Intan terpaku menatap cermin. Matanya berkaca-kaca. Ia masih tak dapat mengerti, mengapa Sari selalu memusuhinya. Dulu, ia dikata-katai sebagai anak yatim dan miskin. Hari ini dikatai anak tak tahu diri. Miskin tetapi bersekolah di sekolah favorit paling mahal di tempatnya.

Dulu, rambutnya pernah ditarik hingga kepalanya pusing selama tiga hari. Pernah pula ia nyaris ditabrak dengan sepeda hingga ia jatuh terjajar menatap tembok. Kali lain, dimasukkannya ular mainan ke tasnya. Sungguh, kelakuan Sari kepadanya di luar nalar.

“Kenapa menangis, Cantik?” tanya cermin di depannya.
Intan tersenyum, disekanya air mata yang membasahi pipinya.
“Kelakuannya hari ini sungguh menyebalkan, Cermin. Masak aku dikatakan mencontek ulangannya. Padahal, seumur hidup kan aku tak pernah mencontek. Sebel sebel sebel…,” teriak Intan.


“Sudahlah, Sayang, “ kata cermin. “Nanti jadi jelek, lho. Bu Tari kan pasti tahu, mana anak yang nyontek dan mana yang tidak.”
“Benar?”
“Tentu saja. Makanya, sekarang tersenyumlah karena tersenyum akan membuat duniamu menjadi lebih cerah.”
Intan pun mencoba untuk tersenyum. Ya, lihat wajahnya menjadi lebih cerah. Tak ada gunanya ia meratapi kelakuan Sari kepadanya. Toh, ia masih punya banyak teman yang lain. Biar dia miskin, biar dia yatim, tapi hanya segelintir yang mengejeknya. Mungkin hanya Sari malahan. Anak gedongan yang manja itu.
***
Latihan pramuka sore itu diikuti Intan dengan hati riang. Ia berangkat ke sekolah sendirian dengan berjalan kaki. Letak sekolahnya memang tak jauh dari rumahnya. Dulu, sebelum ayahnya meninggal karena kecelakaan, ayahnya menjadi tukang kebun di sekolah itu. Karena itulah ia mendapat kesempatan untuk bersekolah di sana. Gratis pada tahun pertama. Mulai kelas II sampai sekarang, kelas V SD, dia mendapat beasiswa karena selalu memperoleh peringkat pertama.

Latihan sore itu harus diakhiri lebih awal karena hujan tiba-tiba turun. Intan yang tak membawa payung terpaksa berteduh dulu di teras sekolah. Ia duduk di bangku kosong yang berada di depan ruang guru. Teman-temannya yang sudah siap payung pulang lebih dulu. Ada pula yang dijemput mobil sehingga mereka tak kerepotan menunggu hujan reda. Tinggal ia sendiri di sekolah itu. Ah, tidak. Ternyata masih ada seorang anak lagi yang belum pulang. Sari. Mungkin belum dijemput.

Melihat Sari diam saja, Intan pun tak hendak menyapanya. Mereke berdua duduk berjauhan dengan suasana yang kikuk. Terkadang saling pandang, tetapi ketika Intan hendak melemparkan senyumnya kepada Sari, anak gedongan itu melengos.

Sudah hampir magrib ketika hujan berubah menjadi gerimis. Intan merasa bahwa ia harus segera pulang. Ia bisa berlari kecil untuk menghindari gerimis, toh rumahnya tak jauh. Lagipula, sebentar lagi Magrib. Ia tak mau ketinggalan waktu mengerjakan sholat Magrib.

Dilihatnya Sari masih duduk di sana. Entah apa yang terjadi dengan mobil jemputannya, Intan tak tahu. Ia pun beranjak meninggalkan teras kantor guru. Sekilas dilihatnya Sari menatap padanya dengan pandang seolah memohon, “Jangan pulang. Aku takut sendirian di sini.”

Hari memang sudah beranjak gelap karena mendung masih menggayut di langit kota. Dari kejauhan terdengar suara orang mengaji melantunkan ayat-ayat suci.
“Kamu tak dijemput?” tanya Intan memulai percakapan.
Sari menggeleng. Matanya mulai berkaca-kaca. Iba hati Intan melihatnya.

“Mungkin sesuatu terjadi di jalan,” katanya menghibur Sari. “Kamu mau menunggu ayahmu di rumahku?”
“Kamu?” serasa tak percaya Sari menjawab ajakan Intan.
Intan mengangguk. “Tunggulah di rumahku kalau kamu mau. Kau bisa menelepon ayahmu atau titip pesan ke Pak Min, kan? Kita bisa sholat Magrib di rumahku.”

Setengah terpaksa karena malu dan takut, Sari pun mengiyakan ajakan Intan. Mereka berdua berjalan, menyusuri jalan raya, kemudian berbelok menuju sebuah gang kecil. Di gang kecil itulah Intan tinggal bersama ibu dan neneknya.

Memasuki rumah Intan yang sangat sederhana membuat Sari teringat akan kehidupannya. Rumahnya yang megah dan luas, alangkah bedanya dengan rumah temannya yang kecil ini. Tapi rumah ini hangat. Ibu dan nenek Intan menyambut mereka dengan pelukan sayang. Mereka pun segera mendapat suguhan secangkir teh hangat dan dua potong pisang goreng. Lumayan untuk pengganjal perut yang kelaparan dan kedinginan.

Seusai sholat, Intan mengajak Sari ke kamarnya. Kamar yang sangat sederhana. Hanya sebuah dipan usang dengan kasur yang usang pula. Selain itu, ada sebuah meja yang difungsikan sebagai meja belajar, tempat Intan mengatur rapi buku-bukunya. Kontras sekali dengan kamarnya yang mewah. Kasurnya empuk, ada TV, laptop, DVD, rak boneka, meja belajar yang besar. Jauh sekali bedanya. Ah, tapi mengapa anak yatim sederhana ini selalu bisa menyaingi prestasinya?

“Tan, “ kata Sari kikuk.
“Ya?”
“Mengapa kamu begitu baik kepadaku? Aku tak bisa membayangkan kalau aku mesti tinggal di sekolah sendirian malam-malam begini,” kata Sari.
“Kamu kan temanku, “ jawab Intan kalem.
“Tapi, kan…”
“Ya, Sari, meskipun aku selalu kau olok-olok, aku memaafkanmu, kok,” kata Intan sambil tersenyum pada Sari.
“Kamu…” Sari tertunduk malu.
“Ah, sudahlah. Tak perlu diingat-ingat lagi,” kata Intan. “Kamu mau singgah di sini saja aku sudah senang,” lanjutnya.
“Benar, Tan?”

Intan mengangguk.
“Maafkan aku, ya. Aku telah iri kepadamu selama ini.”
Intan tersenyum. “Kamu mau kutunjukkan sebuah rahasia?” tanyanya selanjutnya kepada Sari.
“Rahasia?”
Intan pun mengeluarkan sesuatu dari laci meja belajarnya. Cermin.
“Cermin?”
Intan mengangguk.
“Ia yang selama ini selalu menghiburku ketika aku sedih. Ia pula yang menyadarkanku bahwa sedih, kecewa, marah, iri, dan semua yang buruk di hati itu tak baik.”

Sari terdiam.
“Karenanyalah pula, aku bisa menjalani semua hari-hariku ketika sedang sedih.”
Sari menjadi semakin merasa bersalah.
“Kau mau mencobanya?”
Intan pun memberikan cermin kecil berdiameter 12 cm itu kepadanya. Sari memegangnya dengan gemetar. Dilihatnya wajahnya di cermin. Tak ada apa-apa.
“Aku cuma melihat wajahku, Tan,” katanya tak mengerti.
“Nanti kamu juga akan mengerti. Kamu bisa menyimpannya di rumahmu kalau mau,” kata Intan kepada Sari.
“Benar?”
Intan pun mengangguk.
***
Sesampai di rumah, dibukanya lagi cermin itu. Diperhatikannya dengan saksama wajahnya dalam cermin.
Tiba-tiba didengarnya sebuah suara keluar dari cermin itu.
“Hai, Sari!” kata cermin kepadanya.
“Siapa yang berbicara?” Sari gemetar.
“Aku, Cermin.”
“Kamu bisa berbicara?”
“Ya. Dulu aku selalu berbicara dengan Intan jika ia sedang sedih. Coba lihat wajahmu di mukaku, Sari, “kata Cermin kepada Sari.

Sari pun memandang wajahnya.
“Apa yang terlihat?”
“Jelek. Aku tak secantik yang tampak bila becermin pada cermin yang biasa kugunakan,” sahut Sari polos. Dalam cermin itu, dilihatnya seorang anak kecil yang bertampang kusut dan tak pernah tersenyum.
“Ituah hatimu, “ kata cermin kepadanya.
“Hatiku?”
“Ya.”

“Jika hatimu sedang kacau, maka wajahmu akan terlihat buruk di mataku. Bukanlah hatimu sedang diliputi banyak perasaan tak senang? Kamu sering merasa marah, iri, dendam pada temanmu, bukan?”
Intan hanya bisa terdiam. Benar apa yang dikatakan cermin.
“Hari ini kamu telah sedikit berubah. Kalau belum, tentulah wajahmu tak akan tampak pada wajahku,” kata Cermin lagi kepadanya.

“Apa yang harus kulakukan, Cermin?” tanya Sari kepadanya.
“Berubahlah jadi anak manis, Cantik. Coba kau hilangkan sifat-sifat burukmu itu, ya. Aku yakin, kamu pasti akan semakin cantik.”
“Akan aku usahakan, Cermin.”
“Baiklah, aku percaya.”
“Coba, sekarang untuk latihan, tersenyumlah padaku,” kata Cermin.
Sari pun menurut. Ditariknya sedikit ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman.
“Bagaimana?” tanya Cermin.
“Masih belum cantik. Buram.”
“Coba senyumnya dikeluarkan dari dalam hati yang paling tulus. Ingatlah hal-hal baik yang pernah kamu peroleh.”

Diingatnya lagi tentang mamanya yang senantiasa melimpahinya dengan kasih sayang, diingatnya lagi tentang papanya yang selalu mengabulkan permintaannya, diingatnya lagi Intan yang tadi menolongnya, diingatnya lagi rumah Intan yang sederhana tetapi penuh kehangatan. Senyum pun mengembang di wajah Sari.
“Cantik, kan?” kata Cermin.

Sari mengangguk mengiyakan. Ia memang tampak lebih cantik daripada ketika pertama kali becermin.
“Aku adalah cerminan hatimu, Sari. Jika hatimu baik, wajahmu akan memancarkan cahaya yang membuat kecantikan fisikmu semakin sinar pula. Orang yang memandang pun akan senang. Namun, jika hatimu buruk, wajahmu akan memancarkan sinar buram yang hanya akan merusak kecantikan fisikmu.”

Sari terdiam mendengar kata-kata Cermin. Ya, selama ini hatinya memang diliputi kedengkiran terhadap Intan. Hanya karena merasa iri, dia melakukan apa saja untuk membuat Intan sakit hati. Sekarang baru ia sadar tentang kelakuannya yang buruk selama ini. Malu rasanya, tapi nasi telah menjadi bubur. Ia hanya bisa berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik mulai dari hari ini.

“Terima kasih, Cermin. Terimakasih telah mengingatkan aku,” kata Sari. “Ah, tak sabar rasanya ingin bertemu Intan esok hari dan meminta maaf kepadanya,” gumamnya kemudian.
Cermin pun hanya tersenyum. Senyum lega karena telah menyatukan dua hati yang selama ini berselisih.

0 komentar:

Posting Komentar