“Lala tak masuk latihan lagi hari ini, Don?” tanya Pak Noor kepada Dona.
“Nggak, Pak, “ sahut  Dona. “Sudah dua kali latihan ia absen terus. Sayang, ya Pak.”
“Iya, Don. Padahal bakatnya sangat bagus. Sayang kalau tak diasah. Bapak yakin, kalau dia mau  lebih rajin latihan, POPDA yang akan datang ia pasti akan memperoleh emas di tingkat provinsi.”
Dona diam saja. Lala memang atlet kesayangan Pak Noor di Klub Atletik Sportif ini. Mereka tidak berasal dari satu sekolah sehingga Dona tak tahu keseharian Lala. Yang ia tahu, Lala sangat berbakat. Meskipun jarang latihan, Dona tak pernah bisa mengalahkan Lala setiap Pak Noor mengetes kemajuan latihan mereka.



Di sebuah desa, tinggallah seorang janda tua. Namanya mbok Randha Dadapan. Ia hidup seorang diri di rumah kecilnya yang berada di tepi hutan.  Pekerjaan sehari-hari adalah mencari kayu bakar di hutan, lalu menjualnya ke pasar. Setiap hari ia mencari kayu bakar di hutan. Keesokan harinya, ia membawanya ke pasar. Begitu terus yang ia lakukan.

Setiap pergi ke hutan, ia harus melewati sebuah sungai yang cukup lebar tetapi dangkal. Di sana pula ia membasuh tubuhnya yang lelah setelah lelah bekerja seharian.

Hari itu, sepulang dari hutan mencari kayu bakar, Mbok Randa Dadapan singgah ke sungai untuk sekadar membersihkan tubuhnya. Tiba-tiba dilihatlah sebuah benda berkilau di dalam air. Diambilnya benda itu. Ternyata sebuah keong. Keong itu berwarna kuning keemasan, tampak berkilauan diterpa sinar matahari. Mbok Randa pun tertarik untuk membawanya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah,  Mbok Randha meletakkan keong itu pada tempayan.



“Bangun, Nak, sudah hampir imsak,” kataku.
“Masih ngantuk, Bunda, mau tidur lagi,” katamu sambil membalikkan tubuhmu.
“Lho, kemarin kan kamu semangat, bisa bangun sendiri.” Kamu masih tetap terlelap.

Aku pun mengangkatmu dan mendudukkanmu di kursi makan.
“Minum teh anget dulu,” kataku.
Engkau pun meminumnya.
“Segar?” Engkau mengangguk. “Sini Bunda suapin.”


Kau datang
Bersama embun pagi membulat di pucuk daun
Kau datang
Mengoyak hangatnya hening malam
Kau datang
Melesak memenuhi ruang ruang hampa hatiku
Kau datang
Mengundangku untuk menemui Dzat Pengisi Ruang Hampaku
Subuh…
Kutunggu kedatanganmu dalam syahdunya hatiku



Malam sudah mulai melarut. Semakin malam semakin sunyi. Terselip ingatan tentang apa yang telah kulakukan saat lalu. Ah, mengapa penyesalan itu begitu menghimpit dada?

Kadang laku, tak sejalan dengan nurani. Emosi diri telanjur bersimaharajalela dalam hati. Tinggal puing puing penyesalan merayap, meyelusur, menembus palung hati yang paling dalam.

Tuhanku, aku tergugu dalam seduku. Ampuni aku, ya Allah. Alangkah susahnya menahan diri, dan setan telah bertepuk tangan atasku.

Ampuni aku, Tuhan. Beriku kekuatan untuk bangkit dan berdiri lagi. Tegak menentang kerasnya hidup. Tak lagi rapuh menahan bujuk manis yang menyesatkan.

Seandainya,
ada sedikit saja pedulimu tentangku
tolong kabari aku di mana  kini hatimu

Seandainya,
ada sedikit saja rasamu padaku
tolong kabari aku tentang rasamu itu

Kita ini kepingan puzzle
yang berserak tanpa makna
jika tak disusun bersama
***
Kita ini kepingan puzzle
Meskipun berbeda namun tetap indah
jika kita tersusun bersama


Jika kata telah kehilangan makna
tak ada lagi yang kubisa
kecuali hanya
diam
membisu
dan beku
1302193232480743344

Deretan cemara,
udara sejuk,
alunan musik sunda,
suara alam
(ada gadis menari di ujung sana)
*
Kabut redup perlahan menggelayut
Dingin menelusup tubuh
(gadis  tepekur di sudut senja)
*
Kucium aroma asmara di sana
asmara penuh makna tiada tara
untaian puisi terukir mendesah jiwa
Adakah ia untukku?
Hanya asa
13056487981270420000



Kulitmu memang tak  sehalus sutera
Keriput tlah menyapamu di mana-mana
Gurat lelah di wajahmu tak dapat lagi engkau sembunyikan

Tubuhmu memang tak lagi tegak berdiri
Beratnya hidup  t’lah kenyang engkau lewati
Hidupmu penat membuatmu tak  kuasa lagi berdiri tegak menentang hari



Kupikir aku memang berjodoh dengannya. Hari itu kami bertemu di depan sebuah mal. Dia memakai baju merah bata, aku pun memakai baju dengan warna yang sama. Dia tersenyum padaku. Aku pun menganggukkan kepalaku padanya dengan mengulaskan sebuah senyum manis.

Di waktu lain, kami tiba-tiba bertemu. Kali ini di sebuah kafe. Kafe sepi yang terletak di ujung kota kami. Dia sendiri, aku sendiri pula. Dia memakai baju biru, aku pun demikian. Kali ini dia menghampiriku. Diulurkan tangannya padaku sambil menyebut namanya, “Reza.”

Ratna termenung di depan kaca  riasnya. Rambutnya masih terlihat acak-acakan. Raut mukanya tercenung serasa ada beban berat yang dipikirkan. Gelisah kelihatannya. Melihat Ratna gelisah seperti itu, Arman mendekati istrinya.

“Kenapa, Mah?”
Ratna menengok. “Ah, nggak ada apa-apa, Mas. Sudah dari tadi di sini?” sahutnya terkejut.
“Baru saja. Dan kulihat Mamah sedang asyik memandangi wajah Mamah di cermin. Masih cantik, kok.”
Ratna tersipu-sipu.  ”Ah, Mas bisa saja.”


Yang kutahu tentangmu adalah seorang lelaki dengan tatapan mata setajam elang. Kelam dan penuh kharisma. Tak pernah aku bisa mengelak dari tatapanmu jika hendakmu menatapku dengan penuh cinta dan gairah. Lelaki tampan dan tegap, berdada bidang yang kucintai dengan segenap hatiku, tempatku menumpahkan segala kesahku di kala gundah. Tempatku menyandarkan kepala di bahumu ketika raga ini terasa letih karena dilema yang menimpaku.



Surti masih duduk di dalam bus jurusan Jogja-Semarang. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Sesekali dihelanya nafas berat. Sungguh terasa beban berat menggayuti benaknya. Bukan beban ekonomi. Ia sudah terbiasa hidup dalam kesusahan. Kekurangan uang sudah menjadi hal biasa baginya.
Ia hanya tak kuasa mengingat dan menanggung beban perasaan yang baru saja dialaminya. Sungguh berat baginya menerima perlakukan kakaknya hari ini. Satu-satunya kakaknya, satu-satunya keluarganya yang masih tersisa.
Pagi tadi, pagi-pagi sekali ia berangkat ke Jogja untuk menemui kakaknya. Ia akan meminjam uang pada kakaknya. Sebenarnya ia tak hendak meminjam uang  kepada kakaknya, tapi ia butuh uang. Mungkin ia bisa menjaminkan tanah peninggalan kedua orang tuanya yang terletak di samping rumah warisan yang kini ditempati kakaknya. Pikirnya, kakaknya pasti mau.




Zoom in
Sebuah sudut di tengah kota, di emperan pasar terbesar di Karesidenan X

Subuh merangkum bumi. Gelap setengah temaram. Di sisi jalan gelandangan membungkus raga kumalnya dengan secarik sarung  yang keriting.  Harusnya dingin. Tapi secepat angin membawa nyala api, secepat itu pula panas meruap menyentuh kulitnya. Kebakaran!
Ia pun lari tunggang langgang, berteriak teriak. Sekejap, penduduk berdatangan. Tak memedulikan kantuk yang masih menggayut, mereka datang dengan ember berisi air, karung berisi pasir, dan apa pun yang bisa mereka gunakan untuk memadamkan api.
Pemilik kios datang dengan tergopoh gopoh.
“Kenapa?  Ada apa?  Sepuluh tahun kami di sini aman-aman saja.”
Siang tak begitu terik. Suasana sekolah tak seberapa ramai karena jam istirahat baru saja selesai. Angin sepoi yang menyentuh sudut kerudungku tak bisa menepiskan gerah di hati ini.  Beberapa lembar foto gadis berpakaian seronok ada di atas meja kerjaku. Foto gadis yang sama dengan gadis muda yang sekarang tengah duduk di depanku.

Dia menunduk ketika kuperlihatkan foto itu. Rupanya ia tak bisa lagi mengelak tuduhan teman-temannya yang mengatakan bahwa ia menjual dirinya untuk mendapatkan segenggam uang, untuk memperoleh gadged mahal, aksesori cantik,  tas bagus, sepatu keren dan tentunya uang saku yang lebih banyak ketimbang teman sebayanya. Pelan, kuambil nafas panjang. Tahan emosi, batinku. Ini anak orang. Tugasku untuk mendidiknya, bukan memarahinya.

Sudah menjadi kebiasaan Purnami untuk mengikuti upacara peringatan Kemerdekaan Republik tercinta ini setiap tanggal 17 Agustus di lapangan desa. Lapangan desa yang letaknya sekira satu kilometer dari tempat tinggalnya. Bukan sebagai peserta di tengah lapangan, bukan juga sebagai undangan. Dia hanya mengikuti upacara itu dari tepi lapangan, di sisi jalan bersama penduduk yang lain. Namun, jangan ditanya bagaimana khidmatnya ia mengikuti jalannya upacara itu. Mungkin khidmatnya Purnami justru melebihi para peserta upacara yang ada di lapangan itu. Setiap Sang Saka Merah Putih dikibarkan, ia akan berdiri tegak dan menghormat bendera, tak peduli teman-temannya menertawakannya.

Siapa Purnami? Tentu ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang perempuan, janda penjual nasi berusia 35 tahun dan memiliki seorang anak yang bernama Guntur. Tentu juga bukan siapa-siapa. Kalau dia siapa-siapa pasti jadi tamu undangan dan duduk di panggung kehormatan. Tapi Mbah Joyo, kakeknya dulu seorang pejuang dan ia mewarisi semangat juang yang setiap hari digembar-gemborkan oleh kakeknya semasa hidupnya.
Telepon dari Nah siang ini benar-benar mengagetkanku. “Mbah Ti baru saja pulang, Bu… Naik bus, katanya. Sudah saya tahan, tetapi tak tetap tak mau nunggu Ibu dulu.”

Mbah Ti, sebutan kami untuk ibuku, baru 2 hari mengunjungi rumah kami. Belum sempat bercengkerama panjang lebar, karena datangnya pas di hari Senin. Hari supersibuk dalam kehidupan kami. Biasanya, setiap kali berkunjung, paling tidak seminggu atau dua minggu di rumah. Setelah itu, beliau akan pulang ke rumah atau ke tempat kakak yang lain. Sejak ayahku meninggal, memang ibu tak selalu berada di rumah induk, rumah tempat kami dibesarkan dulu.

Kalau baru 2 hari Ibu sudah memutuskan untuk pulang, berarti ada hal tak mengenakkan yang terjadi. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Tapi kenapa? Perasaan, kemarin tak ada masalah sama sekali. Sepulang kantor, kami bicara baik-baik. Meskipun tak lama, kami sempat bercerita tentang kampung halaman, bercerita tentang keadaan keluarga dan tetangga di sana. Tak ada yang salah. Kalau rumah agak sepi, ini memang karena Mas Anto, suamiku, sedang dinas di luar kota. Nina, anak sulungku, sedang kemah bersama teman-teman sekolahnya dalam rangka mengisi liburan semester dan Andre, adiknya, sedang sibuk menghadapi lomba pelajar teladan tingkat nasional. Setiap pagi ia harus ke rumah gurunya untuk digembleng di sana.
Malam hari telah menjelang. Senja yang jingga telah berganti dengan kelamnya malam. Setelah melewati perjalanan yang panjang seharian mengedarai Mercy kesayangannya, sampailah Harun di tempat yang ia tuju. Sebuah tempat kumuh di tepi tempat pembuangan akhir sampah. Di tempat itu sudah didirikan bangunan semi permanen untuk menampung keluarga yang tinggal di sana. Pemerintah di kota itu memang telah merestui pendirian bangunan untuk para pemulung itu, agar hidup mereka sedikit lebih layak daripada hanya tidur bergulung dalam rumah kardus atau emper-emper toko. Toh mereka juga berjasa untuk membersihkan sebagian sampah penduduk yang tiap hari semakin menumpuk itu.

Harun mendekati sebuah rumah petak di sana. Dilihatnya seorang anak kecil sedang duduk di depan tungku yang berada di dalam satu-satunya ruangan di rumah itu. Sebuah ketel hitam kena arang bertengger di atas tungku arang itu. Sang ibu, tampak sibuk merajang bahan masakan yang hendak dibuatnya untuk si anak. Keduanya sama-sama kumal. Kulit mereka hitam terpanggang matahari.

“Masih lama, Mak? Udin lapar, nih,” rintih si anak.

“Sebentar, Din. Emak juga lapar, kamu cobalah tidur sana, nanti kalau sudah matang emak bangunkan kamu.”

Harun miris melihat pemandangan itu. Segera dialihkannya pandangannya ke tempat lain. Sebuah rumah petak di sisi kiri rumah si Udin. Agak rapi, sedikit lebih bersih daripada rumah Udin yang benar-benar kumuh.
Malam belum lagi larut. Desau daun bambu di musim kemarau terasa menyayat hati. Aku duduk sendiri di ruang depan rumah kecilku sambil melipat pakaian yang kering terjemur tadi siang. Sepi. Seisi rumah sudah tidur kecuali aku. Di bilik sebelah, emak kulihat sedang ngeloni Sari, anakku. Sudah menjadi kebiasaan Sari untuk tidur bersama emak jika kebetulan emak sedang menginap di rumah.

Ah, emak. Ia sudah semakin tua sekarang. Sudah mencapai 70 tahun. Raganya tak sekuat dulu, tubuhnya telah nampak letih, rambutnya sudah dipenuhi uban, tetapi sorot matanya tetap memancarkan kasih sayang dan kedamaian.

Kemarin siang emak datang. Ini memang sudah kami rencanakan sejak dulu. Emak datang ke tempatku, dan dua hari lagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis kandungan untuk memasang cincin di rahimnya. Ya, sejak dua tahun lalu, emak memang mengalami turun rahim. Jaringan penyangga rahimnya sudah sedemikian rapuh sehingga tak kuat lagi menyangga rumah tempatku bersemayam selama sembilan bulan dulu. Rumah hangat yang membuatku enggan keluar sehingga aku menangis menjerit-jerit ketika dipaksa keluar dari rahim emakku dan dipaksa menikmati kerasnya dunia yang hingga kini masih kurasakan sejak lebih dari tiga puluh tahun kelahiranku.