“Lala tak masuk latihan lagi hari ini, Don?” tanya Pak Noor kepada Dona.
“Nggak, Pak, “ sahut  Dona. “Sudah dua kali latihan ia absen terus. Sayang, ya Pak.”
“Iya, Don. Padahal bakatnya sangat bagus. Sayang kalau tak diasah. Bapak yakin, kalau dia mau  lebih rajin latihan, POPDA yang akan datang ia pasti akan memperoleh emas di tingkat provinsi.”
Dona diam saja. Lala memang atlet kesayangan Pak Noor di Klub Atletik Sportif ini. Mereka tidak berasal dari satu sekolah sehingga Dona tak tahu keseharian Lala. Yang ia tahu, Lala sangat berbakat. Meskipun jarang latihan, Dona tak pernah bisa mengalahkan Lala setiap Pak Noor mengetes kemajuan latihan mereka.

Lala anak yang pendiam. Dia jarang bercerita, tetapi ia pendengar yang baik. Setiap kali teman-temannya berceloteh, ia hanya mendengarkan sambil tersenyum dan hanya sesekali menyahut percakapan mereka. Berbeda dengan Dona yang bersekolah di SD Cahaya yang paling terkenal di kotanya, Lala hanya bersekolah di SD dekat rumahnya. Ia masuk klub ini karena guru olahraganya adalah teman  sekolah Pak  Noor.
“Don, “ kata Pak Noor lagi.
“Ya, Pak, “ jawab Dona.
“Kamu tahu rumahnya Lala?”
Dona menggeleng.
“Bapak juga tidak. Teman Bapak yang memasukkan Lala ke sini sudah pindah.  Nomornya hilang waktu HP Bapak dijambret orang.  Sedangkan waktu Bapak juga tak banyak.  Besok mesti ke Semarang untuk diklat . Gimana, ya ....”
Melihat Pak Noor dalam kondisi kebingungan, Dona pun segera manyahut, “Gimana kalau saya saja, Pak?”
“Kamu?” tanya Pak Noor serasa tak percaya.
“Iya, Pak. Saya mau mencari rumah Lala.”
“Yakin kamu bisa, Don?”
“Yakin, Pak. Saya akan mengajak Heru hari  Minggu nanti.”
“Terima Kasih, ya Don.”
Dona mengangguk.
*****
Minggu pagi, sekitar pukul tujuh,  Dona bergegas mengayuh sepedanya ke rumah Heru. Mereka sudah berjanji untuk pergi mencari rumah Lala. Rencananya, mereka akan menuju sekolah Lala  dan mencari informasi  tentang Lala di sekitar sekolah itu. Tetangganya pasti ada yang tahu tentang Lala yang pendiam itu.
Setelah mengayuh sepeda selama 45 menit, sampailah mereka di depan sekolah Lala. Oleh penjaga sekolah yang tinggal di situ, mereka diberi tahu bahwa rumah Lala memang tak jauh dari situ. Cukup berjalan lurus, nanti pada gang kedua masuk. Ada rumah yang hadap ke selatan, satu-satunya yang berdinding bambu.
Sampai di sana, tampak Lala sedang asyik menjemur pakaian. Aih, banyak sekali pakaiannya. Sampai halaman depannya tak cukup untuk menampungnya. Melihat  dua orang temannya datang, Lala pun menghentikan pekerjaannya dan berlari menyongsong Dona dan Heru.
“Kalian?!” seru gadis kecil kelas V SD itu serasa tak percaya. “Bagaimana bisa sampai di sini?”
“Pak Noor yang menyuruh kami, La, “ kata Dona setelah mempersilakan mereka duduk di  teras depan rumahnya.  “Lagi pula, kami juga sudah kangen ingin latihan dengan kamu,” lanjutnya.
“Iya, La. Sepi  kalau latihan tak ada kamu. Lagi pula, kan sayang kalau kamu jarang latihan. Bakat besarmu itu  harus diasah, La,” sahut Heru, “Siapa tahu, suatu hari nanti kamu akan menjadi pelari tingkat dunia. Yaah… paling tidak, tingkat nasional  seperti  Ruwiyati itu. Bonusnya gedhe, La. Sampai 1 M. Bayangkan! 1 M, La!”
Lala menunduk kelu.  Dipermainkanya ujung kaosnya  yang basah karena baru saja mencuci baju. Melihat temannya bersikap seperti itu, sadarlah Dona.
“La?”
Lala memandang Dona setengah putus asa. Ia tak sanggup menceritakan semua bebannya kepada Dona. Ah, ia tak sanggup bercerita, betapa ia harus mencuci baju-baju tetangganya untuk sekadar membantu mbahnya yang sudah tua. Mbahnyalah satu-satunya keluarganya setelah ayahnya pergi meninggalkannya dan ibunya meninggal ketika melahirkannya.
Tak sanggup ia katakan, betapa ia sangat ingin ikut latihan setiap sore. Betapa inginnya. Tapi ia tak punya sepatu  khusus sprinter. Satu-satunya sepatu yang ia punya hanyalah sepasang sepatu pemberian sekolah dengan dana BOS yang sudah usang karena sepatu itu juga ia gunakan untuk latihan. Tak pula ia sanggup katakan bahwa karena sepatu itu pula, pada latihan terakhir  yang lalu, kakinya cedera.
Tak pula ia sanggup katakan bahwa karena cedera itulah mbahnya terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk mengurutkan kakinya. Karenanya pulalah ia mesti bekerja lebih keras lagi agar dapat mengumpulkan uang untuk membeli sepatu impiannya. Tanpa sepatu itu, ia belum berani ikut latihan karena khawatir kakinya akan cedera lagi.
“La, ada apa sebenarnya denganmu? Mungkin kami bisa membantumu?”
Lala menggeleng.
“Tak ada apa-apa, Don. Aku hanya sedikit cedera saat latihan kemarin.” Akhirnya bisa juga ia bicara.
“Kenapa? Keseleo?”
Lala mengangguk. Katanya kemudian, “Mungkin aku akan absen latihan selama beberapa minggu ini.”
“Apa?” seru Dona dan Heru serempak.
“POPDA sudah di depan mata, La. Kamu mau melewatkan kesempatan emas ini?” tanya Dona.
“Aku tahu…. Tapi….”
“Tapi kenapa?” sambar Heru. “Ayolah La…”
“Aku… aku…”  Kelu. Lala tak lagi bisa bicara. Dia tak mau dikasihani temannya. Biarlah ia miskin, tetapi jangan sampai kemiskinannya membuat orang lain berbelas kasihan.
“Pokoknya, besok kamu harus datang, La, “ kata Dona tegas.
“Nggak bisa, Don. Aku tak punya sepatu!” seru Lala. Ah, ia keceplosan. Ditutupnya mulutnya dengan kedua tangannya.
“Sepatu?”
Lala mengangguk. Dona telah telanjur tahu.  Terpaksa ditunjukkannya sepatu usang yang ada di sudut ruangan.
“Hanya itu yang kupunya. Kemarin aku cedera karena memakai sepatu itu.”
Dona terdiam Tiba-tiba hatinya merasa iba kepada  teman seklubnya itu. Ah, betapa bodohnya, selama ini ia tak pernah memperhatikan Lala. Gadis pendiam itu hanya mencuri perhatiannya saat pertandingan atau uji coba saja. Selain itu, ia selalu luput dari perhatiannya. Bodohnya ia, selama ini tak pernah memperhatikan bahwa semua atribut Lala selalu butut. Sepeda butut, tas butut, kaos butut, sepatu butut. Hanya kakinya yang berkhianat pada kebututan pemiliknya. Kakinya adalah kaki kijang paling lincah yang selama ini Dona  kenal. Ah, ya, betapa bodohnya ia.
Tiba-tiba Dona teringat  betapa bedanya ia dengan Lala. Ayahnya termasuk orang yang berkecukupan sehingga semua keinginannya dapat dipenuhi. Apa pun yang ia minta. Termasuk sepatu untuk latihan yang harganya mencapai lima ratus ribu rupiah.  Ah, ya. Tentang sepatu itu. Bukankah ia punya dua? Sekalipun bukan sepatu baru, toh masih bagus. Dulu ia membeli yang kedua hanya karena tak suka warnanya saja.
“La, “ kata Dona selanjutnya. “Kamu tetap temanku, kan?”
Lala memandangnya heran.  “Emang kenapa?” tanyanya.
“Kalau kamu menganggap aku teman, datanglah latihan besok sore.”
“Tapi, Don…”
“Sudaaah, nggak usah tapi tapian. Oke?! Bener, lho!”
“Sepatuku…,” kata Lala ragu-ragu.
“Jangan khawatir. Pokoknyaaa, kamu tinggal datang. Perkara sepatu itu, aku yang bertanggung jawab.”
“Benar, Don?” tanya Lala serasa tak percaya.
Dona mengangguk pasti.  Senin nanti , ia akan memberikan kejutan untuk Lala. Sepatunya yang berwarna biru itu akan diberikannya kepada Lala. Lala pasti akan senang menerimanya.
“Terimakasih, Don, terimakasih banyak, ya…,” kata Lala dengan mata berbinar-binar. Dipeluknya Dona dengan erat, tak pedul bajunya masih basah bekas mencuci. Dona pun balas memeluknya dengan erat pula. Disusutnya sebersit air mata yang menggenang di sudut matanya.
Diikutkan dalam event Paradoks di Kompasiana.


0 komentar:

Posting Komentar