Malam hari telah menjelang. Senja yang jingga telah berganti dengan kelamnya malam. Setelah melewati perjalanan yang panjang seharian mengedarai Mercy kesayangannya, sampailah Harun di tempat yang ia tuju. Sebuah tempat kumuh di tepi tempat pembuangan akhir sampah. Di tempat itu sudah didirikan bangunan semi permanen untuk menampung keluarga yang tinggal di sana. Pemerintah di kota itu memang telah merestui pendirian bangunan untuk para pemulung itu, agar hidup mereka sedikit lebih layak daripada hanya tidur bergulung dalam rumah kardus atau emper-emper toko. Toh mereka juga berjasa untuk membersihkan sebagian sampah penduduk yang tiap hari semakin menumpuk itu.

Harun mendekati sebuah rumah petak di sana. Dilihatnya seorang anak kecil sedang duduk di depan tungku yang berada di dalam satu-satunya ruangan di rumah itu. Sebuah ketel hitam kena arang bertengger di atas tungku arang itu. Sang ibu, tampak sibuk merajang bahan masakan yang hendak dibuatnya untuk si anak. Keduanya sama-sama kumal. Kulit mereka hitam terpanggang matahari.

“Masih lama, Mak? Udin lapar, nih,” rintih si anak.

“Sebentar, Din. Emak juga lapar, kamu cobalah tidur sana, nanti kalau sudah matang emak bangunkan kamu.”

Harun miris melihat pemandangan itu. Segera dialihkannya pandangannya ke tempat lain. Sebuah rumah petak di sisi kiri rumah si Udin. Agak rapi, sedikit lebih bersih daripada rumah Udin yang benar-benar kumuh.


Ada dua orang tua di sana. Pak dan Bu Mansyur. Dua orang ini pernah dikenalnya ketika kecil dulu. Mereka sering menyantuni Harun bahkan menyekolahkan Harun hingga SMA. Selepas SMA Harun merantau ke Jakarta. Tapi, mengapa mereka ada di sini? Di tempat kumuh yang justru ditempati oleh Harun dan emaknya? Harun sedih sekali, ketika melihat kondisi kedua orang tua itu.

Mereka sudah nampak sedemikian tua. Padahal usia mereka mungkin baru 60 tahunan. Dulu, mereka adalah pedagang yang kaya. Mereka suka menyantuni orang-orang miskin layaknya Harun dahulu. Namun, anak Pak Mansyur satu-satunya, Zulfikar ternyata telah menyebabkan kebangkrutan orang tuanya. Dia terkena narkoba. Uangnya dihabiskan untuk membeli narkoba. Tak hanya itu, ia juga menghamili pacarnya yang juga pecandu. Mereka terpaksa menikah muda. Ketika anaknya lahir, baru ketahuan kalau mereka juga tertular virus hepatitis. Penyakit mereka sedemikian parahnya sehingga nyawa ketiganya akhirnya tak bisa terselamatkan.

Satu per satu orang tercinta Bu Mansyur meninggalkannya. Harta mereka habis untuk mengobatkan anak, menantu, serta cucu mereka. Habis, semua tak bersisa. Kini mereka hidup berdua di tempat yang dulu ditempati Harun.

Harun menghela nafas panjang. Nasib memang ibarat roda. Kadangkala ada di atas, kadang ada di bawah. Ia melanjutkan perjalanannya. Dalam hati, ia berniat untuk singgah ke rumah kedua orang tua itu, tetapi ditundanya. Ia ingin melihat keadaan lingkungan masa kecilnya dahulu.

Ketika ia melangkahkan kakinya lagi, tiba-tiba didengarnya sebuah teriakan.

“Kak! Kauambil uangku di sini, bukan?” Suara perempuan itu demikian melengking.

Si laki-laki yang dipanggil Kak hanya terkekeh-kekeh.

“Manalah mungkin kuambil uangmu, Jah. Darimana kau dapatkan uang?”

“Alaaah… pura-pura tak tahu. Uang itu kau buat beli minuman, kan? Buat judi lagi? Jawab, Kak. Ini dunia nyata, bukan mimpi!” Tiba-tiba terdengar suara piring seng dibanting ke lantai semen.

“Prangg!!!”

Suaranya keras sekali, disambut oleh kekehan si laki-laki. “Kalau aku menang kan kau juga yang menikmatinya, Jah! Kau akan kubelikan kalung emas yang besar dan panjang, Jah. Kau tak perlu lagi melacur… “

Kalimat itu menggantung begitu saja. Tiba-tiba terdengar tangisan dari si lelaki. Rupanya dia sedang mabuk. Pantas saja kata-katanya tak terkendali begitu. Ijah melacur? Bukannya Ijah istrinya si Joni yang dari Medan itu? Harun ingat benar, dulu Ijah datang dengan kepala mendongak dengan membawa si Joni itu. Pada semua orang dikatakannya bahwa Joni adalah kekasihnya yang punya usaha dagang di Medan. Tak tahunya, ia hanya preman kacangan yang akhirnya justru harus menyurukkan kepalanya di ketiak Ijah. Dan Ijah pula yang akhirnya memilih melacurkan diri untuk menghidupi dirinya dan suami tak bertanggungjawabnya itu.

Semakin jauh berjalan, Harun semakin miris. Ia pun kembali ke mobilnya, Diambilnya segepok amplop berisi uang yang sudah dipersiapkannya dari rumah. Perlahan, ia mendatangi rumah bekas tetangganya dan menyampaikan sedekah pada mereka.

Orang-orang itu terpesona memandang Harun. Tak henti-hentinya mereka mengelu-elukan Harun. Harun hanya menganggukkan kepala sambil berkata, “Itu sudah kewajiban saya, Bu.”

Rumah terakhir yang disinggahinya adalah rumah Pak dan Bu Mansyur. Mereka tampak sedang duduk di ruang depan rumah mereka. Rumah yang terdiri atas dua ruangan itu nampak sedikit asri karena Bu Mansyur menghias terasnya dengan beberapa tanaman hias sederhana. Ah, Ibu yang malang, batin Harun tergugu.

“Assalamualaikum,” sapa Harun sambil mengetuk pintu.

“Waalaikumsalam,” terdengar jawaban dari dalam. Terdengar suara kelesetan sandal yang beradu dengan lantai. Sebentar kemudian, tirai di jendela sebelah pintu terbuka.

“Nak Harun…” terdengar suara terkejut sambil membuka pintu. Harun segera menghambur menyambut tangan tua si pemilik rumah. Diciumnya tangan itu dengan takzim.

“Saya datang, Bu,” kata Harun. Tak kuasa ia menahan air mata menyaksikan nasib yang menimpa dua orang tua asuhnya dulu. Bu Mansyur yang membukakan pintu pun tak kuasa menahan air mata. Dipeluknya Harun dengan kuat-kuat. Mereka pun menangis tak kuasa menahan bercampur-baurnya perasaan yang mereka rasakan. Senang, terharu, sekaligus sedih. Ingatan Bu Mansyur pastilah melayang pada Zul, anaknya yang sudah mati itu.

Mendengar sedikit keributan di ruang tamu, Pak Mansyur pun keluar dari dalam kamarnya. Harun melihat, betapa kurusnya Pak Mansyur. Ia semakin tua dan sakit-sakitan. Namun, kilatan di matanya masih menunjukkan kebijaksanaan yang tiada bertepi. Segera, Harun menghambur kepada Pak Mansyur.

“Bapak…” katanya sambil mencium tangan dan merangkul lelaki tua itu. Pak Mansyur merangkulnya, dan menepuk-nepuk bahunya. Keras sekali hingga berguncang-guncang tubuh Harun.

***

“Run… bangun Run,” sebuah teriakan menyadarkan Harun. Emak! Ia segera bangkit. Dikuceknya matanya. Jadi, ia hanya mimpi? Mimpi yang tampak begitu nyata baginya. Dia bangkit dengan sedikit limbung.

“Ah, Cuma mimpi ya Mak. Tapi mengapa begitu nyata?” katanya setengah bergumam.

“Mimpi apa, Run? Waktu hendak tidur kamu berdoa apa tidak?” tanya emak sembari membungkusi nasi kering yang hendak dijualnya ke kampung.

“Berdoa, Mak.”

“Ya, mungkin saja itu petunjuk Tuhan, Run. Mimpi apa kamu?”

Harun pun menceritakan mimpinya. Tentang si Udin, tentang Ijah dan Joni, juga tentang keluarga Pak Mansyur. Mimpi itu begitu nyata baginya. Emaknya mendengarkan cerita Harun dengan saksama. Ia merasa, bahwa anak semata wayangnya ini memang memiliki bakat kemampuan yang berbeda dengan teman sebayanya.

Pikirannya jernih. Sejak masih umur 5 tahun, ia sudah pandai menghafal juzz amma. Sekarang, kelas VIII SMP, ia sudah menghafalkan beberapa juz Al Qur’an. Tartilnya sempurna. Sholatnya tak pernah ketinggalan, bahkan sejak ia belum akil baligh. Dulu, beberapa waktu sebelum ayahnya meninggal, Harun memimpikan ayahnya tertabrak sebuah bus dan masuk ke jurang. Tak selang seminggu, ayahnya memang mengalami kecelakaan di tempat yang sama dengan tempat yang dimimpikan Harun.

Tak berapa lama setelah itu, ketika itu Harun masih berusia 8 tahun, ia bermimpi bahwa ia dan emaknya akan disuruh pergi oleh pamannya, adik ayah Harun. Tak ganti hari malah, Imron –adik kandung ayah Harun- meminta mereka untuk mengosongkan rumah peninggalan ayah Harun karena sengketa warisan.

Mereka pun akhirnya terlunta-lunta tak punya tempat tinggal. Irma, emak Harun adalah seorang yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Ketika besar, ia menjadi pelayan toko milik Pak Mansyur dan do sana pula ia bertemu dengan ayah Harun, suaminya. Suaminya itulah satu-satunya kerabat yang dipunyainya selain Harun. Kini, mereka tinggal berdua dan terlunta-lunta tak punya tempat tinggal.

Pak Mansyur mengulurkan bantuan kepada janda miskin dan anak yatim itu. Ia menampung Irma dan Harun di rumahnya. Beberapa waktu kemudian, Pak Mansyur mendirikan sebuah rumah kecil semipermanen di tepian desa, untuk tempat tinggal Irma dan Harun. Tak jauh dari rumah itu, terdapatlah tempat pembuangan sampah. Tempat ini akhirnya mengundang para pemulung untuk ikut bertempat tinggal di sekitar Irma dan Harun. Mereka tak lagi kesepian.

Selain membantu pekerjaan rumah tangga Pak Mansyur, setiap pagi Irma membuat nasi bungkus. Nasi ini nanti akan dibawa Harun ke kantin sekolah. Tetangganya juga banyak yang membeli nasi bungkus buatan Irma. Untuk membantu beban ibunya, sejak kelas 5 SD Harun sudah membantu-bantu membersihkan pekarangan rumah Pak Mansyur. Menyapu halaman, mencabuti rumput yang tumbuh liar, menyiram bunga. Juga mengepel dan membersihkan kamar mandi. Pekerjaan emaknya tinggal memasak, mencuci, dan menyetrika.

Semua dilakukan Harun dengan hati riang. Irma selalu bersyukur melihat Harun yang santun. Tiap hari, setelah selesai membersihkan rumah Pak Mansyur, Harun akan bermain bersama Zul yang usianya terpaut 3 tahun. Zul sering mangajari Harun pelajaran sekolah. Sayang, begitu SMA, Zul sudah mulai mengenal pacaran dan Harun mulai dilupakannya. Harun pun tahu diri, ia menjauh dari Zulfikar yang mulai asyik dengan lingkungan barunya.

“Mak, bukannya kata Ustad mimpi pada jam segini itu mimpi yang nyata, ya…,” kata Harun tiba-tiba.

“Jam berapa sekarang, Run?”

“Belum adzan Shubuh, kan Mak? Paling sekitar jam 3-an.”

Emaknya terdiam. Mimpi yang jadi nyata? Mana mungkin anaknya yang hidup dan dibesarkan di lingkungan TPA ini menjadi orang sukses yang memiliki mobil bagus? Tapi mimpi itu? Bukankah Harun sering melihat sebelum waktunya? Orang Jawa bilang, weruh sadurunge winarah. Apakah mimpi itu firasat baginya?

“Nak, emak takut kalau kamu akan terbuai mimpimu itu. Bagi emak, yang penting hari ini kita menjalani hidup kita dengan sebaik-baiknya. Perkara nanti kamu jadi orang kaya, itu perlu ikhtiyar. Tak mungkin kita akan menjadi kaya kalau kita hanya berpangku tangan saja.”

“Ya, Mak, Harun mengerti. Harun akan belajar dengan baik agar nilai-nilai Harun baik. Siapa tahu nanti Harun bisa melanjutkan ke SMK, ya Mak.”

Emaknya mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Anaknya begitu manis sikapnya. Begitu mulia akhlaqnya. Kalaulah tak dibantu Pak dan Bu Mansyur, manalah mungkin anaknya bisa sekolah sampai SMP. Tapi untuk melanjutkan ke SMK? Penghasilannya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Sesekali disisihkan tabungannya untuk bisa membelikan baju yang sedikit layak untuk Harun saat lebaran. Ah, selama ini bajunya pun banyak yang merupakan lungsuran dari Zulfikar.

Tapi anaknya tak pernah mengeluh. Setiap hari dijalaninya dengan hati riang. Wajahnya yang putih bersih, rambutnya yang ikal, dan matanya yang berkilat-kilat serta senyum yang selalu mengembang membuat semua orang jatuh hati kepada Harun. Irma berharap, semoga nasib baik nanti menyertai Harun. Semoga nasib baik menyukai Harun sebagaimana orang-orang menyukai Harun.

“Sudah hampir Shubuh, Run. Bukankah sebaiknya kamu ke musholla sekarang?” kata emaknya.

Harun segera meloncat dari duduknya.

“Siap, Komandan,” serunya dengan kocak kepada emaknya.

Ia segera menyambar sarung bersih dan kemeja koko satu-satunya. Diambilnya peci di atas lemari pakaian milik mereka satu-satunya. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah menghilang di balik gelapnya .

Tak berapa lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci Al Qur’an dari musholla. Suaranya bening, tartilnya sempurna. Irma selalu terharu setiap kali mendengar Harun mengaji. Matanya membasah penuh rasa syukur memiliki permata yang sedemikian berarti dalam hidupnya. Semoga Allah mengabulkan harapan Harun untuk terus bersekolah. Semoga Allah senantiasa menuntun Harun ke jalan yang benar. Perkara mimpi Harun itu, ah, Irma tak berani berharap banyak. Bisa hidup hari ini tanpa harus mengemis saja sudah merupakan anugerah yang sangat besar baginya.

Subuh datang memeluk bumi. Kehidupan pun berjalan lagi sebagaimana mestinya.
(Nominator Fiction Competition di www.dumalana.com)

0 komentar:

Posting Komentar