Siang tak begitu terik. Suasana sekolah tak seberapa ramai karena jam istirahat baru saja selesai. Angin sepoi yang menyentuh sudut kerudungku tak bisa menepiskan gerah di hati ini.  Beberapa lembar foto gadis berpakaian seronok ada di atas meja kerjaku. Foto gadis yang sama dengan gadis muda yang sekarang tengah duduk di depanku.

Dia menunduk ketika kuperlihatkan foto itu. Rupanya ia tak bisa lagi mengelak tuduhan teman-temannya yang mengatakan bahwa ia menjual dirinya untuk mendapatkan segenggam uang, untuk memperoleh gadged mahal, aksesori cantik,  tas bagus, sepatu keren dan tentunya uang saku yang lebih banyak ketimbang teman sebayanya. Pelan, kuambil nafas panjang. Tahan emosi, batinku. Ini anak orang. Tugasku untuk mendidiknya, bukan memarahinya.



Susah nian untuk menahan gejolak ini. Ia masih remaja belia. Usianya belum genap 15 tahun, masih duduk di kelas IX. Namun, pekerjaannya? Alangkah naifnya aku selama ini, menganggap semua muridku sebagai anak-anak yang polos. Anak-anak yang masih suka main barbie. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendengar laporan dari Bagas, teman sekelas Intan, anak kelas IX B yang kebetulan aku menjadi wali kelas mereka.

Tak ada yang aneh dengan Intan selama ini. Penampilannya biasa, meskipun tampak kalau semua barangnya branded. Namun sikapnya masih seperti anak-anak yang lain. bercanda dan bermain dengan mereka. Hanya saja, terkadang sekilas kulihat ia seperti melamun saat pelajaran. Namun, aku tak pernah menduga kalau sudah sedalam itu kasusnya. Kupikir ia melamun hanya karena memikirkan pacar cinta monyetnya saja.

“Yakin, Gas?” kataku kepada Bagas ketika itu.
Bagas mengangguk mantap.
“Jangan katakan pada Ibu kalau tak ada bukti.”
“Saya bisa membuktikannya, Bu,” tukas Bagas sang ketua kelas.
“Baik, Ibu percaya. Ibu tunggu bukti-buktinya minggu depan, ya.”

Dan Bagas bisa membuktikannya. Seminggu ini ia menjadi detektif penguntit kegiatan Intan. Tak susah sebenarnya karena Intan adalah tetangganya. Oleh karena itu, aku yakin kalau Bagas juga tak berbohong.
“Intan, kamu bisa memberikan penjelasannya kepada Ibu.
Intan masih saja menunuduk. Tak satu pun kata terucap dari bibirnya. Perlahan ia mulai terisak.
“Tan, Ibu tak marah. Ibu hanya butuh penjelasan.”

Kulihat isaknya semakin keras. Ia menangis tersedu sedu di depanku.  Tiba-tiba saja mataku ikut memanas. Entahlah, aku seolah merasakan ada sebuah beban berat yang menyesak di tengah tangisannya. Kutunggu beberapa saat hingga tangisnya agak reda.
“Intan mau cerita pada Ibu?” tanyaky pelan. Kulihat ia mengangguk.
“Apa betul ini fotomu?” Ia mengangguk lagi.
“Kenapa? Kamu butuh uang saku?” Ia mengangguk lagi.

Aku mafhum. Dari Bagas kudengar cerita tentang keluarga Intan yang berantakan. Ayahnya seorang pemabuk dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa yang tak punya penghasilan sendiri. Ia butuh uang saku. Itu alasannya.
“Gak sayang dengan masa mudamu, Nak?” tanyaku pelan.
Ia menunduk.
“Masa depanmu masih sangat panjang. Mengapa kamu mau mengorbankan masa depanmu untuk sedikit uang saku, Tan?”
“Apa maksud Ibu?”
“Kamu sadar dengan risiko yang kamu hadapi dengan berprofesi sebagai gadis panggilan? Penyakit, reputasi, masa muda… Sayang jika kamu sia-siakan, Nak.”
“Bu, tanpa saya menjadi pelacur pun masa depan saya sudah suram,” katanya tercekat dengan terisak isak. Aku terperangah. Pelacur. Ahai, betapa kejamnya kata itu terucapkan oleh si pelaku seolah ia sedang mendiskreditkan dirinya sendiri. Pahit kurasakan.

Kutunggu redanya tangisnya dengan sabar. Kuangsurkan selembar sapu tangan untuk mengusap air mata yang membanjir di pipinya.
“Kamu bisa mempercayai Ibu,” kataku.
“Ayah saya…”
Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Ayah yang memperkosa saya ketika saya kelas VI SD,” katanya di sela isak. Tangisnya semakin keras. Perlahan bisa kutarik benang merah dari kejadian ini.
“Sejak saat itu, dia sering melakukannya ketika sedang mabuk atau ketika  ibu saya  sedang terlelap. Saya pikir, daripada dengan Ayah yang tak tahu diri itu, lebih baik saya melakukannya dengan orang lain. Saya dapat uang untuk membiayai kebutuhan saya. Saya tak harus bergantung pada ayah saya untuk dapat terus sekolah.”

Aku masih diam menyimak ucapannya.
“Seandainya bisa, saya mau berhenti, Bu. Saya lelah. Saya mau seperti teman-teman yang bisa tertawa riang tanpa beban. Saya ingin seperti mereka, Bu…”
Entah mengapa, ibaku lagi lagi jatuh pada anak ini. Anak yang biasa-biasa saja di kelas, tak menonjol, tapi menyimpan segudang duka karena masa lalunya.
“Benar kamu mau berhenti, Tan?”
Ia mengangguk.
“Kalau kamu berniat berhenti, Ibu akan berusaha semampu Ibu untuk melepaskanmu dari jeratan masa lalumu.”
***
13164052151285175969
dari google
Itu kejadian tujuh tahun yang lalu. Hari ini, Intan duduk di depanku dengan kepala tertunduk pula. Ada jilbab biru muda menutup kepalanya. Di sampingnya duduk seorang laki-laki yang melimpahinya dengan tatapan penuh kasih. Dialah  Andi, adik bungsuku.

Tujuh tahun lalu, kubawa Intan dari rumah dan sekolahnya untuk kupondokkan di pesantren modern yang sama dengan adikku bersekolah dan mondok. Kucoba membantu  Intan untuk menghapus  jejak-jejak masa lalunya, mencoba menorehinya dengan goresan baru dalam jalan takdirnya.

Takdir membawanya dekat dengan adikku. Hari ini, mereka datang meminta izin untuk menikah.

1 komentar:

Parmen mengatakan...

ceritannya oke punnya.

blog ini lg blogwalking... jika berkenan berkunjung ya..makacih

ALAT BANTU SEX WANITA VIBRATOR BUTTER FLAY
Alat Sex pENIS GETAR ELEKTRIK
OBAT KUAT MAXIMUM
VAGINA BERPOMPA
bIKIN PENIS PANJANG DAN BEROTOT

Posting Komentar