13075072491771131066 
Wajahnya cantik. Kulitnya seterang purnama bulan. Banyak orang bilang, dia mirip Helmalia Putri yang pernah ngetop beberapa tahun yang lalu. Namun, kemiripan wajah tak menjamin kesamaan nasib, bukan? Sama-sama berwajah rupawan, tetapi nasib bagai keping mata uang yang bertolak belakang.
Satu hidup di metropolitan, yang lainnya hidup di sebuah desa terpencil di pegunungan. Yang satu seorang bintang film, yang satunya lagi hanya seorang pembantu di rumah seorang guru. Berbeda jauh, bukan? Ibarat bumi dengan langit, seperti rembulan dengan matahari, bagai ufuk timur dengan barat.

Cantik wajahnya, namun belum tentu seindah takdirnya. Tini, namanya. Lahir di tengah kemiskinan keluarganya sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Bapak dan emaknya hanya buruh tani biasa. Tak cukup penghasilan mereka untuk memenuhi makan anak-anaknya, apalagi sampai menyekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi selain SD. 

Pada usia 13 tahun, selulus dari SD, Tini terpaksa tak melanjutkan sekolah. Oleh gurunya semasa SD, dia diambil sebagai anak angkat sekaligus sebagai tukang momong. Namun, ia tak mau disekolahkan. Bisa ikut momong di rumah Pak Gurunya saja ia sudah senang. Ini berarti beban orang tuanya sedikit berkurang. Ia pun bisa memberikan sedikit uang kepada orang tuanya untuk biaya adik-adiknya. 

(Bunga rumput liar tumbuh dibalik semak-semak, kemuning warna kelopaknya. Sehelai daun kering jatuh, menutup mekarnya dengan kelabu bayang-bayang.)


Tentang Tini
Hingga pada suatu hari, ketika usianya 20 tahunan, Pak Guru memberitahunya sebuah kabar.
“Tini, anakku, engkau sudah dewasa sekarang. Sudah pantas untuk menikah. Lagipula, kamu di sini sudah belajar banyak, kan?”
“Maksud Bapak?”
“Maksud Bapak, apakah kamu tak punya keinginan untuk berumah tangga?”
Tini menunduk kelu? Berumah tangga? Adik-adiknya masih butuh bantuannya untuk sekadar membayar biaya sekolah mereka. Kalau masuk pelaminan, otomatis ia tak lagi bebas membantu kedua orang tuanya.
Dia menggeleng.
“Kenapa, Tin?”
“Saya masih ingin membantu orang tua saya, Pak. Paling tidak jika si bungsu sudah lulus dari SMP,” sahutnya.
“Lulus dari SMP? Berapa umur adikmu yang paling kecil sekarang?”
“Enam tahun, Pak.”
“Enam tahun? Berarti sembilan tahun tahu lagi kamu baru akan menikah. Umurmu sudah 29 tahun. Nanti kamu diejek sebagai perawan tua, lho Tin.”

Tini tepekur. Umur 20 tahun di desanya, sudah termasuk tua untuk menikah. Apalagi 29 tahun. Teman-teman SD-nya dulu sudah banyak yang punya anak. Hamidah malah sudah punya anak 2. Oalah… harus bagaimana dia?

Sejenak berpikir, dianggukkannya kepalanya.
“Tapi Tini belum punya calon, Pak,” katanya sejurus kemudian.
“Mudah, itu,” sahut Pak Guru. “Kamu masih ingat Narso, kan?”
“Kang Narso, maksud Bapak?” Narso adalah kakak kelas Tini. Beberapa tahun yang lalu, ia merantau ke Jakarta dan sekarang pulang kembali ke kampung untuk merawat sepetak tanahnya.

“Bukankah dia orang yang cukup bertanggung jawab?” tanya Pak Guru lagi.
Tini menunduk diam. Kang Narso memang cukup tampan. Tubuhnya kurus, tetapi lumayan tampan. Rambutnya ikal, matanya berkilat-kilat. Tapi apa iya, Kang Narso mau menikah dengannya? Seorang pembantu rumah tangga dengan enam adik yang harus ia bantu membiayai?

“Tapi, Pak…,” kata Tini ragu.
“Tapi kenapa? Takut Narso tak mau denganmu?” tanya Pak Guru bisa menebak isi hatinya. Tini mengangguk.
“Jangan khawatir, Tin. Bapak bilang kepadamu seperti ini, karena Narso sendiri yang meminangmu kepada Bapak kemarin. Ayahmu telah menyerahkannya kepada Bapak karena selama ini kamu telah Bapak anggap sebagai anak sendiri.”

Tini semakin kelu. Alangkah mulianya hati gurunya ini. Beliau akan kehilangan pembantu kepercayaannya tetapi tetap dengan tangan terbuka melepaskannya. Bahkan ia pula yang akan membiayai pernikahan Tini.

(Embun pagi sudah sedari tadi menghilang pergi. Bau tanah basah kini berganti menebar wangi aroma kembang. Udara sedang berganti musim, tampaknya… )

Tentang Tini
Pernikahan sederhana itu pun akhirnya dilangsungkan. Hari itu menjadi hari terindah dalam hidup seorang Tini. Hidupnya dengan Narso rukun, aman, dan damai. Mereka pun dikaruniai dua orang anak yang tak kalah rupawan dengan kedua orang tuanya. Sepasang, laki-laki dan perempuan: Faqih dan Ida.

Ia merasakan hidupnya teramat sempurna. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur kepada Yang Kuasa atas segala nikmat yang telah ia dapatkan. Meskipun hidupnya sederhana, Tini tak pernah mengeluh. Dengan mengandalkan hasil kebun dari sepetak tanah mereka, Tini dan Narso menyambung hidup. Selain itu, Narso juga sering diminta tetangga untuk sekadar memperbaiki genting yang rusak ataupun memanjat kelapa untuk mengambil buahnya. Sedangkan Tini tetap membantu Pak Guru untuk memasak dan mencuci baju. Sampai akhirnya, datanglah sebuah kabar tak menggembirakan: Narso jatuh dari pohon kelapa.

Tak ada luka luar sama sekali. Namun, dia jatuh tepat bertumpu pada tulang belakangnya. Padahal tulang belakang berfungsi menyangga tubuh manusia. Narso pun kembali menjadi bayi. Lebih parah, mungkin. Karena bayi bisa berkembang sedangkan Narso sama sekali tidak. Tiap hari ia hanya tergolek di atas tempat tidur.

Segala macam cara sudah dilakukan Tini untuk memperoleh kesembuhan bagi Narso. Dibawanya suaminya ke tukang urut, ke sangkal putung, ke tukang akupunktur. Untuk ke dokter, ia takut karena tak ada biaya. Tanah sepetaknya terpaksa ia gadaikan untuk biaya pengobatan dan transportasi yang tak murah. Akhirnya, tanah itu pun tak tertebus karena tak ada lagi biaya untuk melunasinya.

Ia merawat suaminya setiap hari dengan telaten. Begitu hebat perjuangannya. Membesarkan kedua anaknya seorang diri, merawat suaminya yang seperti bayi: menyuapinya, memandikannya, membersihkan kotorannya, mencukur jenggotnya. Semua ia lakukan dengan tersenyum meskipun sebenarnya kepedihan menyelinap di hatinya. Ia tak tahu, sampai kapan dapat bertahan. Tapi, demi melihat anak-anaknya, ia pun menguatkan hati: Aku harus bisa.

(Rembulan tersenyum, sinarnya hingga paya-paya. Beberapa serangga melantun nada, seolah berbisik kepada ilalang. Suaranya begitu sayup tak dapat memecahkan kesunyian hari…)

Tentang Tini
Kini, selain bekerja di rumah Pak Guru, ia juga menerima cucian di rumahnya. Lumayan untuk menambah uang belanja, meskipun sekujur badannya terasa letih. Setiap malam, ketika anak-anaknya tidur, ia akan merebahkan tubuh letihnya di samping suaminya yang terbujur kaku. Mereka pun memandangi langit yang tampak dari genting kaca yang sengaja dipasang Tini agar suaminya bisa terkena sinar matahari. Semuanya dalam bisu, sibuk dengan angan masing-masing. Suaminya mungkin marasa bersalah terhadap kelelahan Tini. Tapi apa mau dikata? Tubuhnya kini ibarat kayu hidup yang terbujur tanpa bisa berbuat apa-apa.

Waktu berlalu dengan teori relativitasnya. Narso melalui tempo yang berjalan seakan keong, karena ia statis, tetap terbujur di atas tempat tidur. Raganya tak dapat digerakkan meskipun nyawanya enggan pergi meninggalkannya. Sementara Tini melalui waktu yang ia rasakan bagai kuda sembrani. Kencang berlari, tanpa memberinya sedikit pun waktu untuk menata duduknya. Dan ia tak merasakan waktu yang berlari tiba-tiba telah membawa anak-anaknya menjadi dewasa. 

Faqih, anak laki-lakinya telah menyelesaikan Madrasah Aliyahnya. Pak Guru juga yang membantu menyekolahkan Faqih. Sedangkan Ida, adiknya tumbuh sebagai remaja mekar yang baru menyelesaikan MTs di desanya. Cantik, tak kalah cantik dengan emaknya.

Selepas MTs, ia memilih untuk mengikuti kursus menjahit. “Agar aku bisa membantu emak merawat bapak di rumah,” katanya.

Dia kursus setiap seminggu 3 kali. Untuk pergi ke tempat kursus, ia harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer, kemudian naik angkot ke tempat kursusnya. Selama perjalanannya itu pula, ia bertemu dengan Marsudi, pemuda tetangga desanya. Marsudi, anak muda lontang-lantung itu ternyata telah memikat hati Ida.

Tini yang tahu hubungan itu, menentang dengan sekuat tenaga. Namun, apa hendak dikata? Ida, anaknya si remaja tanggung ternyata telah begitu terpikat dengan Marsudi. Si anak yang diharapkan meringankan beban orang tua pun berubah menjadi seorang pemberontak kecil. Ia selalu pergi dengan Marsudi dengan alasan hendak ikut kursus. Namun, tak pernah ia sampai di tempat kursusnya. Remaja tanggung yang baru mengenal cinta itu pun terlempar pula dalam lautan khilaf: Ida hamil.
“Hamil?”
 
Ida hanya menunduk kelu ketika emaknya menanyakannya. Perubahan di tubuhnya sudah demikian kentara.
Tini tak marah. Jelas, ia pun tak senang. Namun, ia tertawa. Tawa pahit yang di atas pahit. Ia tertawa tapi matanya melelehkan air mata. Tawanya melengking-lengking histeris. Kadang tinggi, kadang rendah, menegakkan bulu roma. Tetangga hanya bila melihatnya dengan iba: rupanya beban yang ia tanggung sudah sedemikian berat. Orang mengatakan, Tini gila. Gila karena beban berat yang harus ditanggung seumur hidupnya. Gila tak hanya karena beban ekonomi yang harus ia tanggung, tetapi ia pun harus menanggung beban malu.

Tentang Tini
Tini masih tertawa. Tawa pahit di atas pahit. Tawanya melengking-lengking. Bersamaan dengan matanya yang melelehkan air mata. Kadang tinggi, kadang rendah. Orang mengatakan, Tini gila. Di sudut kamar, Narso menangis tanpa bersuara. 

(Malam itu purnama bulan, burung-burung hitam terbang bersama lelawa. Sekelompok awan bergulung datang, menutup lingkar cahaya hingga gelapnya hari menjadi semakin pekat)

Kolaborasi dengan Granito Ibrahim

0 komentar:

Posting Komentar