Syahdan, di desa Dadapan, tinggallah  seorang janda miskin yang bernama Mbok Randha Dadapan. Mbok Randha ini tidak mempunyai anak kandung, tetapi ia mempunyai seorang anak angkat. Anak angkatnya ini berwajah buruk, berkulit hitam, berbadan pendek. Karena keadaan tubuhnya yang sedemikian, ia pun dipanggil Jaka Kendhil. Kendhil adalah semacam periuk untuk menanak nasi atau merabus air yang terbuat dari tanah liat. Jika terlalu sering dipakai, kendhil akan berwarna hitam.

Jika Mbok Randha sedang membantu tetangganya yang punya hajat, maka Jaka Kendhil diajak serta. Ia selalu duduk diam di dekat tempat menata makanan. Orang yang ada di situ akan mengira bahwa dia memang benar-benar kendhil . Maka, pulanglah ia dengan banyak makanan di atas kepalanya.
Pada suatu hari, Jaka Kendhil meminta kepada ibunya untuk melamarkan gadis.
“Kau ingin mencari istri, Anakku?” tanya Mbok Randha.
“Ya, Mbok.”


Mbok Randha terdiam. Dalam hatinya ia berpikir, siapa yang mau menikah dengan laki-laki hitam buruk rupa seperti kendhil ini? Tapi ia tak sanggup untuk mengatakan hal ini kepada anaknya.
“Baiklah, Anakku, siapa yang hendak engkau pinang?”
“Putri Raja, Mbok. Salah satu dari ketiga putri raja, siapa pun dia, Mbok. Lamarlah untukku.”
“Ngger, kamu mengerti apa yang kau katakan?” tanya mbok Randha ketakutan. “Putri Raja, Ngger. Salah bicara, nanti kita bisa dibunuh.”
“Tapi, Mbok, pokoknya aku mau putri raja. Pokoknya aku mau mati saja jika simbok tak mau meminangkan putri raja untukku.”
“Baiklah, Ngger, baiklah. Besok kita ke istana menemui Raja.”
***
Keesokan harinya, dengan setengah hati Mbok Randha beserta Jaka Kendhil menemui Raja di istana. Sesampainya di istana, Mbok Randha Dadapan pun mengutarakan maksudnya hendak meminang salah satu putri raja. Mendengar niat Mbok Randha, Raja yang bijaksana itu tidak murka. Ia pun menyerahkan keputusan kepada putri-putrinya.

“Baiklah, Mbok Randha, aku mengerti apa yang engkau maksud. Memang berat untuk memenuhi keinginan anakmu. Namun, aku akan menyerahkan semua keputusan kepada putir-putriku,” kata Raja.
“Hulubalang, coba engkau panggil Kenanga ke sini.”

Beberapa waktu kemudian, datanglah Putir Kenanga. Ketika raja menyampaikan keinginan Jaka Kendhil dan Simboknya, dijawablah oleh Kenanga, “Ah, tidak mau Ayah. Kulitnya hitam begitu. Wajahnya juga buruk. Aku mau pangeran yang tampan saja, Ayah.”

Mendengar jawaban Kenanga, Raja pun meminta maaf kepada Mbok Randha, “Maafkan anakku, Mbok Randha. Coba kita tanyakan kepada Seruni.” Lanjutnya kepada hulubalang, “Hulubalang, coba kamu panggil Seruni kemari!”

Maka, beberapa waktu kemudian, datanglah Seruni menghadap raja. Ketika disampaikan maksud kedatangan Jaka Kendhil dan simboknya, dijawablah oleh Seruni, “Ayah, aku mau yang menjadi suamiku nanti adalah pangeran yang gagah perkasa. Bukan orang yang pendek tak berbentuk seperti ini.” Ia pun segera berlari meninggalkan balairung istana.

“Maafkan kelakuan Seruni yang tak sopan Mbok Randha. Aku masih punya seorang putri lagi. Coba kita tanyakan kepadanya. Hulubalang, tolong panggil Melati kemari.”

Sesaat kemudian Melati pun datanglah.
“Melati, “ kata Raja kepada Melati, “Jaka Kendhil dan simboknya datang kemari untuk melamar kamu. Apakah engkau bersedia?’
Melati tertunduk dan terdiam sejenak. Beberapa saat lamanya, ia pun menganggukkan kepala, “Saya bersedia, Ayah. Namun, saya minta agar Jaka Kendhil berkenan untuk mengabulkan permintaan saya terlebih dahulu .”

"Permintaan apa, itu Ndhuk?” tanya Raja.
“Yang pertama, saya minta hati semut yang besarnya segajah dan yang kedua, saya minta saat perhelatan pernikahan kami nanti, acara dapat diiringi dengan gamelan dari lokananta yang tak tampak tetapi dapat didengarkan oleh penduduk seluruh negeri ini.”

“Hanya itukah permintaanmu, Ndhuk?”
“Ya, Ayah. Cukup itu saja. Jika Jaka Kendhil tak dapat memenuhinya, maka hendaklah ia meninggalkan negeri ini.”

“Kamu dengar, Mbok Randha?” tanya Raja kepada Mbok Randha, “Kamu harus memenuhi permintaan Melati. Jika dalam waktu 40 hari kau tak dapat memenuhinya, maka kamu harus pergi meninggalkan negeri ini.”

Mbok Randha tertunduk kelu. Ia yakin bahwa Jaka Kendhil takkan sanggup memenuhi permintaan Putri Melati. Dengan lemah, ia menjawab, “Baiklah, Gusti Prabu.”

Mereka pun pulanglah. Dalam perjalanan, mbok Randha menangis menyesali semua kelancangannya melamar putri raja. Namun, Jaka Kendhil menghiburnya, “Sudahlah, Mbok, aku pasti bisa memenuhi permintaan putri Melati."

Lalu Jaka Kendhil pun pulanglah ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Jaka Kendhil kemudian bersemedi, berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat memenuhi permintaan Melati. Ia bersemadi selama 40 hari.
Setelah 40 hari, keluarlah Jaka Kendil dari tempat semedinya. Ia pun bersiap-siap menuju istana Raja. Dikenakannya pakaian terbaiknya, lalu dia pun mengajak ibunya untuk pergi ke istana raja. Hati semut yang diperolehnya dari semedi dibungkusnya dengan menggunakan kain beludru.

Sesampai di istana, diserahkannyalah hati semut itu. Perhelatan pun digelar selama 3 hari 3 malam. Pada pesta pernikahan itu, seluruh rakyat dijamu hidangan yang enak-enak. Pesta akbar itu dimeriahkan pula oleh suara gamelan yang indah dan merdu dari langit hingga semua rakyat kerajaan itu bisa merasakan kegembiraan yang sama dengan keluarga raja.

Syahda beberapa bulan pun berlalu. Pada suatu hari, Raja mengadakan perlombaan ketangkasan berkuda untuk para ksatria. Pesertanya adalah para ksatria dari berbagai negeri yang berada di sekitar kerajaan. Perlombaan ini dilaksanakan di alun-alun kota. Maka berdatanganlah semua ksatria yang gagah dan tampan ke tempat perlombaan.

Raja beserta permaisuri duduk di panggung kehormatan. Ketiga putrinya juga duduk di sana. Setiap peserta lomba adu ketangkasan berkuda melewati panggung kehormatan. Tiba-tiba, muncullah seorang ksatria yang tampan lagi gagah. Dari kejauhan ia melesat mengendarai kudanya yang juga tampak gagah.

“Lihat, tuh, Melati, pangeran tampan seperti ini yang pantas mendampingi aku. Tidak seperti Kendhil buruk rupa yang menjadi suamimu itu, “ kata putri Mawar kepada adiknya.
“Iya, Melati. Aku juga akan mencari suami yang seperti itu, tidak memalukan bila berdampingan dengannya,” sahut Putri Seruni.

Merasa diolok olok kedua kakaknya, Putri Melati hanya menangis dalam hati. Biarlah suaminya jelak seperti Kendhil, tetapi ia mencintainya.
Ksatrian nan tampan dan gagah tadi pun akhirnya sampai juga di depan panggung kehormatan. Sesampai di sana, ia memberikan tanda hormat kepada raja seraya melemparkan bunga kepada Putri Melati. Dilempar bunga yang cantik oleh ksatria tampan, putri Melati tidaklah merasa senang. Ia pun lari meninggalkan arena.
Dengan tersedu-sedu ia kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ia tak melihat suaminya. Yang ada hanyalah sebuah kendhil yang kosong. Ke mana suaminya? Mengapa hanya kendhil melompong yang ada di sini? Karena perasaan yang bercampur aduk, Putri Melati pun membanting kendhil itu hingga pecah berkeping-keping.

Tiba-tiba, datanglah ksatria gagah dan tampan yang tadi melemparinya bunga.
“Siapa kau?” tanya putri Melati curiga.
“Tenanglah, Adinda, aku adalah suamimu.”
“Tidak. Menjauhlah dariku, kau bukan suamiku. Suamiku adalah Jaka Kendhil. Bukan kau,” sahut putri Melati.

“Tenanglah, Adinda. Aku adalah suamimu, si Jaka kendhil.”
“Bagaimana aku bisa percaya?”
“Aku adalah anak raja Angkasa yang dikutuk oleh penyihir jahat. Satu-satunya yang bisa menghilangkan kutukanku adalah bila aku menikah dengan seorang putri yang mau mencintai aku dengan tulus. Engkaulah itu, Diajeng. “

“Benarkah?” tanya Putri Melati serasa tak percaya.
“Yakinlah, Dinda Melati. Bukankah engkau juga telah memecahkan kendhil kutukanku?”

Mendengar ucapan suaminya, Putri Melati pun percaya. Ia pun mengajak suaminya, si Jaka Kendhil yang telah kembali menjadi pangeran tampan untuk menemui ayah dan saudara-saudaranya. Melihat adiknya akhirnya menikah dengan pangeran tampan, putri Mawar dan putri Seruni pun hanya bisa gigit jari sambil menyesali mengapa dulu mereka tak menerima pinangan Jaka Kendhil.

0 komentar:

Posting Komentar