Perempuan itu masih termangu di balik jendela. Pintu rumahnya masih terbuka lebar. Di luar, hujan masih saja turun dengan derasnya. Tak terasa, hampir 3 jam ia memandangi hujan, seolah ingin menyibak apa yang ada di baliknya.
“Ibu,” sebuah suara lirih memanggilnya. Ia diam, hanya menoleh dengan kilatan mata aneh.
“Sudah hampir malam. Bukankah sebaiknya pintunya kita tutup?”

Anak kecil itu -perempuan berusia sepuluh tahunan- menutup pintu dan kemudian menggandeng ibunya masuk ke dalam. Di ruang tengah, neneknya hanya dapat menatap dengan mata penuh iba.

Kebiasaan itu -memandangi hujan berlama-lama- memang telah menjadi kebiasannya sejak setahun terakhir. Setahun lalu, suaminya pergi menyibak hujan, dan berjanji untuk kembali jika hujan reda nanti. Namun, hingga kini tak didengarnya lagi kabar berita tentang suaminya itu. Dan ia selalu menunggunya. Dia yakin suaminya akan datang untuk menepati janjinya. Akan kembali pulang jika hujan telah reda.


Dulu, ia hidup bahagia bersama suaminya. Mereka tinggal bersama ibunya yang sudah janda karena Pertiwi -nama perempuan itu- adalah anak satu-satunya. Dulu,mereka cukup mengandalkan hasil kebun mereka. Di sekitar rumah itu terdapat pohon buah-buahan yang selalu berbuah lebat. Di bawahnya terdapat empang ikan emas. Sayur pun tinggal memetik.

Hidup di pegunungan yang sejuk nan subur membuat hidup mereka terasa sangat nyaman ketika itu. Sesekali suaminya -yang tampan, bertubuh tegap, berahang keras, bermata kelam- itu pergi ke hutan untuk mencari madu liar. Selain madu berlimpah dan manis, sesekali pula suaminya mendapatkan jamur hutan nan lezat untuk diolah. Hidup mereka seolah bergelimang madu kehidupan.

Namun, manusia tetaplah manusia. Penuh dengan hawa nafsu yang kadang bisa membunuh ketika pemiliknya tak mempu mengendalikannya. Dan suaminya yang tampan itu pun hanya manusia biasa.
Suatu ketika, ketika tetangga-tetangganya mulai sibuk membuka hutan untuk dijadikan ladang, suaminya pun tertarik untuk ikut membukanya. Dilarang pun percuma.

“Kita tak akan dapat meningkatkan kehidupan kita kalau begini terus menerus. Orang-orang itu akan membabat habis hutan dan kita kehilangan sumber madu kita,” katanya.

Dan suaminya pun terbawa ombak. Dilarang pun percuma. Pada tahun pertama, ladang liar itu sudah membuahkan hasil. Panen jagungnya bagus. Panen buncisnya berlimpah ruah. Humus tebal di gunung yang dulunya perawan itu telah menghangatkan bibit-bibit agar tumbuh subur.

Orang-orang pun silau melihat tetangga mereka yang telah berhasil membuka hutan. Tak ayal, mereka pun berbondong-bondong untuk melakukan hal yang sama. Dari kejauhan, tak tampak lagi pohon-pohon besar pada hutan itu. Semuanya gundul. Semuanya berubah menjadi ladang jagung, ketela, buncis, labu. Sedikit tersisa di sekitar Perhutani. Andaikan bisa, gunung itu pasti akan menangis.

Dan gunung itu pun akhirnya menangis. Sore itu, mendung begitu gelap. Awan tebal menggantung sedari pagi, tetapi baru hendak turun ketika menjelang sore. Petir mulai menyambar-nyambar. Cahaya kilat nun jauh di sana menambah suasana mencekam sore itu.

Harusnya mereka berada di tempat yang hangat ketika itu. Di dalam rumah sembari menikmati secangkir kopi panas, singkong rebus, dan pisang goreng. Tentu sambil bercakap-cakap dalam suasana penuh keakraban.

Tapi suaminya memaksa untuk ke ladang sore itu. Ia ingat tentang jagung manisnya yang sudah masanya panen. Ia ingat tentang saluran air yang tersumbat, sehingga bisa membanjiri ladang buncisnya yang baru mulai tumbuh. Bergegas lelaki itu menyambar mentel dan topinya.

“Aku pergi sebentar. Setelah hujan reda, aku akan kembali pulang.”
Istrinya yang sederhana itu -yang mencintainya dengan segenap jiwa raga itu- hanya kuasa mengangguk lemah. Ia tak pernah kuasa untuk mencegah suaminya melakukan apa saja yang ia mau.

Dan ia selalu menunggu kepulangan suaminya. Setiap hujan turun, ia menuju ruang depan rumahnya. Dari jendela, dipandanginya hujan turun. Ditunggunya lelakinya datang menyibak hujan membawakan cinta untuknya. Dan ia baru akan masuk jika anak gadisnya menuntunnya untuk kembali masuk ke dalam rumah.

Bukan ia tak tahu. Ia hanya tak mau tahu. Setahun lalu, beberapa saat setelah suaminya pergi, tiba-tiba terjadi longsor di ladang di atas gunung. Suaminya ikut terhisap ke dalam tanah. Jasadnya tak pernah ditemukan karena tak ada satu pun alat berat yang dapat dibawa naik ke sana.

Dan ia tak mau tahu. Setahunya, suaminya akan datang ketika hujan reda nanti. Ia akan muncul di balik gerimis, ditemani pelangi, membawakan lagu hujan untuknya. Lagu yang baginya penuh cinta dari suami terkasihnya.

0 komentar:

Posting Komentar