“Jam berapa, Mbah?” tanyaku kepada Mbah Darmi yang masih duduk setengah tertidur di sampingku.
“Masih jam setengah empat, Le,” kata Mbah kepadaku. “Masih malam, tidurlah lagi.”
“Aku baru saja bermimpi tentang Ibu, Mbah.” Kulihat Mbah Darmi mengerutkan kening. Matanya yang tadi mengantuk mendadak melebar.
“Mimpi apa to Le… Sudah tidur lagi sana. Biar kamu cepat sehat.”
“Nggak bisa, Mbah, perih sekali rasanya mulutku.”

Sudah lima hari ini untuk kesekian kalinya aku dirawat di rumah sakit karena sariawan yang meradang tak kunjung sembuh. Entahlah, sejak kecil memang aku sakit-sakitan sehingga tak dapat bermain seperti teman-teman sebayaku. Kalaupun dapat, biasanya mereka pun akan menjauhiku. Alasannya, karena dilarang oleh orang tua mereka. Orang tua mereka memang tak mengatakan apa-apa padaku. Tapi pandangan mereka aneh terhadapku. Mungkin jijik, takut, atau kasihan, aku tak mengerti. Aneh saja, berbeda dengan tatapan Mbah Darmi padaku yang bisa menyejukkan hatiku ketika hatiku sakit karena ditolak bermain dengan teman sebayaku.


“Sudahlah, Le, kamu main saja dengan Mbah. Lagipula, kata Pak Dokter, kamu tak boleh terlalu lelah, bukan?” begitu kata Mbah ketika itu.

Aku pun mengangguk. Mbah Darmi, satu-satunya orang yang menyayangiku setelah semua orang pergi meninggalkanku satu demi satu. Pertama, ayahku yang aku sendiri tak pernah mengenal wajahnya. Kata ibu, ayah meninggal ketika kandungannya masih berusia 7 bulan. Aku mengenalnya lewat foto yang diberikan oleh ibuku. Orangnya tampan, namun kurus sekali. Matanya cekung dan kosong. Tampaknya hidupnya tak sehat sehingga tubuhnya demikian kurus. Mengapa ibu mau menikah dengannya, itu yang aku tak tahu.

Ibuku meninggal ketika usiaku tiga tahun. Dari foto ketika aku bayi, tampak kalau ibuku perempuan yang cantik. Hidungnya mancung dan kulitnya cerah. Sorot matanya tampak keibuan sekali. Sering, jika aku rindu, tak lepas-lepas kupandangi wajahnya di foto. Tak terasa, air matanya mengalir melihat fotonya memelukku ketika aku bayi.

Foto itu selalu mengingatkanku tentang sosok ibu. Aku tak mau mengingatnya ketika menjelang meninggal. Tubuhnya kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Matanya memancarkan kepedihan setiap kali memandangku. Jika aku sedang dekat dengannya, ia akan memelukku seakan tak mau melepasku. Namun aku selalu meronta-ronta dan ia akan melepasku karena tenaganya tak cukup kuat untuk menahanku.

Sakit berkepanjangan membuatnya rapuh. Ibu meninggal ketika aku belum paham benar makna kematian. Mbah Darmi, embahku satu-satunya, menjadi tumpuan hidupku. Namun sayang, tak lama setelah kepergian ibuku, aku pun mulai merasakan sakit yang sama. Mudah diare, mudah sariawan, ah pokoknya mudah sekali terkena penyakit. Penyakit-penyakit yang oleh orang umun biasanya sembuh dengan obat apotek, tetampi bagiku ini adalah siksaan karena harus menjalani rawat inap di rumah sakit, di ruang isolasi.

Rumah sakit sama dengan rumah kedua bagiku. Awalnya aku berontak karena takut dengan jarum suntik, dengan infus, dengan orang-orang berbaju putih. Namun, lama kelamaan aku terbiasa juga. Hanya mbah Darmi, mbahku dari pihak ibu yang menemani. Dulu, mbah kakung adalah seorang kepala desa yang kaya. Namun, sekarang kekayaan mbah sudah habis untuk biaya pengobatan ibu dan aku. Tinggal sepetak tanah dan rumah tenpat kami bernaung.

Ah, Mbah. Kulihat makin hari ia  juga makin kurus. Terkadang ia batuk sampai menggigil ketika malam tiba.  Mungkin ia lelah. Ataukah terkena penyakit TBC? Kata Mbah, orang yang sakit TBC bisa meninggal. Ah, jangan. Jangan, meninggal, Mbah.  Dengan siapa aku nanti?

Atau, Mbah sedih memikirkan sakitku yang tak kunjung sembuh?  Ya, sakit ini sungguh terasa ngilu. Namun, entah mengapa, sejak bermimpi bertemu Ibu semalam, tubuhku terasa ringan. Tak lagi begitu kurasakan perih yang merentak di mulut dan tenggorokanku. Perlahan, perih itu justru sirna. Tiba-tiba, samar kulihat bayangan ibu seperti semalam ketika ia datang di mimpiku.

“Mbah, lihatlah… itu ibu, Mbah,” kataku kepada Mbah yang terdiam di tempat duduknya, di samping pembaringanku.
“Ibu menjemputku, Mbah. Aku pergi, ya Mbah…” kataku pada Mbah Darmi yang entah mengapa tak beranjak dari duduknya. Padahal biasanya ia akan segera merespons semua kata-kataku.

Dari jauh, kulihat ibu tersenyum padaku dan melambaikan tangannya. Aku segera bangkit dari pembaringanku dan berlari ke arahnya. Hei… tiba-tiba aku bisa berlari. Ragaku tak lagi lemas… Horee… aku dapat bermain bersama ibu nanti. 

Di depan ibu, langkahku terhenti. Ternyata ibu tak sendiri. Ada mbah Darmi!
“Mbah, kok di sini?” tanyaku.
Mbah tersenyum. Hanya tersenyum. Tapi aku tenteram dibuatnya. Setidaknya, kami bertiga bisa berkumpul kembali.
*
Oh, ya, kenalkan. Namaku Awan. Usiaku 5 tahun, belum sekolah. Orang bilang, aku meninggal karena penyakit AIDS  seperti yang menimpa ayah dan ibuku. Sekarang aku di surga, bertemu dengan ibu dan embahku. Tapi entah mengapa, aku tak bertemu dengan ayahku. Sudah kucari tapi tak juga ketemu. Kalau kalian bertemu dia nanti, tolong kabarkan tentang keadaan kami di sini, ya…

0 komentar:

Posting Komentar