Suatu malam di sudut kamar, berkumpullah Mata, Telinga, Hidung, Mulut, dan semua jenis organ yang ada dalam tubuh manusia. Mereka sedang melakukan konsolidasi serius karena masalah yang memberati mereka berhari-hari. Raga mereka tampak kuyu.

Mata yang biasanya bersinar, sayu kehilangan kerlipnya. Telinga yang bisanya tegak, mendadak tunduk tanpa daya. Kulit yang biasanya segar, putih, kencang, mendadak kisut  dua puluh tahun lebih tua nampaknya.
“Ah, semua ini ulah si Hati,” seru Mata tak sabar.


“Benar. Kalau si Hati tak berulah, tentu kita bisa tidur nyenyak,” sahut Hidung yang sedari tadi diam.
“Kita harus ambil tindakan.” Sebuah suara muncul dari sudut. Ternyata Kulit yang bersuara. “Aku sudah tak tahan dengan panasnya hawa karena si Hati sibuk memikirkan perasaan orang lain.”

“Aaahh… Aku juga sudah tak tahan mendengar erangan orang-orang kelaparan itu. Kalau si Hati tak berulah, tentu aku tak perlu mendengarkan erangan orang-orang itu,” sahut Telinga.
“Aku juga,” seru Mata. “Harusnya aku bisa terpejam dengan nikmat. Tapi orang-orang terdholimi itu senantiasa menari di pelupuk mataku gara-gara Hati masih memikirkan mereka. Payaah…”
“Aku selalu mencium anyir darah itu,” kata Hidung setengah muntah.

“Kalian masih tak seberapa, Kawan. Coba lihat akan diriku. Tak nyenyak tidur, masih pula sakit-sakitan,” sahut Lambung. “Kalau Hati tak terlalu peduli, tentu aku tak akan semenderita ini.”
“Sudah, sudah,” kata Jantung menengahi. “Sebaiknya kita pikirkan jalan keluarnya saja.”
“Menasihati Hati? Percumaaaa….”
“Bunuh saja ia,” kata suara dari sisi kiri.
“Ya, bunuh….”
“Bunuh hatiii….”
“Biar dia mati dan kita bisa tidur nyenyak. Kita bebas melakukan apa saja semau kita. Bunuh dia!”
“Bunuuuhhhhh…!!!”
Akhirnya forum pun sepakat. Membunuh Hati agar mereka bisa tidur dengan nyenyak. Tanpa membuang waktu, mereka pun mengeroyok Hati, mengiris-irisnya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil.
***
Malam melarut. Di kamar  sepi itu terdengar suara dengkur dari sana-sini.  Di sudut kamar, terdapat sebuah gundukan kecil. Ada tulisan RIP Hati di sana.  Hanya Nurani yang tak bisa tidur, karena ia tak lagi punya tempat untuk bermukim. Ruh Nurani pun perlahan pergi meninggalkan kamar itu.

0 komentar:

Posting Komentar