Dua jam sudah aku duduk di sini, di sudut taman kota, menunggumu menepati janji yang kesekian kali. Janji untuk bersemuka  seperti yang engkau ucapkan ketika itu.

Ramai orang lewat tak kuhiraukan, pandanganku hanya pada satu arah, jalan setapak yang menghubungkan taman ini dengan jalan raya. Kuharap kulihat sosokmu datang untuk sekadar menepati janji itu.

Dua jam bukan waktu yang sebentar meskipun aku selalu menyukai taman dan senja. Seiring menit yang laju, galauku semakin kelu. Tak jua engkau hadir, bahkan sekadar lewat kabar yang engkau kirim melalui ponsel.
Sengaja aku tak meneleponmu, kuharap engkau tahu sendiri akan hakikatku kali ini. Namun, percuma, tak satu pun pesan masuk darimu. Kukuatkan hati untuk tetap menunggumu hingga gelap mulai turun dan lampu-lampu menggantikan surya yang bersinar.

Ketika akhirnya aku beranjak dari taman kota itu, bukan berarti aku tak lagi kuat menunggumu. Aku masih sabar tetapi rinai yang datang mengiringi senja itu memaksaku untuk berpikir ulang, untuk apa penantian ini?

Akankah penantian-penantian ini akan berujung manis? Rasanya tidak. Hatimu terlalu keras untuk sekadar terketuk akan arti setia pada janji.

Ah, sudahlah. “Ini terakhir kalinya,” bisikku dalam hati, pada diriku sendiri.
Petang membayang, aku beranjak dari tempat penantian terakhirku. Dengan punggung tangan, kususut air mata yang membayang di sudut mataku.

0 komentar:

Posting Komentar