Ibu


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah
Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…ibu…ibu….

“Ibu menanyakanmu sebelum menghembuskan nafas penghabisannya, Mas,” kata Sari. Mukanya sembab, tapi air matanya sudah mengering.  Dia masih duduk bersimpuh, di tepi balai-balai  tempat jenazah ibunya berada. Tinggal menunggu waktu saja sebelum jenazah ibunya diberangkatkan setelah wanita tua itu bergelut melawan kanker selama bertahun-tahun.
Sari sudah tak mampu menangis. Ia benar-benar sudah mengikhlaskan kepergian ibunya yang  telah sekian lama bergulat melawan kanker rahim. Seandainya ada satu yang tak bisa ia ikhlaskan, mungkin hanya perlakuan Irawan, kakak laki-laki semata wayangnya. 

Irawan tak pernah sepenuh hati mendampingi ibunya ketika  satu-satunya orang tua yang membesarkan mereka selama ini sakit. Irawan tahu, tapi tak pernah menengok ibunya barang sejam dua jam.  Ibu yang sangat merindukannya pun terpaksa harus menahan keinginannya untuk bertemu dengan anak laki-laki yang begitu dicintainya. Sari tahu apa yang dimau ibunya. Tetapi, berulang kali ia menghubungi Irawan, tak juga anak emas ibunya itu muncul. Macam-macam alasan ia keluarkan dan intinya tetap sama.  Irawan tak mau menengok ibunya. Sari geram melihat kakaknya , tetapi  tak bijak rasanya kalau ia marah kepada kakaknya di depan jenazah ibunya.  Akhirnya ia pun memilih diam sambil menunggu Pak Kiai yang hendak memimpin prosesi pemakaman ibunya.
Irawan yang baru datang, lalu bersimpuh di sisi jenazah. Perlahan  ia melantunkan doa, lalu air mata pun turun membanjir. Air mata yang takkan bisa menghapuskan penyesalannya karena sekarang yang ia temui hanya jasad ibunya belaka.
***
“Cantik, Wan,” begitu kata ibunya ketika itu, lima tahun yang lalu ketika ia datang bersama Marini, gadis yang dikenalnya di kantor.
“Benar, Bu? Ibu setuju kalau Marini menjadi menantu Ibu?”
Ibu terdiam, seakan ada sesuatu yang dipikirkannya, tetapi lantas tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya.
“Semoga dia bisa menjadi istri yang baik bagimu, Wan. Ibu yang baik bagi anak-anakmu, dan juga anak yang baik bagi Ibu.”
“Tentu, Bu. Tentu. Kalau tidak, saya yang akan memperingatkannya pertama kali.”
Namun, Irawan keliru. Marini yang dikenalnya sebelum menikah ternyata berbeda dengan Marini ketika menjadi istrinya. Biarpun mereka sudah pacaran selama setahun lebih, ternyata ia belum sepenuhnya mengenal watak istrinya itu.  Ia baru tahu Marini tak bisa menjadi  menantu yang berbakti ketika perempuan itu telanjur menjadi istrinya.  Dan, bukan hanya tak bisa membuat Marini menjadi menantu yang baik, ia pun tak bisa membuat Marini menghargai dirinya sebagai suami. Semua kendali rumah tangga dipegang Marini dan ia hanya bisa menuruti saja. Sejak kecil, ia memang selalu mengalah dan hal ini dimanfaatkan Marini untuk menguasai suaminya, termasuk melarangnya untuk menjenguk ibunya meskipun tahu bahwa mertuanya itu sakit. Selalu saja ada alasan yang membuat Marini bisa menahan Irawan untuk menengok ibunya. Sampai ibunya kritis, sampai malaikat maut menjemput ibunya malam tadi.
***
“Ibu, Irawan diterima di perguruan tinggi negeri, Bu.” Kalimat itu diucapkan Irawan tiga belas tahun yang lalu, ketika ia baru saja lulus SMA. Meskipun orang tuanya tak mampu, tapi otak encernya membuat dia demikian semangat untuk melanjutkan kuliah.
“Benarkan, Wan? Alhamdulillah…” Betapa mata wanita setengah baya yang tampak lebih tua dari usianya yang sebenarnya itu begitu berkaca-kaca. Perempuan itu pun kemudian memeluk anak laki-lakinya kuat-kuat.
“Ibu tak keberatan?”
“Sama sekali tidak, Nak,” katanya menggeleng. Bibirnya mengulaskan sebuah senyuman.  Melihat senyum di bibir ibunya, Irawan  pun optimis. Selang beberapa hari kemudian, ia sudah menapakkan kakinya di Yogya, sementara ibunya di kampung semakin sibuk mencari uang untuk biaya kuliah anaknya. Kalau dulu ia hanya berjualan sayur keliling, sekarang perempuan  itu menerima cucian baju, jahitan, dan apa saja pekerjaan yang bisa ia lakukan asal dapat mengumpulkan rupiah demi rupiah demi kelangsungan kuliah Irawan.
***
Bapak  meninggal ketika Irawan masih duduk di kelas 4 SD. Pekerjaannya dulu sebagai pegawai negeri golongan I, tugasnya sebagai pesuruh sekolah dasar. Melihat anaknya yang cerdas, ayahnya selalu berpesan agar tak sampai putus sekolah apa pun yang terjadi. Maka, ketika sang bapak meninggalkan mereka untuk selama-lamanya, yang dipikirkan Irawan adalah kelanjutan sekolahnya saja. Hanya itu.
“Kenapa melamun, Wan?” tanya ibunya suatu sore.
“Nggak apa-apa, Bu.”
“Tak baik anak laki-laki melamun. Sudah selesai PR-mu?”
“Sudah, Bu.”
“Kalau begitu, main sana biar bisa bergaul dengan temanmu.”
“Lagi nggak pengin main, Bu.”
“Kenapa?”
“Malas, Bu. Teman-teman asyik membicarakan sekolah idaman mereka setelah lulus nanti.”
“Lalu?”
“Irawan kan tak akan melanjutkan sekolah, Bu. Irawan tak punya bapak.”
“Siapa bilang untuk sekolah mesti punya bapak. Lihat, Wan, banyak anak tak mampu, anak yatim, anak desa bisa jadi orang sukses.”
“Jadi, Ibu… ”
Senyum yang begitu menyejukkan terpancar dari bibir ibunya. “Ibu akan berusaha sekuat mungkin, Wan.”
“Ibu yakin mampu?”
“Dengan usaha dan doa, Anakku,” kata ibunya mantap.
***
“Pak Kiai datang, Mbak,” kata seseorang memberitahukan kedatangan Pak Kiai yang hendak memimpin prosesi pemakaman ibunya. Sari bangkit dari duduknya. Ia benar-benar sudah legawa menerima kematian ibunya.
“Pak Kiai datang, Mas. Berdirilah,” kata Sari.
Irawan terhenyak. “Pak Kiai?  Untuk apa?”
“Memangnya kamu yang akan pimpin prosesi pemakaman ibu?” sahut Sari agak ketus.
“Prosesi pemakaman?  Bagaimana ibu mati, sedangkan ia belum memelukku?”
“Jangan ngawur kamu, Mas. Sudahlah, minggir. Bukan saatnya menyesali kepergian Ibu.”
“Sariiii… nggak mungkin ibu pergi tanpa menungguku dulu.”
“Ibu memang ingin menunggumu. Tapi malaikat menghendaki Ibu berkumpul bersama Allah yang tak pernah menolak kasih sayangnya. Semua doanya sudah dipenuhi Allah. Mungkin hanya satu yang belum. Kedatanganmu menjelang ajalnya. Tapi Allah lebih sayang ibu. Kamu yang selama ini buta dan tuli, Mas. Sudahlah. Minggir. Biar Pak Kiai masuk. Kasihan jenazah ibu kalau harus menunggu lama.”
Prosesi segera dimulai, dan bumi sebentar lagi akan memeluk  salah satu hamba-Nya yang paling taat. Irawan masih terpaku di sisi balai-balai tempat ibunya tadi disemayamkan. Dalam penglihatannya, ia melihat ibunya tersenyum dan melambaikan tangan padanya, lalu pergi  menjauhinya.  Irawan tersenyum membalas senyuman ibunya, lalu menangis meraung-raung ketika ibunya menyadari  bahwa ibunya pergi. Semasa kecil dulu, ketika ibu pergi, ibunya akan pulang membawakan oleh-olehnya untuknya dan Sari. Menyadari hal itu, ia pun kemudian tertawa keras-keras.

0 komentar:

Posting Komentar