Siang menjelang, tetapi suasana masih terasa pagi. Gerimis yang turun sepagian membuat sebagian orang malas untuk beraktivitas. Siang yang basah, sebasah hati Yasin. Sebuah surat undangan merah jambu bertinta emas yang  tergeletak di mejanya membuatnya tak bersemangat siang ini.

Pagi tadi, Candra menyerahkan undangan itu kepadanya. Gadis manis berusia dua puluh delapan tahun itu menyodorkannya tanpa bicara sepatah kata pun. Kepalanya menunduk dan matanya berkaca-kaca. ia menerimanya dengan helaan nafas seakan ditimpa beban satu kuintal. Berat dan panjang.


“Jadi kamu akan menikah?”  Perempuan di depannya hanya menganggukkan kepalanya.
“Bukankah kamu tak mencintainya?” Ah, ia juga tak berani menatap gadis itu.
“Saya tak punya pilihan lain.”
“Sepahit itukah?” Suaranya mengambang. Sosok di depannya hanya diam saja.

Yasin tahu, ialah yang telah menciptakan kenyataan sepahit itu pada gadis semampai di depannya. Lima tahun yang lalu, ketika Candra baru saja masuk bekerja di sekolah ini, tempatnya mengajar, tanpa ia sadari, ia telah memberikan ruang hatinya yang paling dalam untuk gadis itu. Wajah orientalnya seakan tak mau hengkang dari pikirannya. Seiring dengan berjalannya waktu, ia semakin menyadari pesona gadis itu. Tak hanya cantik, ia juga smart. Diajak bicara apa saja nyambung.  Tanpa mereka sadari, mereka telah menjadi pasangan yang sempurna.

“Saya tak mau menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Bapak,” terdengar suara di depannya. Pelan tapi menusuk, “Saya tahu, meletakkan hati saya pada orang yang sudah berlabuh dalam pelabuhan hati wanita lain adalah sebuah kesalahan besar.” Suara itu tercekat.

Yasin sendiri tak dapat berkata apa-apa. Tak ada yang salah apa yang dibicarakan Candra. Kalau rumah tangganya tak bahagia itu adalah urusannya dengan Lilis, istrinya. Kalau ia mengeluhkannya pada Candra lantas gadis itu tersentuh dan masuk dalam pusaran perasaannya, itu kesalahannya yang paling besar. Harusnya ia tak melakukannya sehingga hati gadis itu tak tersakiti.

“Maafkan saya telah mengganggu hubungan Bapak dengan Bu Lilis.” Candra menunduk.
Yasin hanya bisa tercekat. Tidak, tidak. Candra bukan orang ketiga dalam rumah tangganya. Sejak awal hubungan mereka memang kurang harmonis. Kesenjangan ekonomi penyebabnya. Lilis yang anak pengusaha kaya itu tak pernah menghargai penghasilannya sebagai guru. Dan itu terbawa sampai sekarang.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Hari mencintai saya. Dan saya pun akan berusaha mencintainya,” ujar gadis itu pelan, lalu meninggalkan meja kerja Yasin.

Yasin masih termangu di meja kerjanya. Surat undangan merah jambu bertinta emas itu pun masih tergeletak di sana. Tak ada niat di hatinya untuk membukanya. Perih, ternyata kehilangan seseorang yang telah menjadi tempatnya menyandarkan sebagian hatinya selama ini. Memang, tak selamanya kita menemukan tempat yang tepat untuk menyandarkan hati, namun bukan hal tepat pula untuk melabuhkan hati di tempat yang bukan hak milik kita.

Surat undangan merah jambu bertinta emas itu masih tergeletak di sana. Gerimis masih turun di luaran. Gerimis juga di hati Yasin.

0 komentar:

Posting Komentar