Kupikir aku memang berjodoh dengannya. Hari itu kami bertemu di depan sebuah mal. Dia memakai baju merah bata, aku pun memakai baju dengan warna yang sama. Dia tersenyum padaku. Aku pun menganggukkan kepalaku padanya dengan mengulaskan sebuah senyum manis.

Di waktu lain, kami tiba-tiba bertemu. Kali ini di sebuah kafe. Kafe sepi yang terletak di ujung kota kami. Dia sendiri, aku sendiri pula. Dia memakai baju biru, aku pun demikian. Kali ini dia menghampiriku. Diulurkan tangannya padaku sambil menyebut namanya, “Reza.”


Aku menyambut uluran tangannya dengan sebuah senyuman.
“Baju kita sama,” kataku.

“Mungkin kita memang berjodoh,” katanya suatu ketika, kali itu kami bertemu dalam sebuah pameran. Pameran kebudayaan dalam rangka ulang tahun kota kami. Kami pun berbaju sama. Sama sama memakai kaos berwarna hitam.

Aku hanya tertawa. Jodoh? Sedemikian mudahkah menemukan jodoh hanya karena kebetulan berbaju sama pada kesempatan yang berbeda.

“Tak mungkin kita tak berjodoh. Lihatlah, baju kita selalu sama setiap kita bertemu, meskipun tanpa sengaja.”

Aku tertawa.
“Lihatlah betapa serasinya kita. Aku tinggi, kamu tinggi. Kata orang, aku tampan. Kamu cantik. Selera kita sama. Dan orang seperti kamulah yang senantiasa kurindukan setiap waktu,” katanya suatu hari ketika dalam kesempatan keempat kami bersua lagi, dalam warna baju yang sama pula. Kali ini kami bisa ngobrol lebih akrab karena ia yang menghampiriku ketika aku sedang duduk di bawah sebuah pohon rindang di pojok alun-alun.

Aku tertawa lagi.
“Kenapa selalu tertawa?”  tanyanya sambil mengerutkan kening.
Kutepukkan tanganku pada bahunya.

“Kita memang berjodoh,” kataku. “Jodoh dalam warna pakaian. Tapi hari ini aku sedang menunggu anakku. Apakah engkau masih menyangka kita berjodoh?”
Dia pun ternganga  di depanku.

(gambar dari google, sengaja cara nama yang sama, hehehe)

0 komentar:

Posting Komentar