Bab 2
Aroma Kopi dalam Balutan Hujan
Gerimis sore ini
mengundang kabut. Mutiara mengatakannya udan
salah mangsa karena hujan itu jatuh ketika Juli belum lagi selesai. Ini
masih pertengahan kemarau. Namun, Mutiara selalu senang menikmati hujan, kapan
pun hujan itu menjatuhkan dirinya. Apalagi setelah panas seharian, ia akan
membaui aroma tanah yang menguap bersama turunnya titik-titik air itu. Aroma
khas yang membuat ia selalu merindukan hujan.
Mutiara berdiri di
depan jendela kamarnya yang terbuka. Kabut sudah mulai turun seiring dengan
gerimis. Aromanya menyentuh penciuman Mutiara. Selain aroma tanah yang menguap,
ia memang senang sekali membaui aroma kabut. Selalu saja ada nuansa masa lalu
yang kembali menyentuh imajinya dalam kabut itu. Angin yang datang perlahan
menyentuh tirai angin berbentuk bintang-bintang menghadirkan dentingan yang
terasa sungguh merdu di telinga Mutiara.
Rumah ini begitu sepi.
Hanya Mutiara bertiga dengan Mak Yem dan Bu Wiryo di rumah yang cukup besar ini.
Mak Yem, pembantu tua yang sudah seperti saudara itu telah bekerja sejak
Mutiara belum lahir. Ia mencintai Mutiara seperti anaknya sendiri. Tak hanya
karena ia tahu semua sejarah hidup Mutiara sehingga ia sangat sayang
kepada gadis itu, tetapi juga karena
perilaku Mutiara yang lembut dan selalu menghormatinya.
Pak Wiryo meninggal
dunia ketika Mutiara baru saja menuntaskan kuliahnya. Sebelum meninggal, lelaki
baik hati itu meminta Mutiara untuk melanjutkan perjuangannya membesarkan SMP
Bakti Bangsa. Selain itu, beliau juga berpesan agar Mutiara menjaga ibu dan
adiknya. Karena amanat itulah, Mutiara enggan beranjak dari desanya, meskipun
Irfan telah menantinya dengan ajakan untuk menikah. Baginya, amanat adalah
kewajiban yang harus ia tunaikan, pantang surut sebelum amanat itu terlaksana.
“Kopi, Ndhuk…,” kata
Mak Yem sekonyong-konyong dari belakang.
Mutiara menoleh pada
perempuan tua yang masuk ke kamarnya, lalu tersenyum padanya.
“Terimakasih, Mak,”
katanya.
“Sepi sekali, ya
Ndhuk,” kata Mak Yem serupa sebuah keluhan.
“Iya, Mak. Bagaimana
lagi, semua tiba-tiba pergi dari rumah ini. Pertama emak, lalu Bapak. Sekarang
Berlian,” kata Mutiara.
“Coba kalau Berlian tak
ngotot ke Jakarta, ya…,” kata Mak Yem menggantung.
“Lha, bagaimana lagi,
Mak. Anaknya sendiri yang mau. Anak itu kalau sudah punya keinginan tak dapat
lagi ditawar, Mak,” kata Mutiara lagi.
Mak Yem mengangguk. Ia
tahu benar karakter Berlian. Dibandingkan dengan Mutiara, karakter mereka
ibarat bumi dengan langit. Anak manja itu mungkin terlalu dimanja oleh ibunya
sehingga menjadi anak yang keras kepala. Namun, itu pula yang tak dimengerti
Mak Yem. Ia tak mengerti mengapa Berlian nekad ke Jakarta yang sedemikian jauh
dari tempat tinggal ibunya, orang tua
satu-satunya yang masih hidup. Padahal, selama ini ia hanyalah anak manja yang
jauh dari sifat mandiri.
“Pokoknya aku mau kerja
di Jakarta. Titik,” kata Berlian, beberapa hari setelah ia menerima ijazah
sarjananya.
“Ke Jakarta?” tanya Bu
Wiryo. “Jakarta itu sangat jauh, Li.”
“Tapi aku mau ke sana,
Bu. Bosan di gunung terus.”
“Carilah kerja di kota,
tapi jangan di Jakarta. Semarang bisa, kan?”
“Ah, bosan di Semarang.
Kuliah lima tahun di Semarang terus. Nggak, ah. Pokoknya Jakarta.”
“Li,” sela Mutiara.
“Kamu sanggup jauh dengan Ibu? Kamu tega dengan Ibu?”
“Ya, kan ada kamu, Ra.
Aku tahu, kamu akan menjaga Ibu baik-baik.”
“Iya, aku akan jaga
Ibu. Pasti itu. Tapi kerinduan Ibu terhadapmu pasti tak dapat digantikan oleh
siapa pun. Jakarta jauh, Li. Kota metropolitan. Semuanya individualistis. Beda dengan
Semarang.”
“Paling cuma sedikit
bedanya.”
“Kamu sanggup hidup
sendirian di sana? Kamu sudah punya tempat yang dituju?”
Berlian menggeleng.
“Kak Irfan bisa membantu, nggak Ra?”
“Kak Irfan?”
“Iya. Kan dia kerja di
Jakarta. Kamu tunangannya pasti bisa memaksanya untuk mencarikan aku
pekerjaan.”
“Tanya dulu sama Ibu,
Ibu ikhlas nggak melepasmu ke Jakarta?”
Berlian menoleh pada Bu
Wirya, lalu memeluk ibunya yang duduk di sampingnya. Dasar anak manja, batin
Mutiara.
“Gimana, Bu? Boleh, ya…
Nanti tiap bulan aku akan pulang, deh. Jadi Ibu tak akan lama-lama berpisah dengan
aku. Nanti, kalau kerjaanku sudah mapan, aku akan sewa rumah, jadi Ibu bisa
nginap lama di Jakarta. Masakin aku kalau aku kerja,” kata Mutiara sambil
mengajuk kepada ibunya.
Bu Wirya diam. “Boleh,
ya Bu…”
“Kalau Irfan memang
bisa mencarikanmu tempat yang baik, bolehlah,” kata Bu Wirya pada akhirnya.
“Bisa, Ra?” tanya Bu Wirya kemudian kepada Mutiara.
“Akan saya coba, Bu.
Nanti biar saya menghubungi Kak Irfan.”
“Makasih, Bu, makasih,
Ra,” kata Berlian kegirangan. Hanya dia yang tahu tujuannya bekerja di Jakarta.
Hanya dia, bahkan Mutiara pun tak pernah menduga apa yang tersembunyi di balik
pemikiran adiknya itu.
Malam harinya, Mutiara
menelepon Irfan. Sengaja ia memilih waktu malam hari karena ia tahu, kekasihnya
itu baru akan di rumah ketika malam hari tiba. Selebihnya di kantor, itu pun
kalau tak sedang lembur.
“Halo, Sayang,” kata
suara di seberang dengan riang. “Tumben menelepon. Pasti ada maunya.”
Mutiara tertawa. “Ah,
Kak Irfan bisa saja.”
“Iya, kan biasanya aku
yang telepon. Memangnya kamu tak pernah kangen, ya.”
“Ya kangen, sih, tapi
bagaimana lagi? Aku nggak mau mengganggu pekerjaan Kak Irfan. Kan orang
penting.”
Irfan tertawa dari
seberang sana. “Orang penting apaan? Cuma staf biasa, kok.”
“Yah, dibandingkan
dengan aku yang cuma seorang guru di desa.”
“Makanya, menikahlah
denganku sekarang. Kamu akan jadi guru kota metropolitan.”
“Sabar, ya Kak. Nanti
kalau aku selesai prajabatan, deh. Tapi ya tetap saja sementara waktu kita berjauhan.”
“Yah, apa boleh buat,
deh, Ra. Risiko punya tunangan idealis,” sahut Irfan.
“Jadi Kak Irfan
keberatan dengan keputusanku?”
“Enggak, Sayaaanng… Aku
ikhlas lahir batin. Tapi, kalau aku tergoda cewek Jakarta, kamu jangan nangis,
ya….”
“Ah, Kak Irfan bikin
hatiku ketar-ketir saja….”
Irfan tertawa di ujung
sana. “Kalau ada niat selingkuh sih, sudah dari sejak dulu kulakukan, Ra.
Sayangnya, cintamu telanjur membuatku terikat,” sahut Irfan.
“Oh, ya Kak, aku mau
minta tolong nih,” kata Mutiara menuju sasaran.
“Minta tolong apa?
Ngajak muter-muter Monas? Oke, siap sedia, Tuan Putri.”
“Ah, bukan itu. Ini
serius.”
“Oke, oke, aku
dengarkan. Kalau bisa pasti akan aku bantu.”
“Begini, Kak. Berlian
kan baru lulus. Dia minta kerja di Jakarta.”
“Benarkah? Anak manja
itu?”
“Iya, aku juga heran.
Tapi dia maksa terus. Oleh karena itu…”
“Oleh karena itu?”
Mutiara tertawa. Irfan
pasti sudah tahu ke mana arah pembicaraannya.
“Bisa kan, Kak?”
“Bisa apa?”
“Bantu Berlian.”
“Untuk?”
“Carikan kerjaan.”
“Lalu?”
“Carikan tempat
tinggal.”
“Terus?”
“Jaga dia.”
“Habis itu?”
“Sudah.”
“Nggak carikan pacar
sekalian?”
Mutiara tertawa lagi.
“Kalau bisa.”
“Cukup itu saja?”
“Cukup, Kak. Kak Irfan
tak repot, kan?”
“Untukmu, aku lakukan,
Say.”
“Makasih, ya Kak.”
“Aku kangen.”
“Tiara juga. Tapi Kak
Irfan sabar dulu, ya.”
“Sabar itu ada
batasnya, Ra.”
“Sabar itu disayang
Tuhan, Kak.”
“Iya deeeh… kapan
Berlian ke Jakarta?”
“Sebaiknya kapan?”
“Biar kutanya temanku
dulu. Jurusannya apa?”
“Komunikasi.”
“Bagus, deh,
kelihatannya bisa. Besok kuhubungi.”
“Makasih ya, Kak.”
“Aku sayang kamu,
Tiara.”
“Tiara juga, Kak Irfan
Sayang.”
“Beneran?”
“Iya, Kakak. Sudah
dulu, ya. Selamat istirahat.”
“Met istirahat juga
Tiara. Mimpikan aku, ya.”
“Pasti.”
Begitulah. Semuanya
menjadi mudah bagi mereka karena Irfan dengan tangan terbuka bersedia membantu
Berlian mencarikan pekerjaan yang layak dan tempat tinggal yang nyaman. Dan
agaknya, Berlian pun kerasan tinggal di kota metropolitan itu. Ia hanya pulang
ketika lebaran tiba. Itu pun tak lama. Perlahan, Mutiara merasa semakin jauh
dari adiknya itu.
“Gak bikin singkong
bakar, Mak?” tanya Mutiara memecah kesunyian.
“Mau kamu? Kalau mau
besok kuambilkan di kebun.”
“Boleh, Mak. Kita buat
gethuk saja kalau begitu. Ibu pasti suka.”
Mak Yem mengangguk.
Memang, sejak kepergian Berlian, Bu Wirya selalu nampak murung. Tak
kurang-kurang Mutiara mencoba menyenangkannya, tetapi masih saja susah.
Sekarang kerjanya hanya mengurung diri di kamar atau menyibukkan diri di kebun
anggreknya di belakang.
Sedemikian sepinya
keadaan rumah ini, membuat Mutiara selalu merindukan masa-masa kecilnya dulu,
ketika masih ada emak di sini. Emak selalu bisa membuat rumah ini terasa
hangat, meskipun tubuhnya sakit-sakitan. Jika ia bertengkar dengan Berlian,
maka yang dilakukannya bukan memarahi kedua anak itu tetapi mengajak mereka
bermain di dapur. Membuat jajajan dari bahan yang tersedia dan mereka akan
rukun kembali.
Namun, yang paling
disukai Mutiara adalah menggoreng biji kopi untuk dijadikan serbuk. Sebagai
orang yang tinggal di pegunungan, minum kopi merupakan ritual harian yang wajib
dilaksanakan tiap hari. Karena itulah setiap rumah pasti menyediakan bubuk kopi
untuk persediaan sendiri maupun untuk tamu yang datang berkunjung.
Demikian adanya dengan
keluarga Wiryo. Dulu, ketika emak masih hidup, Mutiara senang sekali menemani
emak menggoreng kopi. Jangan membayangkan tentang biji kopi asli seperti yang
di iklan itu. Membuat bubuk kopi di tempat Mutiara adalah menggoreng
butiran-butiran jagung atau beras bersama sedikit biji kopi kering. Butiran
jagung dan biji kopi ini disangrai dalam wajan tanah liat sampai hitam dan
kemudian ditumbuk dalam lumpang batu
sampai halus. Jika dibuat minuman, ampasnya tebal sekali. Apalagi jika bahan
bakunya adalah karag, wah, bisa
sampai setengah gelas sisa seduhannya.
Orang-orang laki-laki
terkadang membaluti rokok kretek mereka dengan ampas kopi ini. Katanya, rasanya
menjadi semakin mantap. Ah, Mutiara masih tak habis mengerti, dari mana enaknya
rokok ini? Sedangkan ia membaui saja seakan tak sanggup. Pusing dan menyesakkan
dada.
Jika Mutiara membantu
emak menumbuk, tak ayal seluruh tubuh bahkan rambutnya jadi beraroma kopi.
Namun, hal inilah yang sungguh dirindukan Mutiara. Apalagi jika emak menggoreng
kopi saat hujan turun dengan derasnya. Mutiara akan membaui sesuatu yang sangat
eksotis: kopi, kabut, hujan, aroma tanah. Ditambah hangatnya singkong bakar
yang dititipkannya pada tungku emak, hemm, sungguh terasa nikmat hangatnya.
Aneh memang, penduduk
di daerah penghasil kopi ini justru tak pernah menikmati kopi murni. Bagi
mereka, kopi murni adalah sebuah kemewahan. Hanya orang-orang tertentu saja
yang bisa menikmati kopi ini. Orang-orang ini adalah mereka yang memiliki kebun
kopi sendiri. Bu Wirya terkadang juga membuat bubuk kopi asli. Namun, bubuk
kopi ini hanya untuk disuguhkan pada tamu-tamu istimewa saja, tamu-tamu yang
menurutnya penting.
Namun, Mutiara sendiri
tidak begitu menyukai kopi asli ini. Bisa-bisa matanya tak terpejam semalam
suntuk jika minum kopi ini. Ia lebih menyukai kopi dari beras dan sedikit biji
kopi karena rasanya lebih lembut. Apalagi jika diminum saat dingin sepulangnya
sekolah, rasanya jauh lebih nikmat ketimbang kopi panas yang membuat lidahnya serasa
hendak mengelupas.
“Ndhuk,” kata Mak Yem.
Mutiara tersentak dari
lamunannya.
“Melamun saja kamu.”
Mutiara tersenyum.
“Saya hanya merindukan masa lalu, Mak. Saya ingat emak,” katanya lirih.
“Sudah… emakmu sudah
bahagia di alam sana. Doakan saja, ya…”
“Ya, Mak. Pasti itu.”
“Sudah hampir magrib.
Tutup jendelanya, gih…”
Mutiara beranjak
melakukan perintah Mak Yem. Disentuhnya ujung jendela untuk mengatupkan kedua
daun jendelanya. Dipandangnya sekilas tirai angin yang bertengger di depannya.
Bintang-bintang itu di tirai angin itu tampak begitu indah. Tiba-tiba ia
merindukan Irfan, sang pemberi tirai angin itu.
“Apa kabarmu, Fan?”
desahnya. Beberapa bulan belakangan ini
komunikasi mereka tak lagi seintens dulu. Kalau biasanya Irfan yang menghubungi
Mutiara, beberapa bulan belakangan justru Mutiara yang menghubungi Irfan terlebih
dulu. Itu pun tak pernah lama karena Irfan selalu beralasan sibuk dengan
pekerjaannya. Apa yang terjadi gerangan?
0 komentar:
Posting Komentar