Sore yang penat, matahari sudah hendak masuk ke peraduan. Layung-layung jingga menghias kaki langit di ufuk barat. Indah tetapi mengandung misteri, begitu selalu pikirku tentang senja. Entahlah, aku tak suka senja. Kata simbah, ada candikala di kala senja.Namun, melihat senja dari teras rumah selalu menjadi ritual kesukaanku menjelang malam, sembari melepas penat setelah lelah bekerja seharian. Itu kalau aku bisa pulang sebelum magrib. Kalau tidak, berarti aku masih di kantor berkutat menyelesaikan pekerjaanku.

Biasanya, aku duduk di teras rumah sambil menikmati majalah yang belum sempat kubaca. Tentu, dengan teman secangkir teh dan camilan. Kue sagon. Kue tradisional yang berasa dari ketan, gula, dan kelapa ini menjadi jajanan favortiku sejak kecil. Nenek sering membuatkanku dulu. Sekarang, sejak nenek tak ada, aku selalu memesannya dari tetangga nenek, yang dulu sering membantu nenek membuat sagon.

Bukan hanya aku yang suka sagon. Ardi juga. Dia sahabat masa kecilku sehingga terbiasa pula menikmati sagon bersamaku. Sampai sekarang, kami masih sering berbincang di sini, menghabiskan senja, dan menghabiskan kue sagon.

Sore ini, teras rumah yang biasanya menjadi tempat duduk favoritku mendadak menjadi tempat yang tak nyaman. Ada Ardi di depanku. Dia duduk di depanku dengan muka kusut. Tangannya menggenggam sepucuk surat. Warnanya biru muda, harum, tetapi kusut karena aku tahu, Ardi telah memegangnya dengan cengkeraman kuat sekuat ia menahan galau hatinya. Tak dihiraukannya kue sagon yang telah menunggu untuk disentuh.

“Airin menghilang,” katanya. “Ia meninggalkan sepucuk surat ini untukku.”
Ardi pun mengangsurkan surat itu kepadaku. Aku memandangnya nanar. Ia menjawab pandanganku itu. “Bacalah,” katanya.

Aku pun segera membuka kertas itu. Tulisannya agak acak-acakan, menadakan kegalauan hati penulisnya.

Teruntuk Kak Ardi, malaikatku, belahan jiwaku.
-Kepadamu kuserahkan semua jiwa dan ragaku.-

Kak Ardi yang Airin cintai,
Jika kak Ardi membaca surat ini, yakinlah bahwa Airin sedang berada di tempat yang tepat dan aman untuk Airin dan Andini, buah hati kita. Kakak tak perlu mengkhawatirkan keadaan kami.

Kak Ardi,
Bukan maksud Airin untuk membuat kak Ardi bingung, namun Airin hanya hendak berkata, bahwa Airin lelah. Airin lelah, Kak, Airin butuh tempat untuk sekadar menyinggahkan penatnya jiwa ini.

Kak,
Bukan Airin lelah mengurus anak kita, bukan pula lelah mengurus rumah tangga kita. Sungguh, Airin ikhlas dengan apa yang Airin lakukan selama ini. Airin hanya lelah, lelah menunggu sebuah tatapan cinta dari Kak Ardi. Sebuah tatapan yang akan selalu disinggahkan suami kepada istri yang dicintainya. Tatapan yang telah saya nantikan sejak kali pertama kita bertemu.

Kak Ardi,
Mungkin salah Airin ketika segera mengajak Kakak menikah hanya karena Kakak mengatakan kalau Kakak sayang pada Airin. Meskipun kala itu Airin tahu, kalau Kakak mencintai perempuan lain, Airin pikir Airin akan bisa mengikat hati Kakak dengan kecantikan Airin, dengan cinta Airin, dengan pengabdian Airin kepada Kakak. Airin terima semua sikap hambar dari Kakak dengan harapan, suatu hari nanti Kakak akan berubah.

Airin tahan hati, ketika Kakak lebih sering di kantor daripada di rumah. Airin kuatkan hati ketika saat melahirkan Andini, kakak justru sedang berada di tempat lain. Airin menata hati, ketika Andini sakit dan kakak tak bisa menemani ke dokter.

Airin sudah cukup bahagia dengan keadaan ini. Airin sangat bahagia ketika melihat Kakak bercanda mesra dengan Andini walaupun setelahnya hambar terhadap Airin. Airin tahankan semuanya, Kak.
Namun, Airin merasa semua ini akhirnya si-sia belaka dan Airin merasakan lelah yang amat sangat. Kakak masih ingat tentang kue sagon yang Airin buat khusus untuk Kakak? Tak begitu bagus hasilnya, tapi kue itu Airin buat dengan sepenuh cinta. Nyatanya apa, Kak? Kakak sama sekali tak menyentuhnya. Padahal Airin ingat sekali, Kakak selalu menghabiskan kue sagon di rumah Kak Nana.

Kak,
Airin tahu diri. Airin tahu, Airin tak pantas untuk mendapatkan cinta Kak Ardi. Airin pamit, Kak. Maaf telah menyita sekian lama waktu Kakak untuk hidup bersamaku.
Istrimu, Airin.

Kulipat kembali surat itu, lalu kurapikan guratan-guratannya dengan tanganku. Aku menghela nafas panjang. Sungguh, surat itu begitu menyentuh hatiku.

Aku jadi merasa bersalah, telah menghabiskan sekian waktu Ardi untuk bersamaku. Ardi, sahabat masa kecilku ini memang pernah menyatakan kalau mencintaiku. Ia mengajakku untuk menikah ketika usia kami 25 tahun. Aku menolaknya karena ia bukan pacarku dan aku masih ingin fokus dengan pekerjaanku. Karier. Saat itu aku mau karier. Setengah tahun selepas penolakanku, ia datang dengan membawa Airin. Kukatakan padanya, bahwa Airin cocok untuknya. Anak ini tipe rumahan dan tak neka neka.

Ia pun menikahi Airin karena aku telah menyetujuinya. Aku membantu perhelatannya dengan segenap kemampuanku, meskipun sebelumnya aku menangis selama tiga hari tiga malam. Aku merasa sangat kehilangan. Patah hati? Entahlah. Namun, rasa kehilanganku ini tak lama karena Ardi masih sering menemaniku menikmati senja bersama kue sagon diteras rumahku hingga hari ini.

Rasa bersalah itu kian dalam menyergapku. Aku yang salah tak memperingatkan Ardi. Aku yang salah karena menikmati kebersamaanku bersama suami orang, meskipun ia adalah sahabatku. Aku merasa, betapa jahatnya aku pada Airin.

“Di, kamu merasa kehilangan dia, bukan?” tanyaku padanya.

Perlahan ia mengangguk. Ada rasa getir menyeruak dalam dadaku.

“Carilah ia,” kataku pelan. Ia memandangku tajam. Pandangan yang selama ini hanya ia tujukan padaku. Aku tahu, tapi pura pura tak tahu, tatapan Ardi padaku memang tatapan penuh cinta. Tatapan yang selama ini justru sangat dirindukan oleh istrinya. Tatapan bukan hakku yang diam-diam kunikmati, tanpa pernah kuakui karena aku tak mau berkomitmen dengannya.

Aku mengangguk untuk meyakinkannya,” Carilah ia,” kataku. “Dia wanita yang baik, ibu dari anakmu. Sudah selayaknya engkau melimpahinya dengan segenap cintamu.”

“Tapi, Na…,” katanya ragu.

“Kamu mengkhawatirkannya, bukan?”

Ia mengangguk.

“Kalau begitu, benih cinta itu sudah tumbuh dalam hatimu, Kembangkan ia, siram ia sebelum layu kembali. Cari istrimu, Di,” seruku padanya.
“Kamu?”

“Aku? Aku tetap akan di sini menikmati senja dan kue sagon meskipun tanpamu,” kataku.
Setelah yakin bahwa aku akan baik-baik saja, Ardi pun bergegas meninggalkan teras rumahku. Aku tahu, ia akan menemukan Airin sebelum hari berganti nanti.

Heeeiii… benarkah aku akan baik baik saja? Kupandang nanar senja yang mulai gelap. Malam hendak menjelang, sebentar lagi sepi menggayut hariku. Hari-hari seorang lajang di penghujung duapuluhan, sendirian. Akankah aku kesepian? Entahlah. Lalu kue sagon di meja teras itu? Hari ini tak berkurang satu pun. Siapa yang hendak menemaniku menghabiskan kue sagon? Adakah yang bersedia menemaniku menikmati senja dan kue sagon esok hari? Tiba-tiba aku merasa sendiri.
13174425472107577454
dari google

0 komentar:

Posting Komentar