Bab 4
Musim Panen
Kopi
Perkebunan kopi itu
membentang di lereng hingga kaki gunung
Wayang, membentang sejauh mata memandang, dari barat sampai ke timur. Dan,
hebatnya perkebunan itu bukan milik Perhutani melainkan milik pribadi.
Sebenarnya perkebunan kopi itu awalnya merupakan tanah milik banyak orang,
namun entah mengapa, sang pemilik tanah satu per satu menjual tanah itu kepada
Pak Husin, seorang tuan tanah dari kota kabupaten. Oleh sang pemilik baru,
semua lahan yang dibelinya dijadikan sebagai perkebunan kopi.
Selain perkebunan kopi,
Pak Husin juga mendirikan pabrik pengolahan biji kopi. Pabrik ini didirikan di
ujung desa, dekat jalan besar. Di area pabrik terdapat gudang-gudang
penyimpanan kopi yang akan diolah.
Sebagian besar masyarakat desa Sumberwayang menggantungkan nafkahnya
dengan bekerja di perkebunan dan pabrik kopi. Mereka berpendapat, dengan
bekerja di perkebunan, mereka akan mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan.
Menurut mereka, hal ini lebih aman
karena hasil sawah yang hanya sepetak tak mampu diandalkan hasilnya.
Terkadang hama yang menyerang dan harga panen yang merosot membuat mereka terus
merugi. Banyak orang yang tak berjiwa merdeka sehingga mereka lebih memilih
menjadi pegawai karena lebih aman dari segi penghasilan. Artinya, mereka bisa
mendapatkan penghasilan bulanan. Kalau mereka mengolah sendiri lahannya,
hasilnya tidak bisa dipastikan. Bisa banyak jika panen berhasil dan sangat
sedikit bahkan merugi jika panen gagal.
Untunglah, pemilik
perkebunan itu orang yang dermawan. Meskipun tak setiap hari melongok
perkebunannya, hak karyawan selalu diperhatikan. Upah yang melebih UMK,
asuransi kerja, dan juga tunjangan hari raya selalu mereka dapatkan.
Ketika musim panen kopi
tiba, perkebunan itu memerlukan tenaga tambahan untuk memanennya. Saat-saat
inilah yang paling ditunggu oleh warga karena orang-orang yang selama ini tak
bekerja di perkebunan bisa ikut meraih rejeki dengan menjadi buruh panen. Upah
mereka dihitung berdasarkan jumlah kopi yang berhasil mereka panen. Mutiara tak
tahu persis berapa mereka dibayar, namun jumlah yang sesuai membuat orang-orang
itu cukup merasa berterima kasih sehingga tak ada seorang pun yang berniat
mencuri hasil panen kopi itu.
Selain itu, setelah
kopi usai dipanen, penduduk bisa menjadi buruh gorek. Gorek adalah memunguti
kopi-kopi yang terjatuh di tanah usai panen. Biji-biji kopi ini memang harus
dipunguti agar tak tumbuh menjadi tanaman baru. Jika sampai tumbuh menjadi
tanaman baru, ia akan mengganggu pertumbuhan pohon-pohon kopi yang lama. Selain
memunguti biji kopi yang jatuh ke tanah, para buruh gorek juga bisa mengambil
kopi yang masih tertinggal di dahan karena pada saat panen yang lalu kopi itu
masih terlalu muda sehingga belum layak dipanen. Buruh gorek akan mendapatkan
upah separuh dari hasil gorekannya. Jika suka kopi, maka ia akan membawa kopi itu untuk
dibuat serbuk kopi di rumah. Namun, ada juga yang langsung menjualnya ke pabrik
sehingga ia akan mendapatkan upah berupa uang.
Ketika Mutiara kecil
dulu, ia sering menemani Mak Yem menjadi buruh gorek di perkebunan. Bu Wirya
memang membebaskan Mak Yem untuk mengambil pekerjaan sampingan asalkan tugas di
rumah sudah selesai. Jika ia ikut Mak Yem, maka ia akan membantu Mak Yem memunguti
kopi-kopi itu. Saat lelah, ia akan bermain-main di bawah pohon kopi bersama
teman-temannya yang juga membantu orang tua mereka buruh gorek. Jika lelah
bermain di bawah, maka ia akan memanjat dahan-dahan yang rendah, lalu duduk di
dahan itu dan membayangkan sebuah rumah pohon yang nyaman untuk ditinggali. Ia
tak peduli pada semut yang terkadang menggigiti kulit lembutnya atau nyamuk
kebun yang gigitannya sampai menembus roknya.
Usai gorek, biasanya
Mak Yem lalu membawa hasil gorekan mereka ke gudang pabrik. Di sana, hasil
gorekannya ditimbang, lalu separuhnya menjadi milik Mak Yem. Biasanya Mak Yem
memilih menukarkan hasil gorekannya dengan uang karena ia memang tak butuh
kopi. Toh, kebutuhan kopinya sudah dipenuhi oleh Bu Wirya.
Setiap kali selesai
menerima uang, Mak Yem lalu tersenyum kepada Mutiara kecil yang kelelahan
sambil berkata,”Beli es dawet, yuk, Ra.”
“Es dawet, Mak? Ayo.
Memangnya dapat berapa hari ini?”
“Lumayanlah. Bisa buat
jajan kita.”
Mereka pun kemudian
menuju warung kecil yang terletak di tepi jalan berseberangan dengan gudang
kopi.
“Gudangnya besar
sekali, ya Mak. Halamannya saja seluas itu.”
“Ya luaslah. Kan buat
menjemur kopi-kopi itu biar kering. Baru diolah.”
Mutiara tahu, untuk
membuat bubuk kopi, biji kopi yang baru dipetik itu harus dijemur terlebih
dulu. Pak Wirya juga punya kebun kopi, tetapi hanya sedikit. Itu pun bukan
kebun khusus tanaman kopi seperti di sini, melainkan kebun heterogen yang
ditanami berbagai macam tanaman, termasuk kopi dan cengkih. Itulah sebabnya,
hasilnya tak pernah dijual tetapi cukup dijadikan konsumsi sehari-hari saja.
“Habiskan es dawetnya.
Mau bakso?”
“Bakso tahu? Tapi aku
kenyang, Mak.”
“Ayolah, daripada
menyesal. Mumpung di sini.”
“Gak usahlah, Mak. Mak
Yem aja. Besok saja kalau ikut lagi.”
“Yakin tak mau bakso?”
Mutiara mengangguk. Ia
asyik menikmati es dawetnya yang sebetulnya tak terasa dingin esnya. Karena
waktu itu belum ada listrik, maka sang pemilik warung harus membelinya di pasar
Gembong yang lumayan jauh. Jadi, meskipun harga es batu tak mahal, agar semua
yang ingin menikmati es bisa terlayani, ya potongan es batu yang dimasukkan
hanya sedikit. Bahkan kadang tinggal bulatan kecil saja, jika santan yang
digunakan belum cukup dingin.
Sambil menikmati es
dawetnya, Mutiara kecil memandangi sekitar pabrik. Ada banyak gudang di sana.
Ketika ia kecil tak hanya gudang kopi, tetapi juga gudang cengkih. Namun,
sekarang cengkih tak lagi semahal emas sehingga sang pemilik perkebunan memilih
kopi saja untuk dibudidayakan. Gudang cengkih itu dibiarkan begitu saja setelah
sekian puluh tahun menjadi pusat penyimpanan tanaman yang pernah menjadi primadona
itu.
Agak jauh dari
gudang-gudang itu, terdapat sebuah istana kecil. Mutiara menyebutnya sebagai
istana karena keadaannya sungguh jauh berbeda dengan rumah-rumah penduduk di
sekitarnya. Rumah dua lantai itu sungguh besar dan indah. Halamannya yang luas
dipenuhi dengan bunga-bunga beraneka warna, termasuk bunga mawar kesukaan
Mutiara. Di halaman sampingnya terdapat kebun binatang mini. Di belakang rumah
terdapat kolam renang dan gazebo tempat bersantai. Sungguh, Mutiara selalu
merasa kagum melihat rumah itu. Sayang, rumah itu jarang ditempati oleh yang
empunya rumah karena mereka tinggal di kota. Sekali waktu, Mutiara kecil pernah
melihat anak lelaki kecil yang hampir seumuran dengannya tengah bermain di
halaman rumah itu. Mungkin anak pemilik perkebunan, begitu pikir Mutiara ketika
itu.
Jika musim panen tiba,
sekolah tempat Mutiara mengajar bisa dipastikan hampir kosong. Semua anak ikut
buruh gorek untuk memperoleh tambahan uang saku. Seperti hari ini, ketika ia
memasuki kelas IX A, hanya tujuh anak tersisa yang masuk. Tiga belas lainnya
ikut buruh gorek. Hanya anak-anak dari
golongan keluarga mampu saja yang tidak memaksa anaknya untuk ikut buruh
gorek. Kejadian ini bisa berlangsung
selama tiga hari sampai seminggu berturut-turut dan Mutiara tak tahu harus
berbuat apa untuk mengatasinya.
Hendak dilarang,
rasanya percuma. Yang ia takutkan justru anak-anak itu dilarang bersekolah oleh
orang tuanya. Kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya memang masih
sangat rendah. Oleh karena itu, ia hanya mengingatkan anak-anak itu agar tetap
tak melupakan pelajaran sekolahnya, agar mereka tetap mengerjakan tugas tugas
mereka sebagai seorang siswa.
0 komentar:
Posting Komentar