hari adalah mencari kayu bakar di hutan, lalu menjualnya ke pasar. Setiap hari ia mencari kayu bakar di hutan. Keesokan harinya, ia membawanya ke pasar. Begitu terus yang ia lakukan.

Setiap pergi ke hutan, ia harus melewati sebuah sungai yang cukup lebar tetapi dangkal. Di sana pula ia membasuh tubuhnya yang lelah setelah lelah bekerja seharian.

Hari itu, sepulang dari hutan mencari kayu bakar, Mbok Randa Dadapan singgah ke sungai untuk sekadar membersihkan tubuhnya. Tiba-tiba dilihatlah sebuah benda berkilau di dalam air. Diambilnya benda itu. Ternyata sebuah keong. Keong itu berwarna kuning keemasan, tampak berkilauan diterpa sinar matahari. Mbok Randa pun tertarik untuk membawanya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah,  Mbok Randha meletakkan keong itu pada tempayan.



“Bangun, Nak, sudah hampir imsak,” kataku.
“Masih ngantuk, Bunda, mau tidur lagi,” katamu sambil membalikkan tubuhmu.
“Lho, kemarin kan kamu semangat, bisa bangun sendiri.” Kamu masih tetap terlelap.

Aku pun mengangkatmu dan mendudukkanmu di kursi makan.
“Minum teh anget dulu,” kataku.
Engkau pun meminumnya.
“Segar?” Engkau mengangguk. “Sini Bunda suapin.”


Kau datang
Bersama embun pagi membulat di pucuk daun
Kau datang
Mengoyak hangatnya hening malam
Kau datang
Melesak memenuhi ruang ruang hampa hatiku
Kau datang
Mengundangku untuk menemui Dzat Pengisi Ruang Hampaku
Subuh…
Kutunggu kedatanganmu dalam syahdunya hatiku



Malam sudah mulai melarut. Semakin malam semakin sunyi. Terselip ingatan tentang apa yang telah kulakukan saat lalu. Ah, mengapa penyesalan itu begitu menghimpit dada?

Kadang laku, tak sejalan dengan nurani. Emosi diri telanjur bersimaharajalela dalam hati. Tinggal puing puing penyesalan merayap, meyelusur, menembus palung hati yang paling dalam.

Tuhanku, aku tergugu dalam seduku. Ampuni aku, ya Allah. Alangkah susahnya menahan diri, dan setan telah bertepuk tangan atasku.

Ampuni aku, Tuhan. Beriku kekuatan untuk bangkit dan berdiri lagi. Tegak menentang kerasnya hidup. Tak lagi rapuh menahan bujuk manis yang menyesatkan.

Seandainya,
ada sedikit saja pedulimu tentangku
tolong kabari aku di mana  kini hatimu

Seandainya,
ada sedikit saja rasamu padaku
tolong kabari aku tentang rasamu itu

Kita ini kepingan puzzle
yang berserak tanpa makna
jika tak disusun bersama
***
Kita ini kepingan puzzle
Meskipun berbeda namun tetap indah
jika kita tersusun bersama


Jika kata telah kehilangan makna
tak ada lagi yang kubisa
kecuali hanya
diam
membisu
dan beku
1302193232480743344

Deretan cemara,
udara sejuk,
alunan musik sunda,
suara alam
(ada gadis menari di ujung sana)
*
Kabut redup perlahan menggelayut
Dingin menelusup tubuh
(gadis  tepekur di sudut senja)
*
Kucium aroma asmara di sana
asmara penuh makna tiada tara
untaian puisi terukir mendesah jiwa
Adakah ia untukku?
Hanya asa
13056487981270420000



Kulitmu memang tak  sehalus sutera
Keriput tlah menyapamu di mana-mana
Gurat lelah di wajahmu tak dapat lagi engkau sembunyikan

Tubuhmu memang tak lagi tegak berdiri
Beratnya hidup  t’lah kenyang engkau lewati
Hidupmu penat membuatmu tak  kuasa lagi berdiri tegak menentang hari



Kupikir aku memang berjodoh dengannya. Hari itu kami bertemu di depan sebuah mal. Dia memakai baju merah bata, aku pun memakai baju dengan warna yang sama. Dia tersenyum padaku. Aku pun menganggukkan kepalaku padanya dengan mengulaskan sebuah senyum manis.

Di waktu lain, kami tiba-tiba bertemu. Kali ini di sebuah kafe. Kafe sepi yang terletak di ujung kota kami. Dia sendiri, aku sendiri pula. Dia memakai baju biru, aku pun demikian. Kali ini dia menghampiriku. Diulurkan tangannya padaku sambil menyebut namanya, “Reza.”

Ratna termenung di depan kaca  riasnya. Rambutnya masih terlihat acak-acakan. Raut mukanya tercenung serasa ada beban berat yang dipikirkan. Gelisah kelihatannya. Melihat Ratna gelisah seperti itu, Arman mendekati istrinya.

“Kenapa, Mah?”
Ratna menengok. “Ah, nggak ada apa-apa, Mas. Sudah dari tadi di sini?” sahutnya terkejut.
“Baru saja. Dan kulihat Mamah sedang asyik memandangi wajah Mamah di cermin. Masih cantik, kok.”
Ratna tersipu-sipu.  ”Ah, Mas bisa saja.”


Yang kutahu tentangmu adalah seorang lelaki dengan tatapan mata setajam elang. Kelam dan penuh kharisma. Tak pernah aku bisa mengelak dari tatapanmu jika hendakmu menatapku dengan penuh cinta dan gairah. Lelaki tampan dan tegap, berdada bidang yang kucintai dengan segenap hatiku, tempatku menumpahkan segala kesahku di kala gundah. Tempatku menyandarkan kepala di bahumu ketika raga ini terasa letih karena dilema yang menimpaku.



Surti masih duduk di dalam bus jurusan Jogja-Semarang. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Sesekali dihelanya nafas berat. Sungguh terasa beban berat menggayuti benaknya. Bukan beban ekonomi. Ia sudah terbiasa hidup dalam kesusahan. Kekurangan uang sudah menjadi hal biasa baginya.
Ia hanya tak kuasa mengingat dan menanggung beban perasaan yang baru saja dialaminya. Sungguh berat baginya menerima perlakukan kakaknya hari ini. Satu-satunya kakaknya, satu-satunya keluarganya yang masih tersisa.
Pagi tadi, pagi-pagi sekali ia berangkat ke Jogja untuk menemui kakaknya. Ia akan meminjam uang pada kakaknya. Sebenarnya ia tak hendak meminjam uang  kepada kakaknya, tapi ia butuh uang. Mungkin ia bisa menjaminkan tanah peninggalan kedua orang tuanya yang terletak di samping rumah warisan yang kini ditempati kakaknya. Pikirnya, kakaknya pasti mau.




Zoom in
Sebuah sudut di tengah kota, di emperan pasar terbesar di Karesidenan X

Subuh merangkum bumi. Gelap setengah temaram. Di sisi jalan gelandangan membungkus raga kumalnya dengan secarik sarung  yang keriting.  Harusnya dingin. Tapi secepat angin membawa nyala api, secepat itu pula panas meruap menyentuh kulitnya. Kebakaran!
Ia pun lari tunggang langgang, berteriak teriak. Sekejap, penduduk berdatangan. Tak memedulikan kantuk yang masih menggayut, mereka datang dengan ember berisi air, karung berisi pasir, dan apa pun yang bisa mereka gunakan untuk memadamkan api.
Pemilik kios datang dengan tergopoh gopoh.
“Kenapa?  Ada apa?  Sepuluh tahun kami di sini aman-aman saja.”
Siang tak begitu terik. Suasana sekolah tak seberapa ramai karena jam istirahat baru saja selesai. Angin sepoi yang menyentuh sudut kerudungku tak bisa menepiskan gerah di hati ini.  Beberapa lembar foto gadis berpakaian seronok ada di atas meja kerjaku. Foto gadis yang sama dengan gadis muda yang sekarang tengah duduk di depanku.

Dia menunduk ketika kuperlihatkan foto itu. Rupanya ia tak bisa lagi mengelak tuduhan teman-temannya yang mengatakan bahwa ia menjual dirinya untuk mendapatkan segenggam uang, untuk memperoleh gadged mahal, aksesori cantik,  tas bagus, sepatu keren dan tentunya uang saku yang lebih banyak ketimbang teman sebayanya. Pelan, kuambil nafas panjang. Tahan emosi, batinku. Ini anak orang. Tugasku untuk mendidiknya, bukan memarahinya.

Sudah menjadi kebiasaan Purnami untuk mengikuti upacara peringatan Kemerdekaan Republik tercinta ini setiap tanggal 17 Agustus di lapangan desa. Lapangan desa yang letaknya sekira satu kilometer dari tempat tinggalnya. Bukan sebagai peserta di tengah lapangan, bukan juga sebagai undangan. Dia hanya mengikuti upacara itu dari tepi lapangan, di sisi jalan bersama penduduk yang lain. Namun, jangan ditanya bagaimana khidmatnya ia mengikuti jalannya upacara itu. Mungkin khidmatnya Purnami justru melebihi para peserta upacara yang ada di lapangan itu. Setiap Sang Saka Merah Putih dikibarkan, ia akan berdiri tegak dan menghormat bendera, tak peduli teman-temannya menertawakannya.

Siapa Purnami? Tentu ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang perempuan, janda penjual nasi berusia 35 tahun dan memiliki seorang anak yang bernama Guntur. Tentu juga bukan siapa-siapa. Kalau dia siapa-siapa pasti jadi tamu undangan dan duduk di panggung kehormatan. Tapi Mbah Joyo, kakeknya dulu seorang pejuang dan ia mewarisi semangat juang yang setiap hari digembar-gemborkan oleh kakeknya semasa hidupnya.
Telepon dari Nah siang ini benar-benar mengagetkanku. “Mbah Ti baru saja pulang, Bu… Naik bus, katanya. Sudah saya tahan, tetapi tak tetap tak mau nunggu Ibu dulu.”

Mbah Ti, sebutan kami untuk ibuku, baru 2 hari mengunjungi rumah kami. Belum sempat bercengkerama panjang lebar, karena datangnya pas di hari Senin. Hari supersibuk dalam kehidupan kami. Biasanya, setiap kali berkunjung, paling tidak seminggu atau dua minggu di rumah. Setelah itu, beliau akan pulang ke rumah atau ke tempat kakak yang lain. Sejak ayahku meninggal, memang ibu tak selalu berada di rumah induk, rumah tempat kami dibesarkan dulu.

Kalau baru 2 hari Ibu sudah memutuskan untuk pulang, berarti ada hal tak mengenakkan yang terjadi. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Tapi kenapa? Perasaan, kemarin tak ada masalah sama sekali. Sepulang kantor, kami bicara baik-baik. Meskipun tak lama, kami sempat bercerita tentang kampung halaman, bercerita tentang keadaan keluarga dan tetangga di sana. Tak ada yang salah. Kalau rumah agak sepi, ini memang karena Mas Anto, suamiku, sedang dinas di luar kota. Nina, anak sulungku, sedang kemah bersama teman-teman sekolahnya dalam rangka mengisi liburan semester dan Andre, adiknya, sedang sibuk menghadapi lomba pelajar teladan tingkat nasional. Setiap pagi ia harus ke rumah gurunya untuk digembleng di sana.
Malam hari telah menjelang. Senja yang jingga telah berganti dengan kelamnya malam. Setelah melewati perjalanan yang panjang seharian mengedarai Mercy kesayangannya, sampailah Harun di tempat yang ia tuju. Sebuah tempat kumuh di tepi tempat pembuangan akhir sampah. Di tempat itu sudah didirikan bangunan semi permanen untuk menampung keluarga yang tinggal di sana. Pemerintah di kota itu memang telah merestui pendirian bangunan untuk para pemulung itu, agar hidup mereka sedikit lebih layak daripada hanya tidur bergulung dalam rumah kardus atau emper-emper toko. Toh mereka juga berjasa untuk membersihkan sebagian sampah penduduk yang tiap hari semakin menumpuk itu.

Harun mendekati sebuah rumah petak di sana. Dilihatnya seorang anak kecil sedang duduk di depan tungku yang berada di dalam satu-satunya ruangan di rumah itu. Sebuah ketel hitam kena arang bertengger di atas tungku arang itu. Sang ibu, tampak sibuk merajang bahan masakan yang hendak dibuatnya untuk si anak. Keduanya sama-sama kumal. Kulit mereka hitam terpanggang matahari.

“Masih lama, Mak? Udin lapar, nih,” rintih si anak.

“Sebentar, Din. Emak juga lapar, kamu cobalah tidur sana, nanti kalau sudah matang emak bangunkan kamu.”

Harun miris melihat pemandangan itu. Segera dialihkannya pandangannya ke tempat lain. Sebuah rumah petak di sisi kiri rumah si Udin. Agak rapi, sedikit lebih bersih daripada rumah Udin yang benar-benar kumuh.
Malam belum lagi larut. Desau daun bambu di musim kemarau terasa menyayat hati. Aku duduk sendiri di ruang depan rumah kecilku sambil melipat pakaian yang kering terjemur tadi siang. Sepi. Seisi rumah sudah tidur kecuali aku. Di bilik sebelah, emak kulihat sedang ngeloni Sari, anakku. Sudah menjadi kebiasaan Sari untuk tidur bersama emak jika kebetulan emak sedang menginap di rumah.

Ah, emak. Ia sudah semakin tua sekarang. Sudah mencapai 70 tahun. Raganya tak sekuat dulu, tubuhnya telah nampak letih, rambutnya sudah dipenuhi uban, tetapi sorot matanya tetap memancarkan kasih sayang dan kedamaian.

Kemarin siang emak datang. Ini memang sudah kami rencanakan sejak dulu. Emak datang ke tempatku, dan dua hari lagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis kandungan untuk memasang cincin di rahimnya. Ya, sejak dua tahun lalu, emak memang mengalami turun rahim. Jaringan penyangga rahimnya sudah sedemikian rapuh sehingga tak kuat lagi menyangga rumah tempatku bersemayam selama sembilan bulan dulu. Rumah hangat yang membuatku enggan keluar sehingga aku menangis menjerit-jerit ketika dipaksa keluar dari rahim emakku dan dipaksa menikmati kerasnya dunia yang hingga kini masih kurasakan sejak lebih dari tiga puluh tahun kelahiranku.