Surti masih duduk di dalam bus jurusan Jogja-Semarang. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Sesekali dihelanya nafas berat. Sungguh terasa beban berat menggayuti benaknya. Bukan beban ekonomi. Ia sudah terbiasa hidup dalam kesusahan. Kekurangan uang sudah menjadi hal biasa baginya.
Ia hanya tak kuasa mengingat dan menanggung beban perasaan yang baru saja dialaminya. Sungguh berat baginya menerima perlakukan kakaknya hari ini. Satu-satunya kakaknya, satu-satunya keluarganya yang masih tersisa.
Pagi tadi, pagi-pagi sekali ia berangkat ke Jogja untuk menemui kakaknya. Ia akan meminjam uang pada kakaknya. Sebenarnya ia tak hendak meminjam uang  kepada kakaknya, tapi ia butuh uang. Mungkin ia bisa menjaminkan tanah peninggalan kedua orang tuanya yang terletak di samping rumah warisan yang kini ditempati kakaknya. Pikirnya, kakaknya pasti mau.

baca selengkapnya...
Ia memang sedang butuh uang. Anaknya yang sulung sudah diterima masuk Undip. Biaya masuknya amatlah besar. Tak cukup bayaran suaminya sebagai buruh swasta  untuk membayarnya. Ia sendiri tak bekerja. Padahal anaknya sangat berharap bisa kuliah. Toh, nanti bisa disambi kerja, kata anaknya. Yang penting masuk dulu.
Ia tahu, anaknya anak yang pintar. Rajin pula. Ia tak kuasa menolaknya. Demi anaknya, ia pun berangkat ke Jogja untuk menemui kakaknya. Ia yakin, Kang Jaya pasti mau untuk meminjamkan uang 10 juta itu. Sepuluh juta, tak banyak bagi Kang Jaya yang juragan bakpia itu. Tokonya besar dan memiliki beberapa cabang. Pegawainya banyak. Uang sepuluh juta tentulah tak ada artinya. Namun, ia keliru.
“Begini, Sur. Bukan aku tak mau meminjamkan uang padamu. Tapi….”
“Tapi apa, Kang?”
“Tapi aku tak yakin kalau kau sanggup membayarnya.”
Deg. Surti menunduk. Meskipun benar apa yang dikatakan kakaknya, hatinya tetap saja sakit mendengar kalimat itu. Kang Jaya tega berkata seperti itu kepadanya. Ia diam tertunduk kelu. Ditahannya air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia tak bicara, karena begitu bicara ia akn menangis. Ia tak mau menangis di depan kakaknya yang sombong itu.
“Begini saja, Sur, ” kata kakaknya setelah jeda sesaat, “Bagaimana kalau tanah itu kubeli saja. Sepuluh juta. Tepat sama dengan yang kaubutuhkan. Cash. Sekarang juga. Kebetulan aku memang butuh tanah untuk memperluas dapurku. Dapur yang ada sekarang terlalu sempit untuk menampung jumlah pegawaiku.”
Surti terdiam. Ternyata kakaknya tak hanya sombong, tetapi juga pelit. Setan apa yang mengubahnya, ia tak tahu. Setahunya, dulu kakaknya begitu menyayanginya. Sampai ia berkeluarga. Ah, ya, sampai dia beristri. Kemudian Surti bersuami. Kemudian emaknya menyusul bapaknya ke alam baka. Ah, ya. Semua selesai sudah. Tak ada yang tersisa dari satu-satunya batihnya itu.
Percuma saja ia berada di sini. Tak akan ada hasilnya. Pada mulanya ia pikir, tanah itulah yang nanti akan menjadi penghubung dirinya dengan kakaknya, dengan tanah kelahirannya, dengan masa lalunya. Namun anggapannya tersebut berubah  melihat perubahan sikap kakaknya.  Ia pikir percuma saja ia kembali ke sini nanti untuk menengok tanah peninggalan emaknya. Toh, kakaknya tak akan menerimanya dengan baik. Paling ia akan sesekali menengok makam kedua orang tuanya nun jauh di ujung desa. Tak perlulah singgah di rumah kakaknya.
“Baiklah, Kang,” kata Surti, “Mungkin memang harus begini. “
Tak ia tawar lagi keputusan kakaknya, meskipun harga itu terlalu murah. Tak mau ia berpanjang kata dengan kakaknya. Setelah menerima pembayaran uang tanah sebesar sepuluh juta itu, ia bangkit.
“Eh, Sur, tunggu sebentar, ” seru kakaknya, ”Tolong tandatangani kuitansi ini.”
“Kuitansi, Kang?”
“Iya. Siapa tahu, suatu saat nanti kamu, atau suamimu, atau anakmu datang menuntut hak atas tanah ini. Siapa yang tahu, kan?”
Surti terkesiap. Tak hanya sombong, tak hanya pelit, tetapi kakaknya juga sudah berburuk sangka. Apa kakaknya lupa kalau selama ini Surti adalah orang yang jujur? Apa kakaknya lupa bahwa Surti tak pernah mau makan barang yang bukan haknya? Bukankan dulu justru kakaknya yang selalu mengambil jatah makanannya dan ia selalu memberikannya dengan sukarela?
“Baiklah, Kang, ” sahutnya lemah.
Ia tandatangani kuitansi yang masih kosong itu. Tak peduli, berapa angka yang nanti dituliskan oleh kakaknya.  Ia pun bangkit. Sebelum keluar dari rumah itu, dilihatnya Yu Ni, istri kakaknya berdiri di balik korden. Ia pun berlalu tanpa memberikan salam kepada iparnya itu.
———-
Bus masih bergerak. Surti masih duduk memandang jauh ke arah luar. Tak terasa air matanya menetes. Menetes dan terus menetes, mengenangkan kedua orang tuanya. Mengenangkan kakaknya yang dulu. Mengenangkan bahwa tak ada lagi yang bisa ia cari di  Jogja ini selain makam kedua orang tuanya.

(Nominator Fiction Competiition di www.dumalana.com)

0 komentar:

Posting Komentar