Kerajaan Daha sedang bersedih. Pasalnya sang Putri  Candrakirana tiba-tiba menghilang dari kerajaan. Konon, dia ikut terbawa angin topan yang melanda kerajaan itu beberapa hari yang lalu. Mendengar kekasihnya hilang, sang Pangeran Inu Kertapati pun segera mencarinya. Tak hanya di kota, tetapi sang pengeran mencarinya hingga ke desa-desa. Akhirnya, di sebuah desa, berhentilah sang pangeran. Dia menginap di rumah seorang janda tua dan menyamar menjadi anaknya dengan nama Ande-Ande Lumut.

Ande-Ande Lumut yang tampan seketika menjadi buah bibir warga kampung itu, bahkan juga ke desa-desa tetangganya. Para ibu yang punya anak gadis segera saja menyuruh anak-anak gadisnya untuk melamar sang jejaka tampan. Segera saja, rumah Mbok Randha yang menjadi tempat tinggal Ande-Ande Lumut ramai dikunjungi oleh para pelamar. Sayangnya, tak seorang pun yang diterima oleh Ande-Ande Lumut karena ia masih sibuk semedi untuk mencari keberadaan si jantung hati, yang tak lain adalah Candrakirana.


Parmin masih bersimpuh di tepian makam. Matanya membasah. Hari ini lebaran hari pertama dan Parmin masih di ibukota. Ia justru sedang berada di dekat sebuah kuburan baru di pinggiran kampung. Kuburan itu masih basah, tanahnya masih menggunduk, terdapat sedikit taburan bunga di sana, menunjukkan kalau kuburan itu memang benar-benar baru. Seseorang baru saja dikuburkan di situ. Seseorang yang dekat dengan Parmin, kawannya bekerja di bangunan ini. Ya, Bang Jono yang meninggal. Ia meninggal malam tadi setelah sore harinya tertabrak mobil yang melaju kencang. Nyawanya tak tertolong lagi setelah dibawa ke rumah sakit.

Parmin masih ingat benar apa yang ia bicarakan dengan Bang Jono kemarin malam, ketika sahur terakhir. Ketika itu barak sudah sepi karena sebagian besar kawan mereka mudik ke kampungnya masing-masing. Tinggal Parmin dan Bang Jono yang ada di sana, serta 2 orang sekuriti yang bertugas di luar.

Karangmurya, 13 Ramadhan 1432 H
Untuk Kang Parmin di Jakarta
Kang, bagaimana kabarmu? Baik-baik saja bukan? Kuharap demikian.  Meskipun berpuasa di tengah teriknya Jakarta  tidaklah mudah, kuharap Kang Parmin pun masih menjaga puasa Kakang.
Kang, di sini aku, kenang, emak, dan bapak dalam keadaan baik-baik saja.  Kami paham kalau Kakang tak pulang lebaran ini karena biaya mudik tak murah buat kita. Yang penting untuk biaya lahiran nanti ya Kang.

Kang Parmin sigaraning nyawaku,

Siang terik, matahari memanggang di atas kepala. Parmin duduk di tepi tumpukan batu bata yang terjajar dengan rapi. Dentaman palu, gemuruh mesin membuat siang itu menerik, menghanguskan kulit dan rambutnya, menguras peluh dari dalam tubuhnya.

“Puasa, Min?” kata Bang Jono yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Parmin menolehnya. Tampak Bang Jono sedang asyik membersihkan sisa makanan yang menyelip di giginya. Laki-laki itu lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Dihidupkannya dengan korek api, lalu dihisapnya dalam dalam.

Parmin meneguk ludahnya. Perlahan ia mengangguk. Puasa di siang terik begini, di tengah derunya pekerjaan proyek tidaklah ringan. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan menuntutnya banyak mengeluarkan tenaga dan keringat. Teman-temannya tak banyak yang puasa meskipun di KTP tertulis agama mereka Islam. Parmin memaklumi, tetapi ia tak mau ikut-ikutan. Biarpun berat, ia tetap berpuasa.


Dua jam sudah aku duduk di sini, di sudut taman kota, menunggumu menepati janji yang kesekian kali. Janji untuk bersemuka  seperti yang engkau ucapkan ketika itu.

Ramai orang lewat tak kuhiraukan, pandanganku hanya pada satu arah, jalan setapak yang menghubungkan taman ini dengan jalan raya. Kuharap kulihat sosokmu datang untuk sekadar menepati janji itu.

Dua jam bukan waktu yang sebentar meskipun aku selalu menyukai taman dan senja. Seiring menit yang laju, galauku semakin kelu. Tak jua engkau hadir, bahkan sekadar lewat kabar yang engkau kirim melalui ponsel.
Barangkali, ambisi itu memang penting. Entahlah. Selama ini saya adalah orang yang mengikuti hidup yang mengalir, mengalur mengikuti takdir yang membawa saya, dan barangkali sedikit bertahan jika ada angin kencang yang mengubah arus hidup saya menuju haluan yang keliru.

Selama ini, ke mana saya melangkah, hanya seolah mengikuti tangan Tuhan saja. Saya masuk sekolah juga begitu, masuk kuliah juga. Ketika itu saya mendapatkan tawaran PMDK ke IKIP dan saya daftar, kemudian diterima, ya saya kuliah begitu saja. Saya masuk jurusan yang dianjurkan oleh guru saya, dengan asumsi bahwa saya tak mungkin diterima melalui PMDK karena rapor saya ya begitu-begitu saja. Ketika saya diterima, ya saya jalani kuliah dengan begitu-begitu saja. Lulus dengan begitu-begitu saja, mencari tempat magang menjadi GTT, dan mengikuti tes CPNS setiap kali ada kesempatan. Ketika saya gagal mengikuti tes karena seleksi yang terkadang tak fair, saya pun biasa saja. Toh, akhirnya mengikuti arus, saya diterima menjadi PNS ketika seleksi dilakukan secara jujur.


Malam membayang di Kurusetra,
rembulan perak di atas randu,
mayat mayat dalam pelukan gangga dan yamuna
hanya tersisa onggokan kereta, pedang, panah,
sisa perang siang tadi.
Sesosok bayang melintas,
dalam pancaran rembulan perak,
indah semampai setara cantik rembulan.


Untukmu, Wahai Penitip Sejengkal Hati
Apa kabar hatimu kini? Setelah sekian lama tak bersua dalam gerimis hujan yang menebarkan aroma kabut. Setelah sekian lama tak bertemu dalam hangatnya secangkir cappucino dan sepotong muffin.
Apa kabarmu, wahai Sang Penitip Sejengkal Hati?
Masihkah ada sebagian hatimu yang engkau simpan untukku, meskipun itu tersembunyi di palung hatimu yang paling dalam? Ingatkah engkau akan kata-katamu ketika itu? Ketika kaukatakan ingin menitipkan sedikit saja hati sebagai sekeping mozaik untuk bisa melengkapi hari-hariku. Aku terima itu kala itu. Kujaga sejengkal hatimu dengan sepenuh jiwaku. Kusimpan rapat di dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Aku menjaga dan merawatnya dengan penuh kasih sayang biar senantiasa tumbuh mekar di dalam hatiku.

Kepingan mozaik itu terhempas, jatuh, lalu berserak kehilangan makna )
Hidupku ini ibarat layang-layang
Ditarik, diulur, mendekat, menjauh
Terlihat indah dari sana, namun sakit terasa seluruh raga
Lalu datang badai menghempasku
Aku melayang, luruh, lalu lindap
Benangnya putus, tak lurus, tapi mengusut
Aku tak bisa lepas!
Kataku: Lepaskan aku, Tuan!
Lepaskan aku dari jerat asmaramu!

Bu Ratna namanya. Guru favoritku, mengajarkan Bahasa Indonesia. Orangnya cantik dan santun. Ramah, disiplin, dan selalu mengajarkan kejujuran kepada kami, meskipun sekarang tak mudah untuk hidup dalam kejujuran. Setiap kali ulangan, beliau selalu menekankan kepada kami agar kami jujur, paling tidak, tak membohongi diri kami sendiri dengan nilai hasil contekan.
Namun, kami tetap kami, anak SMP yang juga ingin mendapatkan nilai bagus. Tentu, agar kami tak dimarahi orang tua kami. Tentu, agar guru-guru senang karena sudah berhasil mengajar. Juga, tentu saja agar kami bisa membanggakan diri kami di hadapan teman-teman karena nilai yang bagus. Apalagi jika dipuji guru di depan teman teman yang lain. Tentu, hal ini akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi kami yang sedang dalam masa aktualisasi diri.
Lalu, semua pun berjalan dengan demikian adanya. Meskipun Bu Ratna tak pernah bosan mengingatkan kami agar kami jujur, kami pun tak pernah bosan melanggarnya. Terakhir kali, satu setengah bulan lalu, menjelang ujian nasional, beliau berpesan agar kami jujur dalam mengerjakan ujian. Tak usah mencontek, karena teman belum tentu benar. Tak usah mencari bocoran, karena yang tak lulus karena terlalu percaya bocoran pun banyak.

Masa anak-anak adalah masa yang menyenangkan. Masa bermain dan bersosialisasi.Waktu kecil dulu, meskipun rumah saya di gunung, sudah ada sebuah taman anak-anak. Tidak berupa bangunan tersendiri seperti sekarang, tetapi masih nebeng di rumah seorang sesepuh desa yang ruang tamunya saja bisa digunakan untuk mendirikan 4 rumah sederhana.
Setiap hari saya diantarkan oleh pengasuh saya karena ibu saya harus mengajar.Saya tak suka sekolah, jadi setiap hari saya nangis dulu sebelum sekolah. Kalaupun mau, Yu Mah, pengasuh saya, harus menemani. Tidak di dalam sih, cukup di luar saja asal terlihat dari dalam. Kalau dia tak tampak, pasti deh saya mewek mewek.

Gurunya adalah kerabat saya masih terhitung bulik. Suatu hari, beliau bertanya: siapa yang masih mimik ibu? Tak ada yang menunjukkan jari. Saya juga tak mau menunjukkan jari, meskipun saat itu saya masih mimik ibu saya. Suatu hari, guru saya ini main ke rumah ibu saya. Tak disangka, saat bermain saya jatuh. Saya pun menangis. Melihat saya menangis, ibu saya segera memangku saya dan mengeluarkan payudaranya. Hahaha ... dengan malu malu, saya pun segera menyambutnya dengan hisapan kuat. Oh, ya, saat itu saya masih netek sampai usia saya 5 tahun. Usia 5,5 tahun saya masuk Sekolah Dasar.

Teman saya banyak sekali. Gurunya 3. Setiap hari, kami diajarkan menyanyi dan menjajar gambar telur di buku tulis. Waduh, saya paling sebal dengan pekerjaan ini.Lha, saya gak suka nulis, telur saya saja berjajar tak tentu garisnya, besar kecilnya.Pelajaran nyanyi saya suka. Lagunya si Kancil, Pelangi, Bintang Kecil. Masih lagu zaman dulu, belum bervariasi seperti anak-anak zaman sekarang. Kami maju bergantian.

Suatu saat, giliran teman saya yang bernama Sukaenah maju ke depan. Ia disuruh Bu Guru menyanyikan lagu Si Kancil. Ia pun naik ke mimbar kecil di depan kelas. Dan mulailah ia bernyanyi:
Si Kancil anak nakal
suka mencuri timun ...

Namun, tiba-tiba ia menangis dan tak mau melanjutkan nyanyinya. Ketika ditanya Bu Guru, jawabnya, "Bu, saya tidak mencuri timun, kok ..."

Hahahaha ... Sukaenah yang panggilannya Suka ini menyangka bahwa dirinyalah yang dituduh mencuri timun. Ia pun tak mau dikejar apalagi tak diberi ampun.

Kami adalah dua makhluk berbeda yang ditakdirkan bernasib sama. Aku dan dirinya adalah tipe orang rumahan, yang menyerahkan seluruh hidup kami bagi keharmonisan hubungan kami. Kami memasak, manyapu, mencuci, menyetrika, dan tentu saja merawat anak. Bagi kami, anak adalah segalanya.
Sungguh, suatu hal yang sangat ideal jika kami menyatu dalam sebuah ikatan rumah tangga. Namun, ia terlalu mengabdi pada suaminya, dan aku dengan rela melayani kebutuhan istriku karena dia memang pekerja yang lebih sibuk daripada aku, seperti halnya suaminya.
Aku bertemu kali pertama dengannya enam tahun lalu dan langsung jatuh hati padanya. Sedangkan ia, baru menyadari kehadiranku dua tahun setelahnya. Sungguh, sebuah jarak yang sangat jauh hingga pada akhirnya kami merasa sangat cocok sejak setahun lalu.
Sayangnya, kami tak akan pernah menyatu karena dia sudah memiliki belahan jiwanya sendiri. Pun adanya dengan aku. Meskipun kami merasa sebagai sebuah chemistry, namun, kami tak akan dapat menyatu sebagai sebuah molekul pembentuk benda padat. Biarlah begini adanya, kami rasa kami sudah cukup bahagia dengan rasa yang saling kami punya.

Ibu


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah
Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…ibu…ibu….

“Ibu menanyakanmu sebelum menghembuskan nafas penghabisannya, Mas,” kata Sari. Mukanya sembab, tapi air matanya sudah mengering.  Dia masih duduk bersimpuh, di tepi balai-balai  tempat jenazah ibunya berada. Tinggal menunggu waktu saja sebelum jenazah ibunya diberangkatkan setelah wanita tua itu bergelut melawan kanker selama bertahun-tahun.
Sari sudah tak mampu menangis. Ia benar-benar sudah mengikhlaskan kepergian ibunya yang  telah sekian lama bergulat melawan kanker rahim. Seandainya ada satu yang tak bisa ia ikhlaskan, mungkin hanya perlakuan Irawan, kakak laki-laki semata wayangnya. 
Perempuan itu masih termangu di balik jendela. Pintu rumahnya masih terbuka lebar. Di luar, hujan masih saja turun dengan derasnya. Tak terasa, hampir 3 jam ia memandangi hujan, seolah ingin menyibak apa yang ada di baliknya.
“Ibu,” sebuah suara lirih memanggilnya. Ia diam, hanya menoleh dengan kilatan mata aneh.
“Sudah hampir malam. Bukankah sebaiknya pintunya kita tutup?”

Anak kecil itu -perempuan berusia sepuluh tahunan- menutup pintu dan kemudian menggandeng ibunya masuk ke dalam. Di ruang tengah, neneknya hanya dapat menatap dengan mata penuh iba.

Kebiasaan itu -memandangi hujan berlama-lama- memang telah menjadi kebiasannya sejak setahun terakhir. Setahun lalu, suaminya pergi menyibak hujan, dan berjanji untuk kembali jika hujan reda nanti. Namun, hingga kini tak didengarnya lagi kabar berita tentang suaminya itu. Dan ia selalu menunggunya. Dia yakin suaminya akan datang untuk menepati janjinya. Akan kembali pulang jika hujan telah reda.

Siang menjelang, tetapi suasana masih terasa pagi. Gerimis yang turun sepagian membuat sebagian orang malas untuk beraktivitas. Siang yang basah, sebasah hati Yasin. Sebuah surat undangan merah jambu bertinta emas yang  tergeletak di mejanya membuatnya tak bersemangat siang ini.

Pagi tadi, Candra menyerahkan undangan itu kepadanya. Gadis manis berusia dua puluh delapan tahun itu menyodorkannya tanpa bicara sepatah kata pun. Kepalanya menunduk dan matanya berkaca-kaca. ia menerimanya dengan helaan nafas seakan ditimpa beban satu kuintal. Berat dan panjang.

Ririn tergugu. Dipandanginya telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja.  Sejak sejam lalu tak ada dering yang ditunggunya. Tak pula bergetar karena ada pesan masuk.

Mungkin Si Mas sibuk, pikirnya. Ah, kapan dia tak merasa sibuk? Di rumah pun pekerjaan melulu yang ia pikirkan. Setumpuk kertas yang dihadapi dengan muka berkerut. Sampai malam larut, masih pula berkutat dengan kertas yang berbunyi: program. Atau dengan laptop yang tetap menyala sampai tengah malam tiba.
Dan ia sunyi. Merasa asing berada di samping suaminya. Dan ia bunuh sunyi itu dengan membuka laptop yang lain. Jadilah 2 orang asing berada dalam satu rumah yang sama. Dalam satu tempat yang sama, namun dalam pemikiran masing masing. Bisu.

Bisu di dunia nyata, namun ramai di dunia maya. Ketika Si Mas sibuk dengan pekerjaannya, Ririn pun menyibukkan dirinya dengan komunitas mayanya. Teman-temannya banyak. Dia ngobrol berjam-jam dengan temannya, menemani Si Mas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, barulah mereka beranjak ke peraduan, masih dengan pikiran masing-masing.

Di tepian sebuah hutan, tinggallah seorang anak lelaki bersama ibunya. Anak lelaki ini bernama Cinde Laras dan ibunya bernama Dewi Limaran. Mereka tinggal berdua di dalam sebuah gubug yang reot, tetapi hidupnya bahagia.

Pada suatu hari, ketika Cinde Laras sedang bermain di halaman rumahnya, terbanglah seekor burung elang. Burung elang itu menjatuhkan telur ke dekat kaki Cinde Laras.

“Hai, Cinde Laras, “ seru Elang kepada Cinde Laras.
“Burung Elang, “ seru Cinde Laras takjub, “Engkau bisa bicara?”
“Aku bawakan telur untukmu, Cinde Laras. Rawatlah ia!” seru Elang kapada Cinde Laras.
“Baiklah, Elang. Terima kasih, ya,” sahut Cinde Laras.

Intan terpaku menatap cermin. Matanya berkaca-kaca. Ia masih tak dapat mengerti, mengapa Sari selalu memusuhinya. Dulu, ia dikata-katai sebagai anak yatim dan miskin. Hari ini dikatai anak tak tahu diri. Miskin tetapi bersekolah di sekolah favorit paling mahal di tempatnya.

Dulu, rambutnya pernah ditarik hingga kepalanya pusing selama tiga hari. Pernah pula ia nyaris ditabrak dengan sepeda hingga ia jatuh terjajar menatap tembok. Kali lain, dimasukkannya ular mainan ke tasnya. Sungguh, kelakuan Sari kepadanya di luar nalar.

“Kenapa menangis, Cantik?” tanya cermin di depannya.
Intan tersenyum, disekanya air mata yang membasahi pipinya.
“Kelakuannya hari ini sungguh menyebalkan, Cermin. Masak aku dikatakan mencontek ulangannya. Padahal, seumur hidup kan aku tak pernah mencontek. Sebel sebel sebel…,” teriak Intan.

Syahdan, di desa Dadapan, tinggallah  seorang janda miskin yang bernama Mbok Randha Dadapan. Mbok Randha ini tidak mempunyai anak kandung, tetapi ia mempunyai seorang anak angkat. Anak angkatnya ini berwajah buruk, berkulit hitam, berbadan pendek. Karena keadaan tubuhnya yang sedemikian, ia pun dipanggil Jaka Kendhil. Kendhil adalah semacam periuk untuk menanak nasi atau merabus air yang terbuat dari tanah liat. Jika terlalu sering dipakai, kendhil akan berwarna hitam.

Jika Mbok Randha sedang membantu tetangganya yang punya hajat, maka Jaka Kendhil diajak serta. Ia selalu duduk diam di dekat tempat menata makanan. Orang yang ada di situ akan mengira bahwa dia memang benar-benar kendhil . Maka, pulanglah ia dengan banyak makanan di atas kepalanya.
Pada suatu hari, Jaka Kendhil meminta kepada ibunya untuk melamarkan gadis.
“Kau ingin mencari istri, Anakku?” tanya Mbok Randha.
“Ya, Mbok.”

“Selamat pagi, Cantik!”
(Betapa kata itu selalu menggema dalam lorong waktu relung hatiku. Menemaniku mencapaimu dalam bayang-bayang semu.)
***
Surat undangan berwarna merah hati itu bertuliskan namanya. Tertulis dengan tinta emas. Ada puisinya, tentang cinta, di sana. Indah sekali. Puisi cintanya untuk seseorang yang begitu ia cintai.

Aku masih merebahkan diri di tempat tidur bersama selimut tebal nan hangat. Masih pagi, pikirku. Azan subuh belum lagi menggema. Inginku kembali tidur, tetapi undangan merah hati yang terletak di atas meja samping ranjangku  itu membuat pikiranku melayang pada masa-masa lalu, masa tentangku dan  tentangnya, si penulis puisi dalam undangan itu.



13075072491771131066 
Wajahnya cantik. Kulitnya seterang purnama bulan. Banyak orang bilang, dia mirip Helmalia Putri yang pernah ngetop beberapa tahun yang lalu. Namun, kemiripan wajah tak menjamin kesamaan nasib, bukan? Sama-sama berwajah rupawan, tetapi nasib bagai keping mata uang yang bertolak belakang.
Satu hidup di metropolitan, yang lainnya hidup di sebuah desa terpencil di pegunungan. Yang satu seorang bintang film, yang satunya lagi hanya seorang pembantu di rumah seorang guru. Berbeda jauh, bukan? Ibarat bumi dengan langit, seperti rembulan dengan matahari, bagai ufuk timur dengan barat.

Cantik wajahnya, namun belum tentu seindah takdirnya. Tini, namanya. Lahir di tengah kemiskinan keluarganya sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Bapak dan emaknya hanya buruh tani biasa. Tak cukup penghasilan mereka untuk memenuhi makan anak-anaknya, apalagi sampai menyekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi selain SD. 

Pada usia 13 tahun, selulus dari SD, Tini terpaksa tak melanjutkan sekolah. Oleh gurunya semasa SD, dia diambil sebagai anak angkat sekaligus sebagai tukang momong. Namun, ia tak mau disekolahkan. Bisa ikut momong di rumah Pak Gurunya saja ia sudah senang. Ini berarti beban orang tuanya sedikit berkurang. Ia pun bisa memberikan sedikit uang kepada orang tuanya untuk biaya adik-adiknya. 

(Bunga rumput liar tumbuh dibalik semak-semak, kemuning warna kelopaknya. Sehelai daun kering jatuh, menutup mekarnya dengan kelabu bayang-bayang.)

“Hilang, Zid?”
Anak laki-laki sepuluh tahun itu mengangguk. Kepalanya menunduk, bibirnya mengatup. Emak pasti marah, pikirnya.
Senah menatap anaknya setengah tak percaya. Namun, melihat ekspresi anaknya, lemaslah ia. Yazid tak berbohong. Anaknya memang tak pernah berbohong. Kartu itu memang hilang. Kartu yang digunakan untuk mengambil jatah daging itu tadi pagi diterima Yazid seusai shalat ied. Yazid mengantonginya di saku celana. Anak itu lupa, bahwa kantong celananya bolong dan kartu itu jatuh entah di mana.
Ketika diam menjadi pilihan, maka tak ada lagi yang bisa kupilih selain diam.
“Bicaralah,” kata lelaki itu. Aku menggeleng.
“Cukuplah aku dengan diamku. Bumi tak akan berhenti berputar jika aku diam, bukan?”
“Bicaralah, sekata saja. “
 Aku menggeleng. “Tak akan kukata apa yang kurasa.”
“Aku akan merasa kehilangan.”
“Dan aku akan merasa tersanjung.”
“Selepas subuh nanti aku akan pergi.”
“Pergilah.”
“Kau tak merasa kehilangan?”
“Jika aku merasa kehilangan haruskah kukatakan?”
“Tentu, ini akan menguatkanku di tempat baru nanti.”
“Tidak. Tak akan kukatakan apa yang kurasa. Pergilah.”
“Sri…”
“Pergilah, Kang. Jangan lupa pamit istrimu.”
“Aku cinta kamu,” bisikku dalam hati.
Suatu malam di sudut kamar, berkumpullah Mata, Telinga, Hidung, Mulut, dan semua jenis organ yang ada dalam tubuh manusia. Mereka sedang melakukan konsolidasi serius karena masalah yang memberati mereka berhari-hari. Raga mereka tampak kuyu.

Mata yang biasanya bersinar, sayu kehilangan kerlipnya. Telinga yang bisanya tegak, mendadak tunduk tanpa daya. Kulit yang biasanya segar, putih, kencang, mendadak kisut  dua puluh tahun lebih tua nampaknya.
“Ah, semua ini ulah si Hati,” seru Mata tak sabar.

Berulang kali kulihat lelaki itu. Lelaki bermuka buruk berwajah seram. Setiap kali aku berdiri di balik jendela dapur rumahku, kulihat ia tengah berdiri di seberang jalan dengan senyuman menyeringai. Matanya tajam, takut sekali aku dibuatnya.

Dia bukan tetanggaku. Aku tak pernah melihatnya selama ini. Kalau tetangga, pasti sekali dua aku pernah bersimpangan jalan dengannya. Tapi, siapa dia? Bajunya hitam, senyumannya menyeringai. Matanya yang tajam berwarna merah saga.

Aku pernah membaca di sebuah buku, katanya orang yang akan meninggal dunia akan didatangi oleh orang asing. Orang asing ini katanya merupakan jelmaan dari malaikat maut. Dia akan tampak sebagai laki-laki tampan jika yang meninggal orang saleh dan dia akan muncul sebagai laki-laki menyeramkan jika yang akan meninggal adalah orang yang banyak dosa.


“Jam berapa, Mbah?” tanyaku kepada Mbah Darmi yang masih duduk setengah tertidur di sampingku.
“Masih jam setengah empat, Le,” kata Mbah kepadaku. “Masih malam, tidurlah lagi.”
“Aku baru saja bermimpi tentang Ibu, Mbah.” Kulihat Mbah Darmi mengerutkan kening. Matanya yang tadi mengantuk mendadak melebar.
“Mimpi apa to Le… Sudah tidur lagi sana. Biar kamu cepat sehat.”
“Nggak bisa, Mbah, perih sekali rasanya mulutku.”

Sudah lima hari ini untuk kesekian kalinya aku dirawat di rumah sakit karena sariawan yang meradang tak kunjung sembuh. Entahlah, sejak kecil memang aku sakit-sakitan sehingga tak dapat bermain seperti teman-teman sebayaku. Kalaupun dapat, biasanya mereka pun akan menjauhiku. Alasannya, karena dilarang oleh orang tua mereka. Orang tua mereka memang tak mengatakan apa-apa padaku. Tapi pandangan mereka aneh terhadapku. Mungkin jijik, takut, atau kasihan, aku tak mengerti. Aneh saja, berbeda dengan tatapan Mbah Darmi padaku yang bisa menyejukkan hatiku ketika hatiku sakit karena ditolak bermain dengan teman sebayaku.