Malam belum lagi larut. Desau daun bambu di musim kemarau terasa menyayat hati. Aku duduk sendiri di ruang depan rumah kecilku sambil melipat pakaian yang kering terjemur tadi siang. Sepi. Seisi rumah sudah tidur kecuali aku. Di bilik sebelah, emak kulihat sedang ngeloni Sari, anakku. Sudah menjadi kebiasaan Sari untuk tidur bersama emak jika kebetulan emak sedang menginap di rumah.

Ah, emak. Ia sudah semakin tua sekarang. Sudah mencapai 70 tahun. Raganya tak sekuat dulu, tubuhnya telah nampak letih, rambutnya sudah dipenuhi uban, tetapi sorot matanya tetap memancarkan kasih sayang dan kedamaian.

Kemarin siang emak datang. Ini memang sudah kami rencanakan sejak dulu. Emak datang ke tempatku, dan dua hari lagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis kandungan untuk memasang cincin di rahimnya. Ya, sejak dua tahun lalu, emak memang mengalami turun rahim. Jaringan penyangga rahimnya sudah sedemikian rapuh sehingga tak kuat lagi menyangga rumah tempatku bersemayam selama sembilan bulan dulu. Rumah hangat yang membuatku enggan keluar sehingga aku menangis menjerit-jerit ketika dipaksa keluar dari rahim emakku dan dipaksa menikmati kerasnya dunia yang hingga kini masih kurasakan sejak lebih dari tiga puluh tahun kelahiranku.


Rahim ini harus disangga agar tak menghalangi jalannya kencing. Penyangganya berbentuk semacam cincin besar yang harus dimasukkan ke dalam vagina untuk menyangga rahim ini. Setiap tiga bulan sekali, cincin ini harus diganti. Sebenarnya sih solusi utamanya rahim ini harus diangkat, tapi biaya dari mana? Emak sudah tak punya apa-apa lagi yang dijual di kampung. Hanya sebentuk rumah sederhana dan sedikit pekarangan yang sesekali mengeluarkan hasil bumi untuk ditukar dengan beras dan minyak. Aku? Aku hanya seorang perempuan biasa. Ibu rumah tangga yang tak punya penghasilan sendiri. Sehari-hari, aku hanya mengandalkan upah suamiku sebagai buruh mingguan pabrik rokok.

Anak emakku tiga orang, aku yang terakhir. Semasa aku kecil dulu, kami tinggal di sebuah desa yang terdapat di lereng gunung yang subur. Untuk kehidupan sehari-hari, kami mengandalkan hasil sawah dan kebun yang cukup untuk menghidupi kami sekeluarga: bapak, emak, dua orang kakaku, dan aku. Bapak seorang pekerja keras. Tekadnya sangat kuat untuk menyekolahkan anaknya. Kami dilarangnya ikut bekerja di sawah, tugas kami yang utama adalah belajar.

Selepas SMA, mas Arip, kakak tertuaku langsung kuliah. Bapak sanggup membiayainya dengan mengandalkan hasil sawah dan empang di belakang rumah. Namun, apa hendak dikata. Ketika Mas Arip semester V, Mas Bayu kelas III SMA, dan aku kelas I SMP, Bapak pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Meninggalkan kami yang tak terampil mengurus sawah dan kebunnya, meninggalkan emak untuk merawat 3 anaknya yang masih butuh biaya untuk sekolah.

Emak pun mengambil alih tugas Bapak. Merawat sawah dan kebun yang tak seberapa hasilnya karena tak diolah maksimal. Sesekali datang tengkulak untuk membeli hasil sawah kami secara ijon. Ya, Mas Arip selalu butuh biaya ini dan itu sehingga terpaksa hasil sawah kami dijual secara ijon. Tentu saja dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pembelian secara wajar. Tapi apa boleh buat? Keadaan memaksa emak untuk melakukannya.

Dengan terseok-seok, emak berhasil membawa Mas Arip lulus kuliah. Bergelar sarjana ekonomi sekaligus menyunting teman kuliahnya yang anak pengusaha terkenal. Nasibnya memang baik. Pekerjaan ia dapat, istri cantik dan kaya ia punya. Namun, apa hendak dikata, jika ternyata istrinya yang cantik dan kaya itu lebih berkuasa terhadap diri Mas Arip. Ia hidup di bawah ketiak istrinya yang cantik dan wangi itu. Sejak menikah, ia bahkan bisa dikatakan lupa terhadap kami, adik-adiknya dan tentu saja emak.

Setiap lebaran, ia memang datang. Mengendarai mobil keluaran terbaru, bersama istri dan anak-anaknya yang harga bajunya bisa buat biaya kami makan satu bulan lebih. Namun, kedatangannya tak lebih dari satu jam, Setelah itu kembali pulang ke kota, ke rumahnya yang mewah. Ah, emak. Selalu ada kilatan air mata yang menggenang jika lebaran tiba, namun ia tak pernah berkata. Ia hanya diam seakan menerima saja semua takdirnya.

Waktu berlari, bulan bergulir, tahun berganti. Aku tak pernah mencecap bangku SMA meskipun lulus SMP dengan nilai terbaik sekabupaten. Sawah kami sudah habis untuk membiayai pernikahan Mas Arip. Mas Bayu yang bisa menuntaskan SMA-nya tak lebih beruntung dariku. Selepas SMA, ia hanya bekerja sebagai satpam di pabrik. Darinyalah aku mengenal Mas Bandi, suamiku.

Keadaan ekonomi kami hampir sama. Istri mas Bayu memang bekerja namun bukan berarti uangnya lebih banyak. Ia hanya bekerja sebagai buruh harian pabrik rokok kecil-kecilan yang banyak terdapat di kota kami. Namun, anaknya banyak. Empat orang dengan jarak yang rapat. Ia butuh orang untuk momong anaknya. Harga pemomong sekarang juga tak murah. Kadang kubilang padanya untuk berhenti bekerja saja, tapi ia bilang tak mau hanya menggantungkan hidupnya pada suaminya saja.

Benar juga, kupikir. Tak seperti aku yang hanya mengandalkan upah suamiku. Ya, aku hanya ibu rumah tangga biasa karena memang tak punya keterampilan khusus. Pekerjaan sampinganku hanya memelihara ayam di pekarangan sempit belakang rumahku. Menjelang lebaran kemarin ayam-ayam itu kujual semua. Hasilnya lumayan untuk biaya berlebaran, sebagian kusisihkan untuk biaya mengganti cincin yang menyangga rahim emak.

Selama ini aku selalu bisa menyisihkan biaya untuk mengganti cincin itu. Namun, hari ini aku kebingungan. Uang yang harusnya kugunakan untuk membeli cincin itu kemarin hari kupinjamkan kepada Bu Ati, tetangga sebelah. Anaknya terpaksa dirawat di rumah sakit karena mencret setelah makan makanan sembarangan selama hari raya. Dan sekarang emak di rumahku seolah menagih janji padaku untuk mengganti cincinnya yang memang sudah saatnya diganti.

Pelan, kuhela nafas panjang. Uang dari mana? Tiga ratus ribu bukan jumlah yang kecil untukku. Hutang? Ah, emak tidak membiasakan berhutang padaku. Sejak kecil, jika kami sedang tak punya uang, kami cukup makan dengan ikan asin. Jika pun ikan asin tak terbeli, cukuplah nasi dengan garam dan terasi. Tak berani aku berhutang, takut bilang, takut tak bisa mengembalikan karena aku tak punya cadangan janji untuk mengembalikan hutang itu.

Ah, emak. Tak mungkin aku membiarkannya menderita karena rahimnya terluka oleh cincin yang kedaluarsa. Tapi bagaimana caranya? Pusing aku dibuatnya. Hendak bilang pada suamiku rasanya percuma karena semua upahnya telah diberikannya padaku.

Mas Bayu? Tak tega rasanya merecoki ekonominya. Anak-anaknya butuh biaya yang tak sedikit. Mas Arip. Ya, satu-satunya harapan adalah Mas Arip. Dia yang keadaan ekonominya mapan. Tapi bisakah? Beberapa bulan yang lalu, aku memberitahunya tentang sakitnya emak, dia diam saja. Sekali waktu, aku pernah bertemu dengannya ketika keluar dari halaman apotek usai menebus obat untuk emak. Ketika ditanya, aku jujur bicara apa adanya dan dia tak berkomentar. Sekilas kulihat kilatan di matanya, tapi tak lama. Ia berlalu dengan mengucapkan doa semoga emak cepat sehat.

Hanya itu. Ya, hanya itu. Kupikir, ia juga mengkhawatirkan emak, tetapi ia tak kuasa menggeliat dari kungkungan istrinya. Kakakku yang pandai itu terlalu dikontrol oleh istrinya. Semua pengeluarannya dihitung, bahkan untuk bensin. Mungkin juga untuk biaya bayar toilet di POM Bensin. Tak mungkin aku mengemis kepada kakak iparku dengan mengatasnamakan emak. Bukan karena namaku, tapi aku takut emak semakin tak berharga di mata kakak iparku yang cantik itu. Sungguh tak rela rasanya bila ini yang terjadi.

Malam melarut. Aku masih termangu di ruang depan meskipun lipatan pakaianku sudah selesai. Suara jengkerik berpadu dengan desau desir daun bambu membuatku enggan beranjak dari dudukku. Aku mau kedamaian ini. Kedamaian yang sedikit tak bisa kurasakan karena sebentuk cincin yang harus segara terpasang untuk menyangga rahim emak, tempatku bersemayam selama lebih darti sembilan bulan, berpuluh tahun lalu.

Tok tok tok…

Tiba-tiba kudengar ketukan keras di pintu. Malam-malam begini ada tamu? Segera aku bangkit dari dudukku dan membuka pintu. Bu Ati. Bu Ati datang mengembalikan uang yang dipinjamnya dulu. Tiga ratus ribu. Jumlah yang sama tepat dengan yang kubutuhkan untuk mengganti cincin penyangga rahim emak.

“Alhamdulillah,” gumamku. “Besok kita bisa mengganti cincin itu, Mak,” bisikku pelan pada diriku sendiri. Perlahan kubuka tirai yang menutupi bilik tempat emak terbaring. Damai rasanya melihatnya tersenyum dalam tidur.

0 komentar:

Posting Komentar