Wahyu

Aku pernah mengenalnya di suatu waktu yang lalu. Mahasiswi baru yang lucu. Matanya itu, lho. Menyimpan magnet yang demikian besar untuk selalu ditatap. Dan ia menatapku dengan penuh rasa takut. Ah, tak tega rasanya melihatnya ketakutan. Kuberi sedikit senyum terbaikku. Ospek bukan sarana intimidasi. Aku ingin membuatnya lebih nyaman dengan kampus barunya.

Hari-hari berlalu dengan balutan warna merah muda nan segar. Ceria rasanya. Setiap bertemu kami akan terlibat obrolan ringan dan panjang. Tak ada henti, gadis itu selalu enak untuk diajak bicara. Nyambung. Selalu kukagumi, alangkah cerdasnya ia. Lalu lahirlah proklamasi hubungan kami: pacaran sehat.


“Mas,” katanya suatu ketika. Kala itu aku semester VIII dan ia masih semester IV.

“Bapak menyuruhku berhenti kuliah,” katanya ketika itu.

“Mengapa?” tanyaku kaget.

Dia tertunduk. Matanya yang biasa berbinar tiba-tiba saja redup.

“Tak ada lagi biaya.”

Ah, biaya. Biaya kuliah memang semakin mahal.

“Panen Bapak tahun ini gagal,” katanya. “Hama telah merusak tanaman kami. Begitu ada yang dipanen, tengkulak mematikan sumber rezeki kami.”

“Sayang, kan San…,” sahutku tanpa tahu harus berbuat apa. Aku sendiri belum bekerja ketika itu.
Dia diam.

“Kamu cerdas…,” kataku lagi.

Dia hanya menatapku. Ah, tak tega rasanya melihat kilauan yang menggenang di matanya.
Sayangnya, pada saat yang sama, aku harus berangkat KKN. Tinggal di sebuah desa terpencil tanpa listrik apalagi telepon. Telepon genggam belum kukenal ketika itu. Kami pun putus komunikasi tanpa kata berpisah. Sampai sekarang, aku masih menganggapnya sebagai pacarku, meskipun ketika pulang KKN, kudengan dari Indah, sahabatnya, Santi pulang ke desa dan menikah dengan anak lurah di desanya.

0 komentar:

Posting Komentar