Sudah menjadi kebiasaan Purnami untuk mengikuti upacara peringatan Kemerdekaan Republik tercinta ini setiap tanggal 17 Agustus di lapangan desa. Lapangan desa yang letaknya sekira satu kilometer dari tempat tinggalnya. Bukan sebagai peserta di tengah lapangan, bukan juga sebagai undangan. Dia hanya mengikuti upacara itu dari tepi lapangan, di sisi jalan bersama penduduk yang lain. Namun, jangan ditanya bagaimana khidmatnya ia mengikuti jalannya upacara itu. Mungkin khidmatnya Purnami justru melebihi para peserta upacara yang ada di lapangan itu. Setiap Sang Saka Merah Putih dikibarkan, ia akan berdiri tegak dan menghormat bendera, tak peduli teman-temannya menertawakannya.

Siapa Purnami? Tentu ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang perempuan, janda penjual nasi berusia 35 tahun dan memiliki seorang anak yang bernama Guntur. Tentu juga bukan siapa-siapa. Kalau dia siapa-siapa pasti jadi tamu undangan dan duduk di panggung kehormatan. Tapi Mbah Joyo, kakeknya dulu seorang pejuang dan ia mewarisi semangat juang yang setiap hari digembar-gemborkan oleh kakeknya semasa hidupnya.


Sejak kecil, Purnami -yang ditinggal mati emaknya ketika melahirkan dan bapaknya kawin lagi- memang dirawat oleh kakek dan neneknya. Dari Mbah Joyo inilah, ia mendengarkan cerita-cerita tentang pengalaman embahnya semasa zaman perjuangan dulu. Zaman ketika embahnya maju di garis depan di daerah Pati yang mesti mereka lewati dengan menembuh hutan rimba. Atau ketika embahnya terluka terkena pecahan mitraliur yang ditembakkan oleh Belanda. Luka ini masih membekas di tangan embahnya hingga embahnya meninggal setahun yang lalu. Bahkan, embahnya masih menyimpan sebuah bambu runcing berbendera merah putih yang dulu katanya pernah ia gunakan untuk membungkam musuhnya. Juga sapu tangan yang dulu digunakan untuk membalut lukanya. Kata Mbah sih, sapu tangan itu pemberian seorang suster cantik yang rumahnya di Telogowungu. Tapi Mbah Kakungnya selalu bercerita secara diam diam jika mbah putrinya sedang tak melihat. Purnami yang mendengarkan ceritanya hanya tertawa-tawa jika mendengar mbah putrinya mengomel perkara sapu tangan itu.

“Mbah, kenapa kalau embah jadi pejuang kok tak mendapatkan tanda jasa, Mbah? Atau dapat pensiunan seperti para veteran perang lainnya?” tanya Pur suatu ketika. Ketika itu, menjelang 17 Agustus dan embahnya sedang menjalankan ritual tahunannya: mengelap bambu runcing kebanggaannya.

“Pur, Pur…,” sahut embahnya, “Mbah masih kuat untuk bekerja menghidupi mbah putri dan kamu. Tak usahlah Mbah meminta-minta kepada negara demi mendapatkan pensiun. Jika negara memang peduli, merekalah yang harusnya mencari para veteran perangnya.”

“Tapi kan susah, Mbah, mengumpulkan orang sedemikian banyak,” kata Purnami menyanggah embahnya.

“Ah, tak apalah Pur. Mbah dulu berjuang niat hanya untuk bangsa dan negara. Ikhlas, Pur. Mbah tak mengharapkan balasan apa-apa dari negara.”

“Ah, embah. Kalau dapat kan lumayan, Mbah. Katanya malah ada juga orang-orang yang tak berperang dapat tunjangan dari negara sebagai veteran….”

“Sudahlah, Pur. Yang penting kita bisa makan, bisa berteduh tanpa harus mengemis pada orang lain. Coba dengar ya Pur, jangan sekali-sekali menanyakan apa yang diberikan negara untukmu, tapi apa yang bisa kamu berikan untuk negara,” kata embahnya berapi-api.

Pur terperangah. Matanya membulat. Ia yang ketika itu berusia sepuluh tahun, lantas bertanya, “Kalimat siapa itu Mbah? Pasti Mbah nyontek, kan?”

“Kalimat siapa, ya Pur. Bung Karno kalau tak salah. Ah, embah sedikit lupa.” Mbah pun tertawa terkekeh kekeh. Usianya kala itu sudah lebih dari 75 tahun. Pur ikut tertawa, tapi satu hal telah terpatri pada jiwanya: jiwa kepahlawanan: ikhlas berjuang demi negara, demi merah putih tercinta.

***

Begitulah. Sampai hari ini, meskipun Pur tak lagi bersekolah dan ia pun bukan pegawai pemerintah, Pur selalu mengikuti upacara 17 Agustus di lapangan desanya. Tahun ini, ia mengajak anaknya, Guntur, yang masih duduk di kelas 2 SD. Mbahnya yang memberikan nama bagi anaknya, yang nasibnya tak jauh beda dengannya: ditinggal mati ayahnya ketika Guntur masih dalam kandungan. Jadilah Purnami menjadi janda dan tetap tinggal bersama embahnya yang semakin renta itu.

Upacara belum lagi dimulai, tapi panas telah menerik. Guntur menarik-narik roknya mengajaknya pulang.

“Tenang, Tur, tunggu emak sebentar, ya. Sebentar lagi detik-detik proklamasi.”

“Memang apa gunanya kita menunggunya, Mak?” protes Guntur. Ia puasa dan kehausan. Meskipun baru mbedhug, ia tak ingin puasanya mesti batal karena tak bisa menahan haus sebelum bedug dhuhur berbunyi.

“Ini kan untuk memeringati kemerdekaan negara kita, Tur. Kita mesti ingatlah perjuangan para pejuang kita.”

“Banyak yang bilang negara kita belum merdeka sepenuhnya, Mak,” sahut Guntur. Purnami melengak.

“Belum merdeka, Tur? Siapa yang bilang?”

“Itu, orang-orang pinter yang ada di TV. Makanya nonton berita, Mak. Biar gak ketinggalan…,” sahut Guntur.

“Alah, kamu anak kecil menasihati orang tua. Emak sibuk Tur. Memasak buat warung kita. Kalau emak hanya nonton TV dan tak jualan, gimana kita dapat duit buat sekolahmu?”

“Iya, iya Mak. Begini ceritanya,” kata Guntur nyerocos. ”Dulu, bangsa Indonesia susah karena dijajah Belanda dan Jepang. Susah makan dan susah papan. Sekarang katanya kita sudah merdeka, Mak. Tapi kita tetap saja sengsara. Banyak pengangguran, banyak penduduk miskin kayak kita, Mak. Ada pula yang dianiaya di luar negeri. Tapi banyak orang kaya karena korupsi, Mak.”

Purnami menyimak anaknya baik baik. Ia bersyukur, anaknya ini mewarisi kecerdasan ayahnya. Jika menuruni ia, pasti anaknya susah nyambung dengan berita di TV itu.

“Mak… jangan melamun dong.”

“I.. iya Tur. Emak dengar kok.”

“Gini, Mak, lanjutannya. Para koruptor itu ibarat penjajah yang mengeruk keuntungan dari rakyat. Pemimpin tak ada yang peduli rakyat. Tak ada bedanya dengan Jepang dan Belanda yang menindas rakyat kita.”

Purnami terkesiap. Tiba-tiba ia ingat perkataan kakeknya ketika ia masih kecil dulu, jangan menanyakan apa yang diberikan negara pedamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan untuk negara. ALangkah jauhnya nilai pengorbanan kakeknya ini dengan apa yang dilakukan oleh para koruptor itu. Ibarat barat dengan timur, bumi dengan langit.

Ia pun menghela nafas panjang. Lalu katanya, ”Ah, sudahlah Tur. Yang penting kita melakukan yang terbaik buat negara kita tercinta ini.”

Guntur terdiam, lalu katanya, “Lalu, apa yang bisa Guntur lakukan, Mak? Masih kecil begini…”

“Belajar, Tur. Belajar biar pinter, tak seperti emak. Nanti kalau pinter, kamu jadilah pemimpin yang amanah. Jangan memperdaya rakyat.”

“Iya, Mak,” sahut Guntur.

Percakapan emak dan anak itu terhenti ketika terdengar bunyi meriam bambu dibunyikan pertanda saat detik detik proklamasi. Purnami menghayatinya dengan khidmat. Kenangan tentang Mbah Joyo, kakeknya, melintas di benaknya. Semangat juang kakeknya, semangat keikhlasan demi negara biarpun harus mengobankan jiwa raga.

Semangat ini pula yang membuat Purnami mengikhlaskan sepetak tanah tempat rumah kakeknya didirikan dulu digusur untuk dijadikan kantor kelurahan yang megah sekali. Kata Pak Lurah, ini demi negara juga, untuk membangun sebuah kantor kelurahan yang megah sehingga tampak mentereng dan dikagumi orang lain. Ganti rugi yang tak banyak membuat Purnami hanya bisa mengontrak rumah dan mendirikan warung nasi di depan kontrakannya.

Purnami tak tahu, setelah kejadian itu Pak Lurah membeli mobil baru hasil untung proyek balai desanya. Yang ia tahu, ia telah berkorban bagi desanya, bagi negaranya. Hanya satu yang ia sesali hingga kini: bambu runcing peninggalan kakek ternyata tak terbawa saat ia pindah ke kontrakan. Ketika ia cari-cari, bambu itu telah terpotong menjadi kayu bakar di dapur Pak Lurah.

Hari ini, tahun ini, ia mengikuti upacara itu untuk mengenang kakeknya. Tapi entah mengapa, dari kejauhan dilihatnya Pak Lurah bermuka merah, memiliki taring, dan dua tanduk di kepalanya.

2 komentar:

Ilan CIlan mengatakan...

Wow keren bunda
Moga suka yaa...
Pink booo :)

Dian Khristiyanti mengatakan...

Hehehehe.... Jadi silau Bang. :D
Ngerasa jadi feminin, Nih...
Makasih banyak, ya...

Posting Komentar