Berulang kali kulihat lelaki itu. Lelaki bermuka buruk berwajah seram. Setiap kali aku berdiri di balik jendela dapur rumahku, kulihat ia tengah berdiri di seberang jalan dengan senyuman menyeringai. Matanya tajam, takut sekali aku dibuatnya.

Dia bukan tetanggaku. Aku tak pernah melihatnya selama ini. Kalau tetangga, pasti sekali dua aku pernah bersimpangan jalan dengannya. Tapi, siapa dia? Bajunya hitam, senyumannya menyeringai. Matanya yang tajam berwarna merah saga.

Aku pernah membaca di sebuah buku, katanya orang yang akan meninggal dunia akan didatangi oleh orang asing. Orang asing ini katanya merupakan jelmaan dari malaikat maut. Dia akan tampak sebagai laki-laki tampan jika yang meninggal orang saleh dan dia akan muncul sebagai laki-laki menyeramkan jika yang akan meninggal adalah orang yang banyak dosa.


Diakah malaikat maut yang hendak menjemput nyawaku?  Mengapa mukanya seburuk itu? Apakah dosaku memang terlalu banyak sehingga malaikat maut itu menunjukkan muka buruknya kepadaku?

Entahlah, yang jelas bayangan wajahnya yang menyeramkan begitu menghantuiku. Apalagi laki-laki itu selalu kutemui di setiap kesempatan. Entah itu ketika aku sedang berada di rumah, di halaman, bahkan ketika aku tengah ke supermarket. Selalu ada dia yang kulihat secara sekilas, lantas ia pun menghilang di tengah keramaian orang.

Terus terang, aku takut sekali membayangkan nyawaku sudah di ujung tanduk. Malaikat maut tengah bersiap untuk menjemputku sedangkan aku belum cukup bersenang-senang di dunia ini. Ah, sudahlah. Lupakan perkara malaikat maut itu. Hari ini Alek, kekasihku akan datang mengajakku berkeliling kota. Tentu dengan keliling kota ini akan diakhiri dengan kencan romantis di sebuah hotel di tepian kota.  Semoga saja malaikat maut itu tak menemukanku di sana.
*
Surya tersenyum di atas sana melihat kemesraanku bersama Alek. Bagi banyak orang, kami adalah pasangan yang serasi. Dia ganteng dan gagah, aku cantik dan semampai. Meskipun usiaku sudah di atas tiga puluh tahun, tapi untuk soal penampilan aku tetap tak mau kalah dari yang muda. Apalagi jika bersama Alek. Jika sedang bersamanya, aku tak pernah main-main dengan penampilanku. Bisa-bisa dia disambar orang nanti.
Saat sedang bersama Alek, sejenak aku lupakan tentang malaikat maut itu. Siang ini, kami melaju di jalanan yang membelah kota dengan Ninja yang dikendarai superkencang oleh kekasih hatiku. Tujuannya tentu agar dudukku lebih mepet dia dan pelukanku di perutnya semakin kurapatkan. Kami tertawa-tawa di tengah lalu lintas yang sangat ramai. Tak kuhiraukan gerutuan pengguna jalan yang lain, yang penting kami happy.

Namun, tiba-tiba di sisi barat jalan, lagi-lagi kulihat wajah menyeramkan itu. Serentak aku berteriak dan memeluk Alek sekuat-kuatnya. Alek yang kaget dengan gerakanku yang tiba-tiba tak sanggup menguasai laju motornya yang menderu kencang, lalu braakkk…. gelap semuanya.
*
Aku terbangun di sebuah ruang serba putih dengan keadaan sekujur tubuh ngilu. Segera kususun kepingan peristiwa yang baru saja kualami. Malaikat maut itu. Malaikat maut itu mungkin telah melemparkanku ke neraka. Atau ke surga? Entahlah. Kepalaku pusing sekali.

“Mama sudah bangun?” kudengar sebuah suara. Aku menolehnya. Mas Bandi.
“Mas? Aku di mana sekarang.”
“Rumah sakit.”
“Tapi…”
“Mama kecelakaan. Untunglah masih selamat.”

“Mas… aku…” Tiba-tiba aku ingin menangis. Dia mas Bandi, suamiku. Dia pasti tahu kalau aku mengalami kecelakaan dengan kekasih gelapku. Mengapa ia tak marah padaku? Mengapa aku masih hidup untuk merasa bersalah? Ke mana malaikat maut itu? Salah jemputkah ia? Bagaimana Alek?

“Mama tenang saja di sini. Papa tidak marah, kok.”
“Jadi, Mas Bandi tahu semuanya?” tanyaku pias. Aku tak tak tahu harus berkata apa lagi pada suamiku.
Dia mengangguk. “Ya, Ma. Sudahlah, lupakanlah semua yang berlalu. Kita mulai dari awal lagi, ya…”

Aku tak kuasa lagi menahan tangis mengetahui kebesaran hati suamiku. Kuraih dan kuciumi tangannya yang tadi memegang bahuku. Melihat senyumnya yang tulus, hatiku yang bergolak pun kembali tenang.
*
Meskipun aku telah sembuh, malaikat maut itu ternyata masih mengikutiku. Sore ini, di teras rumah, ketika aku tengah bersantai dengan suamiku, aku melihat kelebatannya lagi di seberang jalan. Bajunya hitam, matanya merah saga, mukanya masih saja buruk.

“Mas,” kataku ketakutan.
“Kenapa?”
“Malaikat maut itu…”
“Mana?”
“Itu di seberang jalan.”
Mas Bandi melongok ke seberang jalan, lalu dia tersenyum.

“O, itu Pak Abdul, tetangga baru kita. Mukanya begitu karena pernah terbakar ketika sedang menolong seorang anak yang terjebak api. Dia yang menolongmu ketika kamu kecelakaan tempo hari.”
“Jadi… dia bukan…”
“Tentu saja bukan. Makanya, bergaullah dengan tetangga.”

Aku tersipu malu. Kupikir ia malaikat maut sehingga aku begitu ketakutan. Ketakutanku inilah yang justru menjadi malaikat maut bagi Alek, kekasihku. Ah, seandainya aku tak takut akan malaikat maut itu, tentu Alek masih hidup. Jika ia masih hidup, tentu aku tak akan begini damai berada di samping Mas Bandi, suamiku yang sungguh baik hati. Aku berjanji untuk tetap setia kepadanya sampai malaikat maut benar-benar menjemputku, kelak.


0 komentar:

Posting Komentar