Santi
“Ha? Kepala Sekolah baru? Mendadak sekali?Pak Bardi dipindah ke mana?” tanyaku beruntun kepada Bu Neny ketika dia menceritakan ada kepala sekolah baru lewat telepon pagi ini. Aku memang sedang tak berada di sekolah karena mendapat tugas diklat selama 4 hari di LPMP.

“Panjang ceritanya,” jawab Bu Neny dari seberang sana. “Yang jelas, Kepala kita yang baru masih muda, lho. Paling sekitar 2-3 tahunan di atasmu.”

“Asal bijaksana saja,” sahutku menimpali.

Kepala Sekolah baru bukan hal yang aneh bagiku. Selama mengajar di sekolahku sekarang, sudah empat kali berganti kepala sekolah. Namun, pergantian kepala sekolah baru ini cukup mengagetkan bagiku karena biasanya sehari dua hari sebelumnya sudah ada desas desus. Tapi, kemarin ketika aku berangkat, sama sekali tak ada kabar itu.
***
Hari masih pagi ketika aku berangkat ke sekolah. Banyak barang bawaan tergantung di bagian depan motorku. Biasa, sepulang diklat pasti ada sedikit oleh-oleh untuk teman-teman sekantor. Belum sampai kustandarkan sepeda motorku, sebuah sapaan halus menyergapku, “Pagi, Bu Santi….”

Suara yang asing, namun samar-samar kuingat, aku pernah mendengarkan suara itu suatu saat yang lalu. Setelah kustandarkan sepeda motor, kulepas helm, dan kutengok si empunya suara. Blasss…. Serasa seribu halilintar singgah di kepalaku. Kuyakin, seandainya aku bisa becermin, mukaku pasti pias sekali.

“Mas Wahyu …,” gumamku lirih.

“Kenalkan, Bu, ini kepala sekolah kita yang baru,” kudengar suara dari arah yang lain. Ternyata Bu Siti, kepala TU yang sudah datang lebih awal dari aku.

Aku mengangguk ke arah si pemilik suara yang tadi menyapaku untuk menutupi rasa kagetku. Sekilas kuberi senyuman tipis kepadanya. Ia membalasnya dengan senyum yang tipis pula. Amboiii…. Senyum itu masih begitu manis.
*
“Gimana, ganteng, kan?” tanya Bu Neny kepadaku di kantin sekolah.

“Paling juga sudah suami orang,” sahutku cepat. “Buat apa ganteng kalau milik orang.”

“Eh, belum tahu, ya. Dia single, lho…”

“Haah… yang bener… Empat puluh dua tahun, belum menikah? Homo, kali…,” sahutku menutupi rasa kaget. Belum menikah?

“Hahaha… mungkin, ya,” kata Bu Neny termakan omonganku. “Ah, tapi kayaknya tidak, deh. Sikapnya biasa saja.”

Kami terdiam melanjutkan suapan kami.

“Eh… ya…,” kata Bu Neny tiba-tiba, “jangan-jangan pernah patah hati.”

Gleg. Suapanku terhenti. Patah hati? Dengan siapa?

“Kalau dia normal, mau nggak kamu menikah dengannya?” tanya Bu Neny lagi. Temanku yang satu ini memang cerewet dan sering mau tahu urusan orang. Tapi dia baik sehingga aku nyaman saja berteman dengannya.

“Menikah?” tanyaku. “Siapa yang mau menikah dengan janda beranak sepertiku…”

“Eittsss… tak boleh begitu. Janda juga manusia yang berhak bahagia. Jangan pernah menutup diri untuk kebahagiaan itu, Temanku yang cantikk…”

Bahagia? Masihkah ada bahagia untukku. Ah, tiba-tiba bakso ini terasa pahit. Kuletakkan mangkuk dengan menyisakan suapan terakhir.
(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar