Telepon dari Nah siang ini benar-benar mengagetkanku. “Mbah Ti baru saja pulang, Bu… Naik bus, katanya. Sudah saya tahan, tetapi tak tetap tak mau nunggu Ibu dulu.”

Mbah Ti, sebutan kami untuk ibuku, baru 2 hari mengunjungi rumah kami. Belum sempat bercengkerama panjang lebar, karena datangnya pas di hari Senin. Hari supersibuk dalam kehidupan kami. Biasanya, setiap kali berkunjung, paling tidak seminggu atau dua minggu di rumah. Setelah itu, beliau akan pulang ke rumah atau ke tempat kakak yang lain. Sejak ayahku meninggal, memang ibu tak selalu berada di rumah induk, rumah tempat kami dibesarkan dulu.

Kalau baru 2 hari Ibu sudah memutuskan untuk pulang, berarti ada hal tak mengenakkan yang terjadi. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Tapi kenapa? Perasaan, kemarin tak ada masalah sama sekali. Sepulang kantor, kami bicara baik-baik. Meskipun tak lama, kami sempat bercerita tentang kampung halaman, bercerita tentang keadaan keluarga dan tetangga di sana. Tak ada yang salah. Kalau rumah agak sepi, ini memang karena Mas Anto, suamiku, sedang dinas di luar kota. Nina, anak sulungku, sedang kemah bersama teman-teman sekolahnya dalam rangka mengisi liburan semester dan Andre, adiknya, sedang sibuk menghadapi lomba pelajar teladan tingkat nasional. Setiap pagi ia harus ke rumah gurunya untuk digembleng di sana.


Tapi, mungkin Ibu memang kesepian di rumahku. Seharian di rumah hanya bersama Nah yang juga sibuk dengan pekerjaannya. Sementara, kalau beliau mau membantu, Nah pasti melarangnya. Pembantuku yang satu ini memang pekerjaannya super, tapi tak banyak bicara pula. Sementara itu, tetangga-tetangga di perumahan ini juga kebanyakan bekerja di luar rumah. Jadilah, Ibu menjadi seorang perempuan tua yang kesepian. Tak ada seseorang yang diajaknya berbicara di rumah ini jika aku sedang di kantor seperti pagi ini.

Dulu, ketika anak-anak masih kecil-kecil, mereka dengan segera akan berlarian untuk menyambut Mbah Ti mereka tiap kali ibuku datang ke rumah. Atau, mereka akan rewel minta diajak ke rumah Mbah-nya jika sedang liburan walaupun cuma sehari dua hari. Dan Mbah Ti akan dengan senang hati menemani anak-anak, mendongengi mereka dengan cerita-cerita masa lalu, memberikan bocoran tentang masa kecil Bunda mereka, mengajak mereka jalan-jalan ke kebun kopi, memanen sayuran di kebun belakang, membakar ikan yang mereka pancing bersama Mbah Kakung ketika Bapak masih ada. Menyenangkan sekali. Namun, ketika anak-anak beranjak besar, Nina sudah SMA dan Andre kelas 5 SD, mereka menjadi sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Liburan tahun ini, Nina memutuskan untuk kemah bersama temannya. Lima hari di bumi perkemahan yang sebenarnya letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Namun, karena dengan temannya, ia tak bisa singgah ke rumah mbahnya. Aku menyetujuinya karena kupikir ia butuh bersosialisasi dengan teman-temannya. Toh, kegiatan ini positif juga, lagipula aku tahu ada pendamping yang bisa kupercaya menjaga anak-anak itu. Andre pun harus fokus belajar menghadapi lombanya. Aku tak mau gurunya kecewa karena usaha yang kurang maksimal. Ah, ya, mungkin ini yang menjadikan Ibu kesepian di rumah. Tak ada Nina dan Andre yang biasa menemaninya bercerita.

Aku harus segera bertindak. Mungkin kami sudah mengecewakan Ibu, tapi aku tak mau hal ini berlarut larut. Harus ada solusi agar Ibu tak telanjur kecewa dengan sikap kami. Ah, ya, aku ada ide! Segera kutelepon Nina.

“Nin, sebaiknya kamu pulang hari ini,” kataku.

“Yah, Bun… kan baru dua hari. Masih 3 hari lagi, Nina di sini,” sahutnya dari seberang.

“Pulanglah, Bunda harap. Bagaimana kalau kita kemah di tempat lain saja?”

“Hahh? Kemah, Bun? Bersama Bunda? Yang benaaarrr…,” jeritnya serasa tak percaya.

“Heem… Nanti Bunda akan ambil cuti tahunan. Kebetulan sudah bertahun tahun belum diambil. Bos pasti boleh. Kita kemah di rumah Mbah Ti saja, ya….”

“Horeeee…. tapi, Andre, Bun?”

“Andre? Biar Bunda nanti bilang ke gurunya. Kan belajar juga bisa sambil refreshing. Kalau di sekolah terus, Bunda takutnya Andre jadi stress. Tak lama, kok. Cukup agar mbah Ti merasa senang.”

“Oke, Bunda… Nina pulang sekarang kalau begitu.”

“Sip, Nin. Jangan lupa kamu telepon juga Mas Nabil dan Lintang biar rame.” Nabil dan Lintang adalah anak-anak kakak perempuanku.

“Siap, Bunda….”

Kututup telepon. Beres. Nanti malam aku akan menata bawaan dan besok kami akan segera meluncur ke rumah Ibu. Kuharap keputusanku ini bisa menjadi kejutan menyenangkan untuk Ibu, Mbah Ti-nya anak-anak.

———————————

Spesial didedikasikan untuk Ibundaku tercinta.

0 komentar:

Posting Komentar