Ririn tergugu. Dipandanginya telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja.  Sejak sejam lalu tak ada dering yang ditunggunya. Tak pula bergetar karena ada pesan masuk.

Mungkin Si Mas sibuk, pikirnya. Ah, kapan dia tak merasa sibuk? Di rumah pun pekerjaan melulu yang ia pikirkan. Setumpuk kertas yang dihadapi dengan muka berkerut. Sampai malam larut, masih pula berkutat dengan kertas yang berbunyi: program. Atau dengan laptop yang tetap menyala sampai tengah malam tiba.
Dan ia sunyi. Merasa asing berada di samping suaminya. Dan ia bunuh sunyi itu dengan membuka laptop yang lain. Jadilah 2 orang asing berada dalam satu rumah yang sama. Dalam satu tempat yang sama, namun dalam pemikiran masing masing. Bisu.

Bisu di dunia nyata, namun ramai di dunia maya. Ketika Si Mas sibuk dengan pekerjaannya, Ririn pun menyibukkan dirinya dengan komunitas mayanya. Teman-temannya banyak. Dia ngobrol berjam-jam dengan temannya, menemani Si Mas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, barulah mereka beranjak ke peraduan, masih dengan pikiran masing-masing.


Dan ia bosan. Bosan menjadi pelengkap dalam rumah tangganya. Kegemarannya berkutat di jejaring sosial semakin parah. Sampai akhirnya ia bertemu dengan cinta lamanya, yang ternyata masih belum beristri. Cinta lama yang trepaksa koyak karena orang tuanya memilihkan Si Mas untuk jadi suaminya.
Ketika datang cinta itu, mulailah hatinya dipenuhi oleh bunga bunga. Berseri sepanjang hari. Setiap waktu sapaan dari Mirza selalu menemani kegiatannya. Sapaan yang disertai cinta yang mulai menghangatkan hari-harinya. Dan ia gembira. Lihat, betapa wajah cantiknya menjadi semakin berseri. Gairah hidupnya yang sempat pudar mendadak muncul lagi.

Ternyata, semarak hati Ririn pun berimbas pada semaraknya suasana rumah. Lihat, rumahnya begitu ceria. Kepada suaminya, ia tak pernah mengluh lagi karena kurang mendapat perhatian. Justru, ia yang menambah perhatian pada suaminya. Hati riangnya ternyata telah mengubah aura rumahnya.

Ketika Mirza mengajaknya kopi darat, ditolaknya dengan halus ajakan itu. “Maaf, Za, aku bersuami. Bolehlah kita bersapa riang di dunia maya, janganlah sampai kukhianati suamiku di alam nyata.”

Dan Mirza pun paham. Ia hanya berhak untuk mencintai perempuan itu, tapi tak ada haknya untuk memilikinya, kecuali takdir berkata lain. Dunia pun berjalan kembali seperti adanya. Mirza mulai menjaga jarak, namun sesekali tetap menyapa Ririn. Ririn tak lagi seriang dulu, namun hatinya telah kembali hidup.
Dalam hati, tetap dipupuknya rasa cintanya terhadap Si Mas. Ketika suaminya di kantor, dibiasakannya mengirimkan sms untuk sekadar mengingatkan hal-hal kecil, menyapanya, menyatakan rindunya. Sudah dibunuhnya rasa harga diri untuk sekadar membuat suaminya ingat akan keberadaan dirinya. Ah, tapi ternyata suaminya tak lebih dari sekadar robot yang melulu berkutat dengan pekerjaannya. Dan Ririn pun terpaksa menelan lagi kekecewaannya.

Hari ini, suaminya bertugas di luar kota. Sejam lalu, dia kirimkan sms untuk mengingatkannya agar tak lupa makan pagi. Sekaligus mendoakan suaminya agar kegiatannya lancar. Namun, sampai sejam berlalu, tak kunjung muncul jawaban itu. Ditelannya kembali air mata yang menggenang. Ia rasa, harapannya terlalu melambung untuk memperoleh cinta suaminya. Tiba-tiba teringat dirinya akan Mirza. Bukankah Mirza menantinya di sana?

Dia dihadapkan pada sebuah dilema. Menanti Si Mas membalas smsnya dengan risiko menelan kekecewaan, atau menghubungi Mirza. Dan telepon itu masih tergeletak di atas meja. Ririn hanya memandangnya hampa. Ia harap, ada sebuah telepon atau sms masuk. Dari siapa pun itu, ia akan menghabiskan hari ini dengannya. Dipandanginya telepon yang masih bisu di atas meja.

0 komentar:

Posting Komentar