Minggu pagi nan cerah
di Ceruk. Ceruk, sebuah tempat datar
yang tak begitu luas di pegunungan Wayang, tetapi indah. Tempat itu
biasa digunakan orang-orang untuk bersantai menikmati pemandangan. Seorang
perempuan, berusia 28 tahunan tengah asyik menikmati pagi di sana bersama
seorang bocah kecil. Mungkin setahun usianya. Bocah yang belum begitu tegak
jalannya itu tengah asyik mengejar bolanya yang berlarian ke sana kemari. Tak
ayal, sebentar-sebentar ia jatuh dan si perempuan akan bergegas untuk
membantunya berdiri kembali.
“Pagi yang indah ya,
Bin…,” kata perempuan itu kepada si bocah.
Bocah kecil yang sedari
tadi asyik mengejar bola itu tiba-tiba berhenti dan menguap.
“Ah, kamu, ngantuk aja pekerjaanmu. Sebentar lagi kita cari gethuk, ya,” kata perempuan itu menowel hidung si bocah. Bintang namanya.
“Pondhong, Budhe,” kata si bocah sambil menggapaikan tangannya
kepada sang perempuan. Budhenya, ternyata.
Sang budhe segera membawa
Bintang ke pelukannya. Karena masih ingin menikmati suasana Ceruk, ia pun tetap
berdiri di sana. Angin yang semilir berhembus membelai rambut panjangnya yang
tergerai. Sesekali, anak-anak rambut perempuan itu jatuh ke dahi dan pipinya,
dan dengan segera ia menyibakkannya.
Perempuan itu masih
asyik memandangi lanskap yang begitu memesona di Ceruk, sebuah bagian
tereksotis dari desanya yang berada di lereng gunung. Baginya, menikmati
keindahan alam semesta ini akan menambah kekagumannya kepada Sang Pencipta,
menambah rasa syukur dan taqwanya kepada Tuhan, serta membuatnya menyadari
betapa kecil arti dirinya dibandingkan kebesaran Illahi yang ada di hadapannya
kini.
Di sisi utara, nun jauh
di sana, gunung Wayang tampak menjulang dengan kokohnya. Sudah tak tampak lagi luka-luka
sisa reformasi belasan tahun lalu yang pernah menggerogotinya. Ya, dulu semasa
reformasi, ketika rakyat tengah terjebak euforia kebebasan, gunung itu pernah
hampir habis tumbuhannya, berganti dengan tanaman palawija. Untunglah, terjadi
longsor yang tak merenggut korban jiwa. Dikatakan untung, karena tak ada korban
jiwa dan setelah itu penduduk sadar untuk tak terus menggunduli hutan mereka
dan menanaminya dengan palawija. Mereka pun menanam tanaman keras dan hari ini,
sang gunung tampak menghijau kembali. Indah, aman, dan tetap menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Di lereng gunung yang
kokoh itu terbentang perkebunan kopi yang sangat luas, memanjang dari barat
sampai ke timur, sejauh mata memandang.
Jika musimnya berbunga, aroma semerbaknya sungguh terasa menyegarkan.
Khas aroma kembang kopi. Kebun kopi itu milik seorang pengusaha dari kota,
namun sebagian penduduk desa Sumberwangi menggantungkan kehidupannya dari
bekerja di sana. Sebagian mereka menjadi buruh perawat kebun, sebagian yang
lain bekerja di pabrik pengolahan kopi. Jika sedang tiba musim panen, tenaga
kerja yang terserap lebih banyak lagi. Selain panen pohon, mereka juga
diperbolehkan gorek. Gorek adalah memunguti sisa kopi yang terjatuh di tanah
maupun yang tersisa di atas pohon karena
saat dipanen belum cukup umur. Jika mereka buruh panen, maka semua hasil kopi
disetor pada sang pemilik pabrik dan mereka mendapatkan upah berdasarkan jumlah
kopi yang berhasil dipetik. Namun, jika gorek, upah dihitung separuh dari hasil
gorek. Hasil gorek ini bisa dijual kepada pabrik atau dibawa pulang.
Perempuan itu
mengalihkan pandangannya ke arah timur. Sejauh mata memandang dilihatnya
lembah-lembah yang tampak membiru. Pegunungan kapur tampak memutih nun jauh di
sana. Indah, semua tampak indah. Di bawahnya, terhampar kebun sayur dan bunga
mawar. Namun, yang lebih indah lagi, pagi yang cerah itu dihiasi warna keemasan
yang terpancar dari hangatnya mentari pagi. Hangat menyentuh pipinya yang tadi
dingin. Perlahan pipi itu pun memerah, cantik menawan.
“Tidur, Bin? Lihat nih,
pemandangannya begitu sempurna…,” kata sang budhe kepada keponakannya.
Si bocah tak bereaksi.
Tubuhnya terasa memberat di pelukan perempuan itu. Kepalanya tersandar dan
matanya perlahan-lahan mengatup. Melihat bocah itu tertidur di pelukannya,
perempuan itu segera membopongnya ke bahu. Mungkin ia menyesal tak membawa
selendang untuk ngemban si bocah.
Dari kejauhan, sosoknya nampak seperti siluet ibu yang memeluk anaknya.
“Sempurna,” kata desah
sebuah sosok di balik kanvas, nun agak jauh di rerimbunan perdu mawar.
Perempuan itu, Mutiara
namanya. Ialah awal segala kisah ini,
jauh sejak Bintang belum dilahirkan ibunya ke muka bumi ini.
0 komentar:
Posting Komentar