Rinai datang petang ini,
memberikan kecupan basahnya kepada bumi.

Bumi pun menyambutnya dengan mesra,
ia uapkan aroma tanah nan membius dari tubuhnya.

Wahyu
Melihatnya lagi di usia mendekati senja, bukanlah kehendakku. Setelah sekian lama bertugas ke Nusa Tenggara Timur untuk melupakan luka hatiku, tiba-tiba saja aku harus pulang karena satu alasan: daerah rawan konflik. Ya, di sana memang sering terjadi pertentangan antaretnis ataupun antaragama. Dan aku diperbolehkan atau mungkin tepatnya dipaksa pulang ke Jawa.

Di Jawa, aku bertugas di sebuah SMP. Entah mengapa, akhirnya aku menjadi orang kepercayaan kepala sekolahku. Akhirnya aku pun disuruh maju sebagai guru berprestasi.Menang. Tahun berikutnya, disuruh maju pula untuk ikut tes calon kepala sekolah. Berhasil pula. Dan di sini, kutemui wajahnya lagi.
Masih cantik, namun ada gurat duka di wajahnya. Hidupnya berat, itu yang aku tahu. Jangan ditanya lagi tentang perasaanku. Dialah satu-satunya perempuan yang pernah mengisi hatiku. Meskipun jantungku sudah cukup tua, namun dia bisa berdenyut lebih kencang jika kutengah melihatnya.


Wahyu

Aku pernah mengenalnya di suatu waktu yang lalu. Mahasiswi baru yang lucu. Matanya itu, lho. Menyimpan magnet yang demikian besar untuk selalu ditatap. Dan ia menatapku dengan penuh rasa takut. Ah, tak tega rasanya melihatnya ketakutan. Kuberi sedikit senyum terbaikku. Ospek bukan sarana intimidasi. Aku ingin membuatnya lebih nyaman dengan kampus barunya.

Hari-hari berlalu dengan balutan warna merah muda nan segar. Ceria rasanya. Setiap bertemu kami akan terlibat obrolan ringan dan panjang. Tak ada henti, gadis itu selalu enak untuk diajak bicara. Nyambung. Selalu kukagumi, alangkah cerdasnya ia. Lalu lahirlah proklamasi hubungan kami: pacaran sehat.


Santi
“Ha? Kepala Sekolah baru? Mendadak sekali?Pak Bardi dipindah ke mana?” tanyaku beruntun kepada Bu Neny ketika dia menceritakan ada kepala sekolah baru lewat telepon pagi ini. Aku memang sedang tak berada di sekolah karena mendapat tugas diklat selama 4 hari di LPMP.

“Panjang ceritanya,” jawab Bu Neny dari seberang sana. “Yang jelas, Kepala kita yang baru masih muda, lho. Paling sekitar 2-3 tahunan di atasmu.”


Anak laki-laki tanggung itu berdiri di hadapanku.  Anak yang cakap. Tampan sekali. Kulitnya  bersih. Rambutnya hitam ikal. Hidungnya mancung, bibirnya merah alami. Namun, sorot matanya sayu. Wajahnya menunduk. Kedua tangannya terkulai jatuh. Matanya berkaca-kaca.

Aku hanya diam memandangnya. Qoyyum namanya. Nama yang bagus, diambil dari asma’ul husna. Namun, baru saja ia kumarahi karena alasan yang keterlaluan: menempeleng adik kelasnya sampai berdarah-darah. Ini sekolah, bukan tempat tawuran. Dan aku tak bisa memaklumi hal ini.

Nadia duduk di beranda rumah sambil melihat kedua anaknya bermain di halaman. Senang benar hatinya melihat kedua buah hatinya rukun bermain. Nina, yang besar, sudah bisa momong adiknya. Ia hanya tinggal mengawasi saja. Ah, anak itu sudah banyak berubah. Dulu ia rewel sekali, tapi sekarang sudah agak mandiri.

Namun, tiba-tiba ia mendengar teriakan Nina. “Adik, gimana, sih. Susah banget diomongin. Mau pakai cara kasar atau halus?”

Sore yang penat, matahari sudah hendak masuk ke peraduan. Layung-layung jingga menghias kaki langit di ufuk barat. Indah tetapi mengandung misteri, begitu selalu pikirku tentang senja. Entahlah, aku tak suka senja. Kata simbah, ada candikala di kala senja.Namun, melihat senja dari teras rumah selalu menjadi ritual kesukaanku menjelang malam, sembari melepas penat setelah lelah bekerja seharian. Itu kalau aku bisa pulang sebelum magrib. Kalau tidak, berarti aku masih di kantor berkutat menyelesaikan pekerjaanku.

Biasanya, aku duduk di teras rumah sambil menikmati majalah yang belum sempat kubaca. Tentu, dengan teman secangkir teh dan camilan. Kue sagon. Kue tradisional yang berasa dari ketan, gula, dan kelapa ini menjadi jajanan favortiku sejak kecil. Nenek sering membuatkanku dulu. Sekarang, sejak nenek tak ada, aku selalu memesannya dari tetangga nenek, yang dulu sering membantu nenek membuat sagon.

13020196861702805975
by google
Lara tertidur dengan air mata mengering di pipinya. Baru saja ia dimarahi mamanya karena tak mau menggosok giginya dulu sebelum tidur. Menggosok gigi sebelum tidur? Ah, bikin ngantuknya hilang saja. Padahal kalau kantuknya telah hilang, ia akan susah tidur.
Namun, mamanya selalu memaksa gadis kecil yang duduk di kelas 2 ini untuk sikat gigi. Biar nggak berlubang, kata Mama. Dan hari ini ia menolaknya mentah mentah. Ah, malas. Mamanya marah dan ia pun ngambeg. Masuk kamar, lalu mengunci pintu. Tertidurlah ia dengan air mata mengering di pipinya.

Dalam tidurnya, ia mimpi bertemu seseorang. Ah, bukan seseorang. Sesuatu. Sebuah gigi, seperti gigi yang ia punya. Kok hanya sebuah? Ya, memang. Gigi ini ternyata memiliki  sepasang kaki, tangan, mata, telinga, hidung satu, dan mulut yang juga satu.


1305991911844100287
dari google
Sepi. Hujan di luar belum lagi deras. Namun, kabut tipis yang menebarkan aroma galau tampak terasa di hati Ilham. Galau hatinya terbawa gerimis yang turun setitik demi setitik. Kegelisahan merejam hatinya di ujung penantiannya. Ya, penantiannya atas sebuah kabar.
Tak pernah begini. Biasanya sms-nya selalu berbalas. YM-nya selalu bersambut. Facebooknya selalu berjawab. Kalau bukan ia yang menghubungi, pasti gadisnya yang akan menyapanya terlebih dahulu. Sekadar say hai, sekadar mengingatkan makan siang, atau justru sekadar laporan peristiwa apa yang sedang dilakukannya. Di mana dia?

Seingatnya, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya untuk menyakiti gadis itu. Ya, Moza terlalu baik untuk disakiti. Dia selalu menerima Ilham dengan segala kelapangan dadanya. Memberinya perhatian berlebih, atau hanya sekadar senyum hangat pembangkit semangat.

Dikenalnya gadis itu suatu masa yang lalu, di sebuah tempat beraroma kabut. Baginya, menikmati kabut, menciumnya dalam putih yang gelap merupakan suatu hal yang sangat menggairahkan. Dan ia menemukan kesukaan yang sama dari gadis itu. Mereka menikmati putihnya kabut dalam nuansa cinta yang tak terpahami.