Siang terik, matahari memanggang di atas kepala. Parmin duduk di tepi tumpukan batu bata yang terjajar dengan rapi. Dentaman palu, gemuruh mesin membuat siang itu menerik, menghanguskan kulit dan rambutnya, menguras peluh dari dalam tubuhnya.

“Puasa, Min?” kata Bang Jono yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Parmin menolehnya. Tampak Bang Jono sedang asyik membersihkan sisa makanan yang menyelip di giginya. Laki-laki itu lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Dihidupkannya dengan korek api, lalu dihisapnya dalam dalam.

Parmin meneguk ludahnya. Perlahan ia mengangguk. Puasa di siang terik begini, di tengah derunya pekerjaan proyek tidaklah ringan. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan menuntutnya banyak mengeluarkan tenaga dan keringat. Teman-temannya tak banyak yang puasa meskipun di KTP tertulis agama mereka Islam. Parmin memaklumi, tetapi ia tak mau ikut-ikutan. Biarpun berat, ia tetap berpuasa.



“Mudik, Min?” tanya Bang Jono lagi.
Parmin tepekur. Mudik? Berapa banyak uang yang akan dia keluarkan untuk ongkos mudik? Untuk naik kereta yang tiketnya naik berlipat-lipat itu? Untuk oleh-oleh anak laki-lakinya yang dulu menagih sepeda BMX padanya. Untuk emak, untuk mertuanya, untuk keponakannya, untuk tetangganya. Tentu saja untuk istrinya. Tak hanya sepotong, tapi harusnya lebih dari itu.
Parmin menghela nafas panjang. Sejenak kemudian ia menggeleng.
“Mungkin tidak, Bang,” katanya.
“Lalu ngapain kamu di sini? Semuanya pada pulang. Pekerjaan proyek juga diliburkan.”
“Yah, gimana lagi, Bang. Butuh banyak uang untuk mudik, Bang.”
“Kamu tak mau anakmu senang di hari raya nanti?”

Parmin menunduk. Kasihan si kenang. Ia pasti ingin juga seperti anak lain yang bisa merayakan lebaran bersama kedua orang tuanya. Berbaju baru dan main petasan. Baju baru yang banyak sakunya sehingga bisa dibuat mengantongi jajanan dan uang saku dari kerabat. Ah, kenang pasti ganteng kalau memakai baju koko, sarung, dan kopiah. Sebentar lagi pasti minta sunat. Lagi-lagi ia meneguk ludah.

“Dua bulan lagi istri saya melahirkan, Bang. Saya terpaksa harus memilih menyisihkan uang lahiran ketimbang mudik lebaran ini, Bang.”

Bang Jono menepuk pundak Parmin seolah hendak menguatkan. Tak ada kata-kata yang ia keluarkan karena ia tak tahu harus berkata apa.

Siang menerik. Tiba-tiba Parmin seolah tersadar. Ia pun bangkit dari duduknya, ” Istirahatnya hampir habis, Bang. Saya sholat dhuhur dulu.”

Bang Jono mengangguk. Dipandanginya punggung Parmin yang kurus hingga hilang di balik tikungan. Hidup memang tak mudah bagi orang kecil seperti mereka.

(bagian pertama)

0 komentar:

Posting Komentar