1305991911844100287
dari google
Sepi. Hujan di luar belum lagi deras. Namun, kabut tipis yang menebarkan aroma galau tampak terasa di hati Ilham. Galau hatinya terbawa gerimis yang turun setitik demi setitik. Kegelisahan merejam hatinya di ujung penantiannya. Ya, penantiannya atas sebuah kabar.
Tak pernah begini. Biasanya sms-nya selalu berbalas. YM-nya selalu bersambut. Facebooknya selalu berjawab. Kalau bukan ia yang menghubungi, pasti gadisnya yang akan menyapanya terlebih dahulu. Sekadar say hai, sekadar mengingatkan makan siang, atau justru sekadar laporan peristiwa apa yang sedang dilakukannya. Di mana dia?

Seingatnya, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya untuk menyakiti gadis itu. Ya, Moza terlalu baik untuk disakiti. Dia selalu menerima Ilham dengan segala kelapangan dadanya. Memberinya perhatian berlebih, atau hanya sekadar senyum hangat pembangkit semangat.

Dikenalnya gadis itu suatu masa yang lalu, di sebuah tempat beraroma kabut. Baginya, menikmati kabut, menciumnya dalam putih yang gelap merupakan suatu hal yang sangat menggairahkan. Dan ia menemukan kesukaan yang sama dari gadis itu. Mereka menikmati putihnya kabut dalam nuansa cinta yang tak terpahami.


“Kabut adalah misteri. Entah mengapa, aku begitu menyukainya,” begitu kata Moza di suatu waktu. Dan mereka senantiasa menikmati kabut itu dalam suasana misteri yang menyenangkan.

Namun, tak selamanya kabut itu memberikan nuansa putih gelap. Yang jelas, putih gelap yang dingin dan beku itu menjadi hangat jika ia bersama Moza. Mereka biasa menghabiskan waktu berdua. Tak harus dengan bicara. Cukup dengan saling memandang. Memandang jauh ke bola mata Moza, membuatnya menemukan kedamaian tiada tara.Cukup saling berpegang tangan. Menggenggam erat jemari Moza, bisa membuatnya melayang ke angkasa raya, menembus kabut, menembus hujan, dan sampailah mereka ke bintang-bintang yang berkilauan yang tak pernah lekang dimakan kabut.

Ia mencintai Moza. Gadis pendiam dan tak banyak bicara, tetapi mampu memberinya inspirasi tiada henti untuk hidupnya. Walaupun ia tahu, tak mungkin ia bisa memiliki gadis itu dalam hidupnya.
“Kita berbeda,” kata Moza pada suatu waktu.
Ditatapnya bening mata gadis itu. Ada kabut di sana. Namun, tak hendak ia menari dalam kabut itu, meskipun ia mencintai kabut. Dia hanya diam, memandang gadis itu dengan selaksa kasih dan menggenggam erat tangannya. Hendak ia tunjukkan betapa ia mencintai gadis itu lebih dari apa pun di dunia ini.

“Bagaimana pun berbedanya kita, kau tetaplah sebuah kepingan mozaik yang akan melengkapi hidupku menjadi sempurna,” begitu kata Ilham meyakinkan.
“Mozaik? Puzzle?” tanya Moza ketika itu.
Ilham mengangguk.
“Kalau kita ini hanya kepingan puzzle,” kata Moza saat itu, “maka kita hanya akan berdiri di atas pondasi yang rapuh. Kita bisa saling melengkapi, namun tak pernah bisa saling memiliki. Bukan begitu, Kak?”

Ilham tergugu. Benarkah mereka berdiri di atas pondasi yang rapuh? Lalu bagaimana ia akan membahagiakan gadisnya itu jika semua kepingan itu tersusun tak sempurna?
Dipereratnya genggaman tangannya pada Moza, seolah tak hendak ia lepaskan. “Percayalah, Say, takkan pernah kulepaskan sejengkal hatiku pun darimu.”

Ia masih ingat, gadis itu kemudian memandangnya dengan tatapan nanar, seolah ingin membaca kebenaran kata yang baru saja keluar dari mulut Ilham.
Ilham menggangguk, tersenyum dan berkata, “Percayalah.”

Dibawanya kedua tangan gadis itu ke dadanya. “Kamu selalu ada di sini,” katanya sambil menunjukkan degup jantungnya pada gadis itu.
Moza pun menundukkan kepalanya. “Kutitipkan sejengkal hatiku padamu, Moza, kuharap engkau akan selalu menjaganya untukku.”

Mereka hidup dalam cinta yang penuh misteri. Hanya menghabiskan waktu berdua tanpa banyak bicara. Saling menatap dan tersenyum saja sudah cukup bagi mereka. Mereka menikmati kabut putih yang turun menyapa mereka. Tak hanya kabut, mereka pun menikmati bintang jatuh. Gerimis yang turun rintik menggoda hati. Hujan yang datang menguapkan aroma tanah. Angin yang menabuh sunyinya malam, ataupun badai yang dahsyat menggelora.

Meskipun tak tiap hari bersua, mereka tetap menjalin kebersamaan melalui dunia maya. Lewat pesan-pesan singkat ataupun lewat YM di tengah kesibukan kantor. Menyela di tengah kesempitan waktu yang ada. Sekadar makan siang bersama atau singgah sepulang kantor untuk mencicipi secangkir cappuccino hangat. Tentu, akan lebih menyenangkan kalau cuaca sedang berkabut.

Tak pernah sehari pun mereka lewati tanpa saling berbagi kabar. Dan Ilham menikmatinya. Selalu ia suka dengan pesan yang dikirimkan Moza, meskipun pesan itu pesan yang selalu berulang. Tak pernah ia bosan pada gadis itu. Namun, sudah beberapa hari ini tak satu pun pesan Ilham yang berbalas. Mengapa? Tak pernah seperti ini, bukan? Adakah ia bosan kepada Ilham? Bukankah kemarin masih baik-baik saja? Mereka masih menikmati kabut bersama, menkhayalkan seakan mereka menari-nari di bawah rintik hujan yang turun menghalau kabut.

Galau hati Ilham memikirkan gadis itu. Ada apa gerangan? Sepulang kantor tadi ia singgah sebentar ke rumah Moza, menerjang gerimis yang datang. Pening kepala tak dihiraukannya. Lebih pening lagi jika ia tak mendapati kabar gadis pengisi sebuah sudut di hatinya itu.

Tapi rumahnya sepi. Tak tampak seorang pun di sana. Moza memang tinggal sendirian di rumah mungil di lereng bukit itu. Pekerjaannya sebagai penulis membuatnya memerlukan tempat untuk menyendiri. Dan ia memang benar-benar sendiri sampai datang Ilham mengisi hatinya, menemaninya menikmati kabut yang rajin datang menyelimuti rumah mungilnya.

Ilham tak pernah menyangka, begitu besar rasa cintanya pada mozaiknya itu. Ternyata ia begitu mengkhawatirkan keberadaan gadis itu. Di mana dia sekarang? Adakah ia baik-baik saja? Apakah dia sudah makan? Apa yang terjadi padanya? Ah, rasanya hampir gila Ilham memikirkan Moza hari ini.

Petang baru saja menghilang berganti shift dengan malam yang datang menjelang. Kabut yang turun membuat Ilham semakin terkenang akan Moza-nya. Bukankah mereka biasa menghabiskan waktu bersama untuk sekadar menikmati kabut?

Ditatapnya nanar laptop yang ada di depannya. Tak satu pun email dari Moza yang singgah di inboksnya. Tak satu pun pesan yang berbalas di mesengernya. Offline dari tiga hari yang lalu. Tak satu pun pesan dari ponselnya yang terkirim buat Moza. Semuanya pending. Pusing Ilham dibuatnya.

Masih diingatnya percakapannya dengan tetangga Moza sore tadi.
“Mbak Moza sudah tiga hari ini tak kelihatan di rumah, Mas. Kelihatannya dia pergi dengan terburu-buru.”
“Bapak tahu ke mana dia pergi?”
“Wah, kurang tahu, ya Mas. Tak biasanya ia seperti itu. Dia pergi tanpa memberikan salam kepada kami.”
Ilham terdiam. Mungkin Moza pulang ke rumah orangtuanya. Tapi ia tak tahu di mana rumah orang tua Moza. Setahunya, gadis itu tinggal sendiri di sini untuk menulis. Menulis dan menulis. Itu saja. Mereka tak pernah membicarakannya karena mereka lebih suka menikmati kabut yang selalu rajin turun menyapa mereka. Tiba-tiba ia merasa sangat bodoh karena tak pernah berusaha mengenal gadis itu lebih dalam.

Tiba-tiba Ilham merasa sangat hampa. Hati kecilnya mengatakan bahwa ia tak akan pernah lagi dapat bersua dengan mozaiknya itu dalam waktu yang sangat lama. Kalaupun nanti bisa bersua, pasti keadaannya sudah berubah. Moza mungkin sudah bersuami dan punya anak. Dan mereka hanya akan bertemu dalam sebuah kilasan senyum samar untuk menyembunyikannya dari pasangan masing-masing.

Tiba-tiba ia merasa lindap. Tak akan ditemuinya lagi gadis berlesung pipit yang senantiasa memberikan warna dalam hari- harinya. Dan ia akan kembali menjalani rutinitas menjemukannya seperti sebelum ia mengenal mozaiknya itu. Ah, mozaik. Memang, meskipun mozaiknya tersusun sedemikian rapi, tak akan pernah lengkap hidupnya tanpa sekeping mozaiknya yang hilang. Dan kepingan itu telah terbawa lari oleh Moza. Di mana ia hendak menemukan sekeping mozaik itu agar kebahagiaannya sempurna?

Tiba-tiba, sesosok tangan kecil menyentuh tangan Ilham,” Ayah….”
Ilham tergeragap dari lamunannya. Dikibaskannya sosok Moza dari pikirannya. Ditolehnya Naura, anaknya. Dilihatnya gadis kecil itu menggapainya untuk minta dipangku. Diraihnya tubuh mungil anak gadisnya yang baru berusia tiga tahun itu.
“Ayah, Rara mau dibacakan dongeng,” kata Rara merajuk pada Ilham.

Ilham tersentak. Seolah tersadar dari lamunan panjangnya selama bertahun-tahun. Rara, anaknya. Mozaik terbesar dalam hidupnya. Haruskah ia korbankan demi sekeping kecil mozaik yang lain? Tak mungkin, karena Rara adalah bagian dari darahnya, bagian dari nadinya, bagian dari nafasnya. Tak mungkin. Akan ia lupakan mozaik kecilnya untuk mozaik besar yang ada di pangkuannya sekarang.
“Oke, Rara. Mau dibacakan cerita tentang apa?”
“Tentang apa, ya Yah? Matahari yang datang menghalau kabut, Yah….”
***
Di dapur, tak jauh dari Rara dan Ilham, sesosok perempuan sedang tersenyum lega. Tak sia-sia usahanya untuk mendekati Moza. Diceritakannya kepada gadis itu tentang siapa dia, siapa Rara, dan siapa Ilham. Untunglah gadis itu mau mengerti. Meskipun ia tak tega melihat kilatan bening di mata Moza, tetapi ia lebih tak tega jika kilatan itu singgah di mata Rara. Perempuan itu yakin, meskipun hari ini suaminya masih bersedih, suatu saat nanti lukanya akan hilang karena cinta yang dimilikinya bersama Rara untuk Ilham.

Diaduknya dua cangkir cappuccino. Mulai hari ini, ia bertekad harus berusaha menyukai cappucino, suatu hal yang tak pernah dilakukannya untuk suaminya. Mungkin, ia pun akan belajar untuk menyukai kabut dan mencoba menikmatinya berdua bersama Ilham.
***
Di sudut lain kota kecil itu, di sebuah rumah mungil yang berada di lereng bukit, tak jauh dari tempat tinggalnya dulu, seorang gadis duduk di depan jendela. Dipandangnya kabut yang turun menyelimuti malam yang belum lagi jauh. Kabut selalu menimbulkan misteri baginya. Ada aroma dingin mengilukan yang turun bersama kabut. Dicobanya membentuk sebuah senyuman pada bibirnya. Susah, tetapi ia akan berusaha untuk bisa. Dikerjap-kerjapkannya matanya untuk menghalau bening yang tiba-tiba datang. Dibukanya laptop di pangkuannya dan ketika siap digunakan untuk menulis, mulailah ia menulis sebuah judul: Mozaik Moza.

0 komentar:

Posting Komentar