“Bangun, Nak, sudah hampir imsak,” kataku.
“Masih ngantuk, Bunda, mau tidur lagi,” katamu sambil membalikkan tubuhmu.
“Lho, kemarin kan kamu semangat, bisa bangun sendiri.” Kamu masih tetap terlelap.

Aku pun mengangkatmu dan mendudukkanmu di kursi makan.
“Minum teh anget dulu,” kataku.
Engkau pun meminumnya.
“Segar?” Engkau mengangguk. “Sini Bunda suapin.”


Lalu lahaplah engkau makan. Sudah kelas III tapi masih disuapin. Ah, untung adik masih tidur sehingga Bunda bisa menyuapimu.
“Mau buka apa sore nanti?”

Engkau tampak berpikir.
“Es Blewah, Bunda. Lauknya ati goreng aja sama sayur jagung.”
“Cukup?” tanyaku. Kamu mengangguk.
“Kalau banyak-banyak perutnya ndak muat, Bunda.”
Aku mengangguk. “Bagus, Nak, memang demikian makna puasa. Tak boleh berlebihan.”

“Bun,” katamu. ”Puasa bagiku sangat mewah, lho.”
“Mewah?” keningku berkerut.
Kamu mengangguk.
“Kenapa? Kan tak boleh berlebihan…”
“Mewah karena Bunda bisa masak terus tiap hari. Biasanya kan tidak…”

Kata-katamu menggantung, Nak. Namun, cukup membuat Bunda tergugu. Maafkan Bunda, Nak. Kesibukan pekerjaan Bunda membuat keluarga sering terabaikan. Ramadhan ini Bunda akan memulai untuk lebih fokus pada keluarga. Semoga setelah Ramadhan nanti Bunda bisa lebih banyak meluangkan waktu untukmu, untuk adik, dan untuk Ayah.

0 komentar:

Posting Komentar