Nadia duduk di beranda rumah sambil melihat kedua anaknya bermain di halaman. Senang benar hatinya melihat kedua buah hatinya rukun bermain. Nina, yang besar, sudah bisa momong adiknya. Ia hanya tinggal mengawasi saja. Ah, anak itu sudah banyak berubah. Dulu ia rewel sekali, tapi sekarang sudah agak mandiri.

Namun, tiba-tiba ia mendengar teriakan Nina. “Adik, gimana, sih. Susah banget diomongin. Mau pakai cara kasar atau halus?”

Deg. Nadia terkesiap. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa berkata seperti itu? Tiba-tiba ia ingat, beberapa hari lalu ia marah-marah pada Nina hanya gara-gara anak itu rewel tak mau mengerjakan PR yang diberikan gurunya. Maunya, Nadia yang mengerjakan dan ia tinggal meniru.  Tapi Nadia menolaknya karena ia tahu, itu bukan proses belajar yang baik. Dan pecahlah tangis yang tak berhenti dari Nina.

Melihat tangisan Nina sudah menjadi histeria, Nadia pun terbawa emosi. Dibentaknya anaknya, “Nina, mau pakai cara kasar atau halus?!”

Melihat mamanya marah, Nina pun terdiam. Sambil terisak-isak, dikerjakannya PR-nya sendiri. Nadia pun melemah. Diusapnya kepala anak itu dengan lembut. Menurutnya, selesai sudah persoalan yang muncul. Sampai hari ini, tiba-tiba saja Nina berkata kepada adiknya persis seperti yang diucapkannya kepada Nina dulu.

Dia lupa bahwa anak adalah cermin. Cermin terhadap apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Dan cermin itu harus ia rawat dengan sebaik-baiknya. Jika ia memegangnya terlalu keras, retaklah ia. Jika ia memegangnya dengan terlalu lemah, lepaslah ia. Ah, semoga ia bisa memperbaiki cerminnya yang telanjur retak.

0 komentar:

Posting Komentar