“Selamat pagi, Cantik!”
(Betapa kata itu selalu menggema dalam lorong waktu relung hatiku. Menemaniku mencapaimu dalam bayang-bayang semu.)
***
Surat undangan berwarna merah hati itu bertuliskan namanya. Tertulis dengan tinta emas. Ada puisinya, tentang cinta, di sana. Indah sekali. Puisi cintanya untuk seseorang yang begitu ia cintai.

Aku masih merebahkan diri di tempat tidur bersama selimut tebal nan hangat. Masih pagi, pikirku. Azan subuh belum lagi menggema. Inginku kembali tidur, tetapi undangan merah hati yang terletak di atas meja samping ranjangku  itu membuat pikiranku melayang pada masa-masa lalu, masa tentangku dan  tentangnya, si penulis puisi dalam undangan itu.


Aku mengenalnya sebagai teman kakakku, Mas Agung. Kupanggil namanya Mas  Edi. Rahardian Bagaswara, namanya. Tapi aku lebih suka memanggilnya Mas Edi. Alasanku, nama kami sama. Aku Diandra, dia Rahardian. Sama-sama Dian. Nanti kalau ada orang memanggil, bisa-bisa kami menoleh bersamaan. Jadilah ia dipanggil Edi di kalangan teman-temannya.

Ganteng. Itu yang pertama kali kulihat. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya bersih terang, dan rambutnya lebat. Sorot matanya luar biasa tajam. Kalau tersenyum, manis sekali. Sedikit tapi mengandung magnet yang luar biasa bagiku, seorang dara yang baru menginjak usia 17 tahun. Masih dalam masa pubertas dan tiba-tiba saja aku menjadi tergila-gila padanya hanya karena dia selalu bilang ‘Selamat pagi, Cantik’ padaku.

Aku mulai mengenalnya 10 tahun lalu, ketika aku masih remaja belia, masih bau kencur. Dan sapaan ‘Selamat pagi, Cantik’ itu selalu membuatku melambung ke awang-awang. Cantik? Ah, kupikir wajahku biasa saja. Tak mirip Dian Sastro meskipun nama kami sama. Menarik, mungkin iya. Banyak teman laki-laki yang naksir padaku. Namun, hatiku telanjur terpikat pada Mas Edi.

Ya, kupikir ia mencintaiku. Perhatiannya padaku selalu berlebih. Kadang ia memandangku dengan tatapan aneh, ketika secara kebetulan aku lewat di depan Mas Agung and the gank yang lagi bermain gitar di sudut taman. Aih, mata elangnya itu lho. Begitu memesonaku sehingga seolah aku dibawanya terbang ke awang-awang.  Terkadang dibawakannya aku es krim ataupun cokelat kesukaanku. Dia perhatian sekali padaku.  Sesekali dikiriminya aku sms untuk sekadar mengingatkan agar tak telat makan, agar rajin belajar, atau agar tak lupa sholat. Tentu, dengan pengantar; ‘Selamat pagi, Cantik!’ Meskipun pesan itu dikirimkannya pada tengah malam, ia akan menuliskan ‘Selamat pagi, Cantik!’

ketika dua mata beradu, ada getar-getar rasa
masuk, menyelinap dalam sukma
getar-getar itu menjalar, mengakar

Jika Mas Agung tak dapat mengantarku ke toko buku, maka ialah yang akan menawarkan diri untuk menemaniku. Dan kami akan menghabiskan waktu untuk memilih buku kesukaan kami. Setelah itu, kami akan singgah di warung bakso langganan kami.  Kami menikmatinya. Namun, tak pernah sekali pun ia menyatakan cintanya padaku. Dan aku hanya menunggu. Menunggunya mengatakan sayang. Bertahun waktuku kugunakan untuk menanti dan menanti. Mencintainya dalam kediamanku dan dalam sapanya, ‘Selamat pagi, Cantik’.

Sayangnya, hanya penantianku adalah penantian yang semu. Di tahun kedua kuliahku, ia datang ke rumah membawa Mbak Lintang. Gadis cantik semampai. Benar-benar cantik. Rambutnya yang hitam lebat panjang terurai dan kulitnya putih bersinar, halus sekali bak pualam. Mbak Lintang teman sekantor Mas Edi yang kala itu sudah mulai bekerja.

Sejak kenal Mbak Lintang, Mas Edi seolah melupakanku. Tak ada lagi cokelat, tak ada lagi es krim, tak ada lagi nongkrong di toko buku dan warung bakso, tak ada lagi mata elangnya yang mencuri pandang padaku, dan tak ada lagi ‘Selamat pagi, Cantik!’. Hampa rasanya. Butuh waktu lama untuk melupakannya. Bahkan mungkin terlalu lama, karena hingga hari ini pun aku masih belum sanggup mengenyahkan Mas Edi dari benakku.

Sejak mengenal Mbak Lintang, Mas Edi nyaris tak pernah main ke rumah. Pernah sekadar singgah untuk mencari Mas Agung, namun tak ada. Dan ia langsung pulang. Tak dihiraukannya aku untuk sekadar menyapa. Ah, ‘Selamat pagi, Cantik!’ kini hanya tinggal kenangan saja.

namun perlahan….
namun… perlahan sirna
berulang kali purnama, sang kala tak disangka…
hatiku berkata… inikah cinta?
atau fatamorgana?

Sedih dan sepi senantiasa menyergapku. Sampai suatu ketika, kutemui Mas Edi tengah berdua dengan Mbak Lintang, di warung bakso kesukaan kami. Mereka duduk di kursi tempat kami berdua sering duduk di sana. Aku tak sanggup menyapanya. Tak kuasa hatiku membendung kecewa ini. Ingin rasanya kuteriak untuk melampiaskan sesak yang mendadak menyerang dadaku. Susah payah kubendung air mata ini untuk tak meleleh. Susah payah kucoba mengurai  gumpalan rasa di tenggorokan. Namun, aku hanyalah perempuan biasa. Gadis  lemah yang tengah merana karena kasih tak sampai.

Kucoba mengulas senyum di bibir, namun hanya pahit yang bisa kukeluarkan. Sekuat tenaga kucoba menyapanya ketika hendak pulang. “Aku duluan, Mas,” kataku. Akhirnya keluar juga kata-kataku. Namun, yang keluar hanya bisikan mengandung tangis, dan seringaian menyimpan luka. Kutahan-tahan air mata yang menggumpal di mataku agar tak sampai tumpah di depannya.

Dan aku berhasil. Aku berhasil berlari darinya tanpa mengeluarkan setetes pun air mata. Kukendarai sepeda motor kesayanganku dalam lamunan yang terasa pahit tanpanya. Dan aku lupa untuk melihat jalanan di depanku. Sebuah sepeda motor yang melaju kencang tak sempat berhenti dan terjadilah kecelakaan itu.
***
“Selamat pagi, Cantik,” kata sebuah suara dari arah pintu. Kulongokkan kepalaku dan kuulaskan sebuah senyum manis untuknya. Biarpun baru bangun tidur, aku yakin bahwa ia akan tetap mengatakan bahwa aku cantik.

“Dari mana, Mas? Masih malam begini.”
“Kamu juga sudah bangun, Say,” katanya.
“Kulihat surat undangan merah hati itu, hilang sudah kantukku,” sahutku.
Dia tertawa. Dihampirinya aku yang masih bergelung selimut di tempat tidur. Lihat, tertawanya begitu sempurna. Aku beringsut menjauhinya.

“Kok menjauh,” tanyanya.
“Belum mandi,” sahutku, “masih bau.”
“Tapi tetap cantik, kok.”
Direbahkannnya tubuhnya di sampingku. Aku pun mendekat lagi. Kubaui harum aroma tubuhnya. Diraihnya kepalaku, ke dadanya.
“Dengar detak jantungku. Aku mencintaimu apa adanya kamu,” katanya.

Mendengar kata-katanya, semakin kudekatkan tubuhku padanya. Kuingin menyatukan seluruh rasaku padanya. Satu-satunya rasa yang pernah kumiliki bersamanya, bersama Mas Edi, suamiku.
1307731495855697314 

kolaborasi dengan Kamila Queen

0 komentar:

Posting Komentar