Anak laki-laki tanggung itu berdiri di hadapanku.  Anak yang cakap. Tampan sekali. Kulitnya  bersih. Rambutnya hitam ikal. Hidungnya mancung, bibirnya merah alami. Namun, sorot matanya sayu. Wajahnya menunduk. Kedua tangannya terkulai jatuh. Matanya berkaca-kaca.

Aku hanya diam memandangnya. Qoyyum namanya. Nama yang bagus, diambil dari asma’ul husna. Namun, baru saja ia kumarahi karena alasan yang keterlaluan: menempeleng adik kelasnya sampai berdarah-darah. Ini sekolah, bukan tempat tawuran. Dan aku tak bisa memaklumi hal ini.

Sejak kelas VII, anak ini memang istimewa. Selalu menjadi topik percakapan di kalangan guru. Nakalnya na’udzubillah. Ketika kelas IX,  dia masuk di kelas IX B yang kebetulan, akulah wali kelasnya.

Ketika minggu-minggu awal masuk, kudekati dia secara personal. Saat sedang mengerjakan tugas, kudekati dia. Kadangkala sambil menanyakan kesehariannya. Sebenarnya tak hanya dia, kepada semua anak aku, terutama yang bermasalah, kulakukan pendekatan secara personal. Meskipun hanya sebagai guru biasa, rasanya tak tega kalau membiarkan mereka larut dalam kekeliruan mereka.

Hasilnya, dalam mata pelajaranku, nilainya meningkat. Ia tak lagi sering membolos. Tugas-tugasnya lengkap. Bahkan, tugas proyek yang harusnya dikerjakan selama sebulan, bisa diselesaikannya dalam waktu 2 minggu lebih cepat dari teman-temannya. Penilaianku pun berubah: Qoyyum tak lagi menjadi anak nakal. Dia sudah mengubah sikapnya dan sekarang menjadi anak manis.

Namun, hari ini kutemukan kenyataan yang sebenarnya. Dia memukul anak kelas VIII dan aku tak bisa menerimanya.

“Kenapa, Yum? Ibu pikir kamu telah berubah.”

Dia hanya diam saja. Dipermainkannya ujung bajunya yang menjuntai keluar. Dia menunduk kelu. Matanya masih berkaca-kaca.

Sampai jam sekolah berakhir, dia masih tak menjawab. Dan aku pun tak memarahinya. Cukup kutunggu ia sampai mau berbicara.

“Ibu harus pulang,” kataku ketika sekolah sudah mulai sepi, “Oke, mungkin hari ini kamu tak mau cerita. Tapi Ibu mau jawabanmu, sebelum Ibu menentukan sanksi yang tepat untukmu,” kataku sambil menepuk bahunya.

Malamnya, kuterima sms darinya. Begini bunyinya: “Bu, sama minta maaf atas kesalahan saya. Harusnya saya menahan emosi saya, tadi saya tak bisa. Tadi pagi saya dimarahi Pak Guntur karena PR saya tak lengkap. Saya disuruh membersihkan WC, tapi di sana saya diolok-olok Helmi. Saya tak tahan, Bu. Semalaman saya mengerjakan PR itu, tapi Pak Guntur tak mau memahami kenapa PR saya tak lengkap. Tugas itu terlalu sulit, Bu. Di mana penghargaan yang harusnya diberikan seorang guru? Tak semua muridnya adalah murid pandai, bukan? Sungguh, saya kecewa sekali.”

Aku terdiam. Ah, ya. Penghargaan. Mungkin itu yang ia mau dan ia kecewa karena tak memperolehnya. Mendidik anak tak harus dengan cara kekerasan, bukan? Cukup membuatnya merasa ada dan ia akan ada untuk kita.

0 komentar:

Posting Komentar