Kerajaan Daha sedang bersedih. Pasalnya sang Putri  Candrakirana tiba-tiba menghilang dari kerajaan. Konon, dia ikut terbawa angin topan yang melanda kerajaan itu beberapa hari yang lalu. Mendengar kekasihnya hilang, sang Pangeran Inu Kertapati pun segera mencarinya. Tak hanya di kota, tetapi sang pengeran mencarinya hingga ke desa-desa. Akhirnya, di sebuah desa, berhentilah sang pangeran. Dia menginap di rumah seorang janda tua dan menyamar menjadi anaknya dengan nama Ande-Ande Lumut.

Ande-Ande Lumut yang tampan seketika menjadi buah bibir warga kampung itu, bahkan juga ke desa-desa tetangganya. Para ibu yang punya anak gadis segera saja menyuruh anak-anak gadisnya untuk melamar sang jejaka tampan. Segera saja, rumah Mbok Randha yang menjadi tempat tinggal Ande-Ande Lumut ramai dikunjungi oleh para pelamar. Sayangnya, tak seorang pun yang diterima oleh Ande-Ande Lumut karena ia masih sibuk semedi untuk mencari keberadaan si jantung hati, yang tak lain adalah Candrakirana.



Sementara itu, di sebuah desa, tinggallah seorang ibu dengan ketujuh anak perempuan. Enam di antaranya, yakni Kleting Merah, Kleting Hijau, Kleting Ungu, Kleting Biru, Kleting Oranye, dan Kleting Putih sangatlah terawat, dan tentunya cantik jelita. Pekerjaan mereka sehari-hari hanyalah berdandang agar tampak semakin cantik kemilau. Masih ada seorang lagi anak ibu tersebut, yaitu Kleting Kuning yang sejatinya parasnya tak kalah cantik. Namun, karena penampilannya yang kumal dan setiap hari selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ia tampak sangat buruk. Apalagi, ia juga tak punya baju yang cukup pantas untuk dipakai.

Berita tentang Ande-Ande Lumut itu pun sampai juga ke telinga para gadis. Bisa ditebak, kalau mereka pun berminat untuk ikut ngunggah-unggahi (melamar). Siapa tahu ada yang terpilih, karena kabar tentang Ande-Ande Lumut merupakan putra raja yang tengah menyamar sudah sampai pula di telinga mereka. Sang ibu tentu saja merestui niat keenam putrinya itu. Mengapa hanya enam? Tentu saja si Kleting Kuning tak dikutsertakan karena sesungguhnya Kleting Kuning merupaka anak angkat keluarga itu. Kalau dia ikut, siapa yang akan mengurus pekerjaan  di rumah? Lagi pula, kalau dia ikut berarti rival mereka bertambah satu, meskipun Kleting Kuning yang kumal itu tentunya tak akan masuk perhitungan si Ande-Ande Lumut. Pikir mereka, siapa yang mau melirik gadis kumal jikalau ada enam gadis cantik yang wangi seperti mereka?

Untuk mengelabui si Kleting Kuning agar tak ikut serta mereka, sang ibu menyuruh Kleting Kuning untuk membersihkan dandang (panci) yang sudah sangat hitam. Sang ibu berpesan, agar Kleting Kuning jangan sekali-sekali pulang ke rumah sebelum dandangnya bersinar seperti baru.

Akhirnya, mereka berenam pun berangkat menuju desa tempat tinggal Ande-Ande Lumut. Sayangnya, mereka harus melewati sungai yang cukup lebar. Dan, sayangnya pula tak ada perahu yang melintas di sungai itu. Di tengah kebingungan mereka, datanglah seekor yuyu (kepiting) raksasa. Yuyu Kankang, demikian namanya, pun berbicara kepada keenam gadis cantik itu.

"Mengapa kamu di sini, Anak Cantik. Apa ada yang bisa kubantu?"
"Kami hendak menyeberang, Yuyu Kangkang. Bisakah engkau menyeberangkan kami?"
"Menyeberangkan kalian? Dengan apa hendak kaubayar?"
"Bayar? Berapa yang kamu mau?"
"Hohoho... aku tak butuh uang, Manis."
"Lalu?"
"Aku mau pipimu. Gimana?"
"Pipi?"
Yuyu Kangkang mengangguk.
"Cukup pipi kanan dan kiri, masing-masing satu kali. Mudah, bukan?"
"Ah, baiklah Yuyu Kangkang. Asal kami bisa sampai di hadapan Ande-Ande Lumut saja."

Akhirnya mereka berenam pun sampai di seberang dengan meninggalkan sebuah ciuman bagi Yuyu Kangkang. Tak lama kemudian, sampai juga mereka di rumah Mbok Randha. Mereka pun mengutarakan keinginannya untuk melamar Ande-Ande Lumut.

"Kami ingin melamat Ande-Ande Lumut, Mbok Randha."
"Semuanya?"
"Tentu saja, Mbok. Kami cantik-cantik semua, bukan?"
"Iya, iya... baiklah. Biar kutanyakan kepada Ande-Ande Lumut dulu."

Lalu, Mbok Randha pun menemui Ande-Ande Lumut di ruang semedi.
"Anakku, Ande-Ande Lumut, ada putri-putri yang cantik jelita, mereka wangi semua. Namanya Kleting Merah, dan saudara-saudaranya yang lain.  Apakah engkau menerimanya sebagai istrimu? Paling tidak, pilihlah satu di antara mereka, Nak."
"Tidak, Mbok, aku tak bisa menerima mereka."
"Tapi mengapa?"
"Karena mereka bekas Yuyu Kangkang, Mbok. Katakanlah pada mereka."
"Baiklah kalau begitu, Nak. Apa boleh buat, bila itu maumu."

*
Sementtara itu, Kleting Kuning yang berada di tepi sungai untuk mencuci dandang merasa kesulitan untuk membersihkan dandang itu. Dalam hati, ia mengeluhkan sikap ibu angkatnya yang tak adil dan memperlakukannya secara tak manusiawi. Namun, ia tetap melakukan pekerjaannya itu seperti yang diperintahkan oleh ibunya.

Tiba-tiba, datanglah seekor bangau.
"Kenapa engkau sedih, Kleting Kuning."
"Aku tak sedih bangau, aku hanya capek mengerjakan semua pekerjaan ini."
"Kasihan kamu, Nak. Maukah engkau kuberi senjata untuk mempermudah pekerjaanmu ini?"
"Senjata, Bangau? Tentu saja mau. Tapi mengapa? Siapa engkau?"
"Aku adalah utusan Tuhan untuk datang menolongmu. Pakailah lidi ini untuk meringankan pekerjaanmu," kata bangau sambil memberikan sebuah lidi kepada Kleting Kuning.
"Terima kasih, Bangau, terima kasih banyak."
Kleting Kuning segera  memukulkan lidi itu ke dandang yang tengah dicucinya. Ajaib, dalam sekejap mata, dandang itu pun berkilau kembali.

Kleting Kuning pun bergegas pulang ke rumah. Ketika dilihatnya rumah dalam keadaan sepi, ia pun bertanya pada ibunya. "Ibu, ke mana kakak-kakak? Kok sepi sekali."
"O, anu, tak ke mana mana. Ada sedikit urusan di desa seberang," kata ibunya gugup.
"Mengapa Ibu gugup? Adakah yang disembunyikan dariku?"
"Ah, tidak, Kleting Kuning. Mereka hanya sedang melamar Ande-Ande Lumut," begitu kata sang ibu, akhirnya.
"Mengapa aku tak diajak, Ibu? Bukankah aku anak ibu juga? Pokoknya sekarang aku harus menyusul mereka."
"Jangan, Kleting Kuning. Jauh."
"Tak apa, Ibu," kata Kleting Kuning sambil bergegas meninggalkan rumah ibunya. Pakaiannya masih kumal dan wajahnya kotor sekali karena baru saja mencuci dandang.

Tak lama kemudian, sampailah Kleting Kuning di tepi sungai tempat Yuyu Kangkang bersemayam. Ia pun segera menyapa Yuyu Kangkang.
"Hai, Yuyu Kangkang, maukah engkau menyeberangkanku ke seberang sana?"
"Tapi kamu kotor, Kleting Kuning, bau pula. Menyeberanglah sendiri, sini sambil berenang sekalian mandi."
"Enak saja. Ah, aku pun tak mau bersentuhan kulit denganmu, Yuyu," sahut Kleting Kuning. Segera ia mengibaskan lidi pemberian bangau dan seketika sungai menjadi surut airnya.

Kleting Kuning segera berjalan melewati sungai yang telah surtu airnya itu.  Yuyu Kangkang yang kehilangan air menjerit-jerit minta tolong, tetapi Kleting Kuning tetap berjalan. Sesampai di seberang sungai, ia kembali mengibaskan lidinya. Tak lama kemudian, air pun kembali mengalir.
"Ingat Yuyu Kangkang, kalau kamu masih suka mempermainkan orang yang menyeberang, aku akan menyurutkan lagi tempat tinggalmu ini," katanya.
"Iya, iya, baiklah Kleting Kuning. Ampuni aku."

Tak berapa lama kemudia, Kleting Kuning pun sampai di rumah mbok Randha. Ia melihat kakak-kakanya tengah menangis karena ditolak oleh Ande-Ande Lumut.
"Apa tujuanmu kemari, Nak?" tanya mbok Randha.
"Sama seperti kakak saya, saya ingin melamar Ande-Ande Lumut, Mbok."
"Mereka yang cantik dan wangi saja ditolak, apalagi kamu yang kumal, Nak?"
"Cobalah saja, Mbok," kata Kleting Kuning.
"Baiklah kalau begitu."

Mbok Randha pun segera menemui Ande-Ande Lumut.
"Anakku, ada seorang gadis, jelek dan kumal, namanya Kleting Kuning. Ia hendak melamarmu. Apakah engka menerimanya, Nak?"
Ande-Ande Lumut segera menyelesaikan semedinya.
"Ya, aku mau, Mbok."
"Tapi, Nak."
"Mbok, ketahuilah bahwa dialah yang selama ini kucari, sang dewi Candrakirana yang menghilang dari kerajaan."

Ande-Ande Lumut pun segera keluar dari ruang semedi dan bergegas menemui kekasihnya. Dengan diiringi tatapan keheranan dari keenam kakak angkat Kleting Kuning, Ande-Ande Lumut mengumumkan siapa sebenarnya mereka berdua. Tatapan keheranan sang kakak pun berubah menjadi tatapan ketakutan, tetapi Kletying Kuning alias Candrakirana tak merasa marah sedikit pun kepada mereka. Bagaimana pun juga, ini garis takdir yang harus dilaluinya untuk bisa bertemu tunangannya, Inu Kertapati.

0 komentar:

Posting Komentar