Wahyu
Melihatnya lagi di usia mendekati senja, bukanlah kehendakku. Setelah sekian lama bertugas ke Nusa Tenggara Timur untuk melupakan luka hatiku, tiba-tiba saja aku harus pulang karena satu alasan: daerah rawan konflik. Ya, di sana memang sering terjadi pertentangan antaretnis ataupun antaragama. Dan aku diperbolehkan atau mungkin tepatnya dipaksa pulang ke Jawa.

Di Jawa, aku bertugas di sebuah SMP. Entah mengapa, akhirnya aku menjadi orang kepercayaan kepala sekolahku. Akhirnya aku pun disuruh maju sebagai guru berprestasi.Menang. Tahun berikutnya, disuruh maju pula untuk ikut tes calon kepala sekolah. Berhasil pula. Dan di sini, kutemui wajahnya lagi.
Masih cantik, namun ada gurat duka di wajahnya. Hidupnya berat, itu yang aku tahu. Jangan ditanya lagi tentang perasaanku. Dialah satu-satunya perempuan yang pernah mengisi hatiku. Meskipun jantungku sudah cukup tua, namun dia bisa berdenyut lebih kencang jika kutengah melihatnya.


Menatapnya diam-diam dari luar kelas ketika ia mengajar, melihatnya dari jendela kaca jika ia sedang bersenda gurau dengan teman-teman, atau sedang beramah tamah dengan murid-murid akhirnya menjadi kebiasaanku yang kurasa sangat menyenangkan. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa sedang jatuh cinta lagi. Ingatanku melayang pada masa lebih dari dua dekade lalu: ternyata rasanya jatuh cinta masih sama, ya.

Adakah ia juga menyimpan perasaan yang sama terhadapku? Kupikir masih, meskipun ia berusaha menyembunyikannya dariku, dari teman-teman, bahkan dari dirinya sendiri. Lihat, ia sering diam-diam memandangku pula, namun selalu dibuangnya pandangan jika aku memergokinya. Lihat, ia selalu begitu kikuk di depanku. Lihat, dia sering tersipu-sipu jika kutatap mata beningnya. Bukankah dia masih mencintaiku?

Akan kulamar ia pada orang tuanya untuk memenuhi janji yang pernah kuucapkan dulu kepadanya. Ya, sebelum orang lain mendahuluiku.
***
Santi
“Jangan,” itu yang kukatakan. Namun, aku takkan pernah bisa menolaknya. Lihat tatapannya yang masih setajam dulu.  Lihat, betapa sinar kerinduan begitu memancar dari tatapannya yang selama ini selalu disembunyikan.

Setelah lebih dari dua puluh tahun berpisah, dan selama beberapa minggu bekerja sebagai bawahannya, baru siang itu aku bertatap muka langsung dengannya, empat mata. Betapa aku pernah begitu merindukan tatapan mata itu, untuk menemai malam-malamku yang senantiasa dingin dan beku.

“Aku sudah tahu semuanya,” katanya. “Seandainya engkau perbolehkan, aku akan mengobati semua lukamu selama ini.”

Aku menunduk kelu. Kata ‘jangan’ itu memang terucap dari bibirku. Pelan. Nyaris tak kelihatan. Tapi dia tak peduli. Aku tahu, dalam hatinya masih terdapat cinta untukku. Dan cinta untuknya? Tentu saja, ia selalu menempati sebuah sudut terdalam di palung hatiku. Di sudut paling dalam hingga tak ada seorang pun yang dapat melihatnya.

Sore tadi ia datang ke rumah, menawarkan cinta yang tertunda sekian lama. Ayahku pun mengangguk setuju. Dia tentu ingin juga melihat anaknya bahagia setelah sekian lama menahan lara hati atas penyesalan dan perasaan bersalah. Aku yakin, Mas Budi pun akan turut bahagia pula di alam sana.
Di ujung senja, kulihat cinta datang menawarkan bahagia.
(selesai)

0 komentar:

Posting Komentar