Bab 5
Murid Baru
“Bu Mutia, dipanggil
Pak Kepala,” kata Mahmudi, TU SMP Bakti Bangsa kepada Mutiara pada jam
istirahat.
“Ada penting apakah,
Mud? Tumben Pak Kepala memanggilku,” sahut Mutiara yang segera beranjak dari
tempat duduknya.
“Kelihatannya ada
murid baru, Bu,” sahut Mahmudi.
“Murid baru? Tengah
tahun pelajaran begini?” kening Mutiara berkerut. Pasti ada yang tak beres,
pikirnya dalam hati.
Ia pun segera bergegas
menuju ruang kepala sekolah dan segera mengetuk pintu sesampainya di sana. Pak
Bustomi segera mempersilakan Mutiara masuk. Mutiara pun segera masuk dan ia
mendapati di ruangan itu telah menunggu seorang pria perlente bersama seorang
anak remaja tanggung berusia 15 tahunan. Mutiara menyapa pria itu dengan
menganggukkan kepalanya dan senyuman. Sang tamu membalasnya dengan hal yang
sama sembari mengulaskan sebuah senyuman yang memperlihatkan sebaris giginya
yang berjajar rapi.
Mutiara segera duduk di
satu-satunya kursi yang masih kosong di ruangan itu.
“Bu Mutia,” kata Pak
Bustomi memulai pembicaraan. “Kenalkan, ini Pak Husin, pemilik perkebunan.”
Mutiara lagi-lagi menganggukkan
kepalanya. O, ini ternyata yang namanya Pak Husin itu. Namanya memang terkenal
seantero desa bahkan kota ini, tetapi ia belum pernah melihat wajahnya sekali
pun. Ia menatap Pak Bustomi bergantian dengan Pak Husin. Ada apa gerangan
maksud orang kaya itu ke sekolahnya?
“Pak Husin hendak
memindahkan putranya bersekolah di sini, Bu Mutia. Kelas IX. Yang masih ganjil
kelas IX B, kan Bu?” lanjut pak Kepala
Sekolah.
“Benar, Pak,” jawab
Mutiara sambil mengangguk, tetapi benaknya mengandung bermacam pertanyaan,
mengapa sampai anak orang kaya itu dipindahkan ke sekolah desa pada saat tahun
pelajaran sudah dimulai? Jangan-jangan, dulu ia berkasus di sekolahnya.
Tanpa menunggu lama, ia
pun melontarkan pertanyaan kepada kedua laki-laki di hadapannya itu. “Maaf,
Pak, tapi ini kan sudah di tengah-tengah tahun pelajaran. Apa nanti tak
merepotkan, mengingat sudah banyak tugas-tugas dan ulangan yang diberikan
kepada anak-anak?” tanya Mutiara hati-hati.
“Ah, itu nanti sambil
jalan, Bu. Taufan pasti mau mengerjakan tugas yang ketinggalan,” sahut Pak
Husin. “Ya, kan, Fan?” lanjutnya kepada anak yang duduk di sampingnya.
Anak yang ditanya tak
menjawab. Anak itu hanya diam saja sambil mempermainkan ujung bajunya. Mutiara
mengamati sejenak anak itu. Anak yang tampan. Badannya kelihatan tinggi tegap,
tak seperti Jazuli yang kurus kerempeng. Kulitnya putih bersih, rambutnya
sedikit ikal. Hanya saja Mutiara tak dapat memandang sorot matanya karena anak
itu menunduk dari tadi.
“Bagaimana, Bu Mutia?”
tanya Pak Bustomi. Kalimatnya memang kalimat pertanyaan, tetapi nadanya seakan
memaksa. Mutiara menyadari hal ini. Sekolah membutuhkan dana yang tak
sedikit. Dengan adanya anak Pak Husin
bersekolah di sini, Pak Bustomi pasti mengharapkan sedikit kucuran dana segar.
“Baiklah, Pak. Nanti
akan saya koordinasikan dengan guru-guru yang lain,” jawab Mutiara akhirnya.
Namun, tak semudah
membalikkan telapak tangan untuk membuat Taufan, anak baru itu, mau melengkapi
tugas-tugas yang diberikan oleh guru-gurunya. Di hari pertama, anak itu sudah
membuat ulah. Warti, sang ketua kelas melaporkan bahwa anak itu tak mau duduk
sebangku dengan Sari, anak yang masih duduk sendirian. Ketika Mutiara masuk ke
kelas, anak laki-laki itu masih saja berdiri tegak di dekat pintu. Wajahnya
menunjukkan raut muka tak senang, tapi ia tak
berkata apa-apa.
“Taufan, kenapa masih
berdiri saja di sini. Bukankah lebih enak kalau duduk?”
Taufan menggeleng.
Mukanya menunjukkan sorot ketaksenangan.
“Kenapa, Fan? Malu
duduk sama anak putri?”
Taufan mengangguk,
masih tanpa kata.
“Baiklah, Ibu carikan
meja dulu, ya.”
Kursi memang telah
tersedia. Tetapi, karena Taufan tak mau duduk dengan Sari, jadilah Mutiara yang
repot mencarikan meja ke sana kemari. Untunglah di gudang masih tersedia sebuah
meja kecil yang agak berdebu. Taufan pun akhirnya duduk manis di pojok, di
belakang Karyono.
Kehadiran Taufan yang
ganteng dan kaya itu membuat suasana kelas sedikit berubah. Anak-anak perempuan
yang selama ini cenderung malu-malu dan pendiam mendadak menjadi banyak
tingkah. Tak sedikit yang berani berdandan agak menor ke sekolah. Sesekali
Mutiara menyindir mereka tetapi ia pun sedikit maklum. Namanya juga remaja yang
baru memasuki masa puber. Pastilah ketertarikan pada lawan jenis menjadi hal
yang sudah wajar. Apalagi jika lawan jenis itu adalah Taufan, anak pemilik
perkebunan kopi yang kaya dan tampan itu.
Lain anak putri, lain pula yang terjadi pada siswa
laki-laki. Anak-anak yang selama ini merasa mendapatkan perhatian dari
teman-teman putrinya menjadi kalah pamor. Mereka pun terbagi dalam dua kubu.
Satu kubu yang mendukung Taufan karena akan mendapatkan cipratan perhatian dari
teman wanitanya dan satu kubu lagi penentang Taufan karena mereka tak lagi
mendapatkan perhatian dari para gadis.
Jadilah anak-anak ini rentan konflik. Sesekali, terjadi bentrok kata-kata
tetapi bentrok fisik belum pernah terjadi. Suasana sekolah mendadak panas.
Namun, yang paling
membuat Mutiara gusar adalah sikap Taufan yang seenaknya sendiri dan cuek bukan
main termasuk pada para guru yang masuk ke kelas. Apesnya, semua keluhan dari
guru yang mengajar di kelas IX B disampaikan kepada Mutiara sebagai wali
kelasnya.
Hampir semua guru
mengeluhkan sikap Taufan di kelas. Hanya Pak Tri, guru Seni Rupa saja yang tak
pernah mengeluh. Anak itu ternyata menyukai pelajaran Seni Rupa. Sayangnya,
pelajaran di sekolah ini tak hanya Seni Rupa dan Taufan harus segera melengkapi
tugas-tugas mata pelajaran lain untuk mengejar ketertinggalannya. Karena
itulah, diputuskannya memanggil Taufan pada jam istirahat kedua siang ini, di
teras kantor guru.
“Duduk, Fan,” kata
Mutiara kepada Taufan ketika anak itu datang menghampirinya. Taufan duduk di
sampingnya, karena bangku panjang itu
memang satu-satunya bangku.
“Kamu tahu mengapa Ibu
memanggilmu?” tanya Mutiara memandang anak itu lekat-lekat. Kalau ia punya
adik, tentulah ada yang seumuran Taufan. Usianya masih 26 tahun, hanya terpaut
11 tahun dengan anak itu. Anak-anak perempuan yang melihat percakapan itu
memandang Mutiara dengan tatapan setengah cemburu.
“Lihat, tuh,
teman-temanmu berebut perhatian darimu,” kata Mutiara sedikit menggoda Taufan.
Anak itu tetap diam, cuek saja, tak bereaksi. Mutiara pun sadar bahwa
kata-katanya tak tepat sehingga ia segera mengalihkan topik pembicaraan. Selama
ini Mutiara memang terkadang menggoda murid-muridnya dan ini membuat anak-anak
menjadi akrab dengan Mutiara.
“Begini, Fan.” Mutiara
memulai. “Sudah dua minggu kamu sekolah di sini, bukan?” Anak itu mengangguk.
“Tetapi Ibu melihat sikapmu
terlalu tak peduli pada pelajaran. Mengapa, Fan?” Taufan diam saja.
“Kamu tak tertarik?”
tanya Mutiara lagi. Anak itu masih diam. Roman muka menunjukkan ketakpedulian
tingkat akut. Mutiara mulai jengkel, tetapi ditahan-tahannya untuk tak marah.
“Taufan masih ingat
janji ayahmu waktu itu, bukan?” Taufan mengangguk.
“Lalu mengapa tak
kaupenuhi janji itu, Nak?” Taufan diam saja. Mutiara menduga, anak itu pasti
akan menjawab, “Yang berjanji kan bukan saya, Bu…” tetapi ternyata dugaannya
itu keliru.
Taufan diam saja, kali
ini sambil memainkan ujung sepatunya ke lantai. Mukanya menunjukkan raut muka
jemu. Mutiara yang melihat reaksi seperti itu sebenarnya marah, tetapi ia rasa
percuma saja marah karena reaksi Taufan pasti akan sama: tidak peduli. Ia tak mau
energinya terkuras begitu saja untuk marah-marah kepada anak orang.
“Baiklah, Fan. Ibu
yakin kamu sudah cukup umur untuk bertanggung jawab pada dirimu sendiri.”
Mutiara diam sejenak untuk melihat reaksi Taufan. Dilihatnya Taufan sedikit
mengangkat mukanya memandang Mutiara. Melihat reaksi Taufan, Mutiara sedikit
lega. Setidaknya anak ini memberikan reaksi atas perkataannya.
“Begini,” lanjutnya.
“Ibu tadi sudah meminta daftar tugas yang harus kamu lengkapi agar rapor kamu
dapat diisi dengan angka saat akhir semester nanti. Ibu harap kamu dapat
menyelesaikan tugas-tugas ini dalam waktu 2 minggu.”
Mutiara mengangsurkan
selembar kertas berisi daftar tugas yang harus dikerjakan oleh Taufan.
“Oh, ya Fan, untuk
membantu kamu menyelesaikan tugas ini, Ibu telah minta bantuan Warti. Sudah
kenal, kan?”
Taufan melengak,
mulutnya hendak protes, tetapi Mutiara mendahuluinya. “Itu kalau kamu mau.
Kalau tidak ya tidak apa-apa. Ibu tahu, kamu mampu. Kamu hanya belum mau
menunjukkan kemampuan kamu kepada orang lain.”
“Ibu percaya kamu bisa,
Fan,” kata Mutiara sambil menepuk bahu Taufan. “Kembalilah ke kelasmu
sekarang.”
Mendengar perintah
Mutiara, tanpa menunggu hitungan kedua, Taufan segera melesat kembali ke kelas.
Kertas yang ada dalam genggamannya dibuang begitu saja begitu ia berbelok
menuju kelas. Mutiara menemukan kertas itu dalam keadaan kusut. Namun, kusutnya
kertas itu tak sekusut pikirannya. Otaknya tengah dipenuhi sejuta siasat untuk
menaklukkan kebandelan Taufan. Dan ternyata siasat yang sejuta itu mentok di
tengah jalan. Hampir saja Mutiara putus asa, tetapi ia tak mau dikalahkan oleh
seorang anak SMP bau kencur seperti
Taufan.
***
Taufan Bagaswara. Anak ketiga dari pemilik
perkebunan dan pabrik kopi. Dulu, ia bersekolah di SMP terfavorit di kota ini,
tetapi terpaksa dikeluarkan karena melakukan banyak sekali kenakalan. Terakhir,
ia bertengkar dengan teman sekelasnya hingga temannya itu masuk rumah sakit
karena menderita patah tulang rusuknya. Kebetulan sang teman adalah anak
seorang pejabat teras di kota itu sehingga memiliki kekuasaan untuk menekan
sekolah agar Taufan dipindahkan dari SMP tersebut. SMP Bakti Bangsa menjadi
pilihan orang tuanya karena kebetulan sang ayah memiliki perkebunan, pabrik,
dan juga istana kecil di sini.
“Anak zaman sekarang,”
bisik Mutiara. Rasanya ia perlu memberikan
shock terapi bagi anak seperti
Taufan, tapi ia masih bingung memikirkannya.
Mulai hari itu, Mutiara disibukkan mendaftar semua kesalahan yang dilakukan
Taufan di sekolah ini dan memberikan
hukuman bagi tindakan indisipliner Taufan.
Pada hari pertama, yang
dicatatnya adalah Taufan datang pukul setengah delapan, setengah jam setelah
kegiatan belajar mengajar dimulai.
“Mengapa terlambat,
Fan?” tanya Mutiara.
“Bangun kesiangan, Bu.”
“Memangnya bangun jam
berapa?”
“Setengah tujuh, Bu.”
“Tak sholat subuh?”
Taufan menggelengkan kepalanya. Tak tampak raut ketakutan di wajahnya.
“Baiklah kalau begitu.
Hari ini kamu membersihkan kamar mandi siswa dulu sebelum masuk kelas.”
Hukuman membersihkan
kamar mandi siswa diterima Taufan dengan senyum kecil karena ia terbebas dari
pelajaran Matematika. Mutiara tak tahu, betapa leganya hati anak itu menerima
hukuman darinya karena ini berarti ia bebas dari pelajaran Matematika yang
menurutnya menjemukan.
Pada jam istirahat,
Menik datang tergopoh-gopoh menemui Mutiara yang tengah berada di perpustakaan.
“Ada apa, Nik?”
“Anu, Bu…,” katanya
terengah-engah. “Itu, Taufan bikin masalah lagi.”
“Masalah apa?”
“Masak pantat saya
dicolekin, Bu,” kata Menik. Matanya berkaca-kaca seakan-akan hendak menangis.
“Baiklah, nanti akan
Ibu tangani. Kamu lanjutkan saja istirahatmu.”
“Ya, Bu, terima kasih
banyak.”
“Oh, ya, tolong
panggilkan Jazuli, ya, Nik. Ibu tunggu di sini.”
“Baik, Bu,” kata Menik
sambil berlalu dari hadapan Mutiara.
Beberapa menit
kemudian, Jazuli, si anak keriting berkulit hangus itu mendatangi Mutiara.
“Bu Mutia memanggil
saya?”
Mutiara mengangguk.
“Lihat Taufan, nggak Li?”
“Lihat, Bu, tadi main
bersama saya.”
“Tolong panggilkan
sebentar, ya. Ibu tunggu di sini.”
Mutiara memang sengaja
tak menyuruh Menik agar gadis itu tak usah berbicara dengan Taufan. Ia bisa
membayangkan bagaimana rasanya dicolek oleh anak laki-laki. Pasti sangat
menyebalkan dan juga memalukan. Dulu, ia juga punya teman yang suka
mencolak-colek pantat anak-anak putri. Rasanya seperti berada dalam sarang
teroris jika dekat dengan anak itu. Tak nyaman dan penuh prasangka, takut
kalau-kalau dia akan menjadi korban berikutnya.
Namun, Mutiara sungguh
tak menyangka kalau Taufan berani melakukan perbuatan itu. Rasanya sulit
dipercaya karena kalau dilihat dari sikapnya selama ini, Taufan terkesan sangat
cuek terhadap anak perempuan. Rasanya mustahil ia berani mencolek Menik. Akan
tetapi, karena Menik sudah memberikan laporannya, terpaksa Mutiara harus
menanggapi kasus ini. Paling tidak, ia akan membuktikan kebenaran laporan Menik
atas kasus pelecehan yang dialaminya.
Taufan datang sesaat
kemudian, masih disertai Jazuli. Mereka berdua lalu duduk di depan Mutiara
setelah guru muda itu mempersilakan mereka duduk.
“Begini, Fan. Tadi
Menik lapor bahwa kamu mencolek pantatnya. Betul?” tanya Mutiara sambil menatap
Taufan lekat-lekat. Dicermatinya baik-baik reaksi anak itu untuk mencari
kebenaran dalam jawabannya nanti.
Taufan terkesiap.
Badannya ditegakkan. “Nggak benar, Bu. Fitnah itu.”
“Maksudmu?”
“Menik yang bikin
gara-gara, Bu. Saya nggak pernah menyentuh dia sekali pun. Orang ngomong saja
nggak pernah, kok.”
Mutiara tak menemukan
sinar kebohongan pada sorot mata anak itu. Ia pun mengalihkan pandangannya
kepada Jazuli.
“Benar, Li?”
Jazuli mengangguk.
“Benar, Bu. Taufan bersama saya terus, jadi apa yang dilakukannya pasti saya
lihat.”
“Baiklah, Ibu percaya.
Kira-kira, maksud Menik apaan, ya? Jangan-jangan…”
“Ia naksir Taufan, Bu,”
sela Jazuli.
Mutiara tertawa.
“Benarkah?”
Taufan menunduk. Garis
bibirnya menunjukkan kalau ia tak suka.
“Kalau begitu, Menik
yang harus dihukum. Jazuli bisa memanggilkan Menik ke sini?”
“Siap, Bu,” kata
Jazuli, lalu secepat kilat menghilang dari pandangan Mutiara.
Menik datang dengan
langkah setengah hati mendekati Mutiara. Mutiara menatapnya tajam hingga gadis
itu salah tingkah.
“Bu Mutia memanggil
saya?”
Mutiara tersenyum
melihat Menik yang salah tingkah. “Ceritakan pada Ibu yang sebenarnya, Nik.”
Menik menundukkan
kepalanya. “Mengapa?”
“Maaf, Bu.”
“Ah, kamu bikin repot
saja, Nik. Kalau mau cari perhatian Taufan bukan begini caranya,” goda Mutiara.
“Sana minta maaf pada
Taufan.”
Menik pun mengulurkan
tangannya pada Taufan. “Maafkan aku, Fan,” katanya. Taufan menyambut uluran
tangannya dengan melengoskan wajahnya. Mutiara menahan senyum melihat adegan
itu.
“Baiklah, Nik. Meskipun
demikian, karena kamu sudah bersalah, maka selayaknya kamu dihukum. Bagaimana?”
“Yah, Ibu. Cuma segitu
saja dihukum.”
“Eits, kamu telah
menyebarkan berita bohong, Nik. Itu fitnah namanya. Hukumanmu harus ikut jaga
perpus selama tiga hari berturut-turut. Datanglah ke sini setiap istirahat,”
kata Mutiara dengan suara tegas.
“Baiklah kalau begitu,
Bu.”
“Oke, jangan diulangi
lagi, ya. Sekarang kamu bisa kembali ke kelas.”
“Baik, Bu,
terimakasih.”
“Kamu juga, Fan, Li,
bisa kembali ke kelas sekarang.”
“Ya, Bu. Kami permisi.”
Mutiara menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum. ia pun segera bangkit dari duduknya karena bel
masuk sudah berbunyi sejak tadi. Saatnya masuk kelas dan mengajar.
***
Hari selanjutnya,
Taufan tak terlambat. Datang paling pagi, malah. Ia menyalami Mutiara yang
sudah menunggu di pintu gerbang. Mutiara bahkan sempat memuji Taufan karena kerajinannya
itu. Dilihatnya anak itu kembang kempis hidungnya karena merasa senang dipuji
oleh Mutiara.
Namun, tak berapa lama,
anak-anak putri yang datang setelahnya menjerit-jerit karena di laci mereka
terdapat ulat bulu. Mutiara menduga, Taufan yang melakukan hal ini. Namun, ia
juga menyangsikan reaksi anak-anak putri yang berlebihan itu. Jangan-jangan
mereka hanya cari perhatian saja. Karena tak ada saksi yang menguatkan dugaan
Mutiara, kasus ini berlalu begitu saja.
Jam istirahat kedua, ia
mendapatkan laporan bahwa segerombolan anak IX B merokok di belakang kantin.
Mutiara segera bergegas menuju tempat itu. Namun, ternyata sesampainya di sana,
ia tak menemui seorang pun anak. Bergegas ia menuju ke kelas IX B dan
didapatinya semua anak telah berada di dalam kelas. Dengan hidung seorang
polisi yang mengendus narkoba, ia membaui satu per satu anak dan ditemuilah
tiga anak yang tubuhnya menguarkan aroma rokok.
Taufan di antaranya. Ketika
digeledah, ternyata di saku belakangnya terdapat setengah bungkus rokok.
Mereka bertiga
dinasihati Mutiara panjang dan lebar. Entah didengarkan entah tidak, Mutiara
memberikan sanksi membersihkan halaman
depan dan belakang sekolah selama seminggu penuh. Dan anehnya, Taufan
menajalaninya dengan senang hati meskipun dengan demikian ia akan terlambat
masuk kelas. Memang itu yang dicarinya. Tak ikut pelajaran dengan alasan yang
aman. Mutiara tak tahu bahwa ini adalah trik dari Taufan.
Oleh karena selama
seminggu ini Taufan memperoleh apa yang dimauinya, seminggu ini berlalu tanpa
pelanggaran sama sekali. Meskipun demikian, tugas-tugas tak ada satu pun yang
dikerjakan. Karena seminggu ini Taufan terlihat begitu manis, terlenalah
Mutiara sampai siang itu, ketika jam terakhir ia mengajar di kelas VIII, Warti
datang tergopoh-gopoh mengatakan kepada Mutiara bahwa Taufan terlibat baku
hantam dengan Dedi, teman sekelasnya. Masalahnya tak lain karena Menik, anak
gadis yang ditaksir Dedi ternyata terang-terangan menyukai Taufan. Taufan yang
selama ini tak suka dengan sikap Dedi yang sok jagoan, menerima tantangan Dedi
untuk berduel. Lalu, terjadilah pertengkaran itu.
Peristiwa itu terjadi
di belakang kelas IX. Kebetulan tak ada pagar pembatas antara kelas dengan
kebun milik Pak Hadi sehingga mereka punya arena yang agak luas untuk berlaga.
Dari kejauhan Mutiara melihat kerumunan anak yang berteriak-teriak. Anak putri
berteriak ketakutan sedangkan anak putra berteriak memberikan semangat kepada
jagonya masing-masing.
Mutiara berlari kecil
menuju gelanggang. Disibaknya anak-anak yang bergerombol dengan kedua
tangannya. Anak-anak yang melihat pertengkaran itu diam, tetapi Dedi dan Taufan
yang sedang berlaga tak melihat kehadiran Mutiara. Mereka masih saja saling
pukul untuk mengalahkan lawan masing-masing.
“Berhenti, Jagoan!”
teriak Mutiara menengahi pertengkaran itu. Sang jagoan kecil yang tak mendengar
perintah dari wali kelas mereka masih saja baku hantam. Tak hanya sekali
kepalan tangan Taufan singgah di kepala Dedi. Dedi yang kalah set karena tak
punya basis ilmu bela diri sudah banyak mengeluarkan darah.
“Berhenti!!!” teriak
Mutiara sekali lagi, tubuhnya maju ke depan, tepat di tengah-tengah anak yang
baku pukul. Hampir saja mukanya kenal pukulan Taufan. Untung saja Mutiara bisa
menangkisnya dan segera memegang tangan anak itu erat-erat. Tak sia-sia ia
pernah belajar karate semasa SMA dulu.
Melihat kedatangan wali
kelas mereka, kedua anak yang berkelahi menghentikan pukulan-pukulan mereka.
Dedi jatuh terkapar seperti petinju yang KO di atas ring. Sementara itu Taufan
memandang Dedi dengan mata menyala-nyala. Nafasnya memburu menunjukkan kalau ia
belum puas dengan perkelahian yang baru saja dilakukannya. Anak-anak yang
melihat Dedi jatuh serentak memapah Dedi membawanya ke UKS.
“Kali ini kamu sudah
keterlaluan, Fan,” kata Mutiara kepada Taufan. “Mau jadi jagoan?”
“Dia yang mulai, Bu,”
sahut Taufan. Tumben anak ini membalas kalimatnya.
“Apa pun itu, harusnya
kamu tak meladeninya.”
“Dia sudah keterlaluan,
Bu. Bukan saya yang salah.”
“Kalian berdua
salah. Kalau kamu tak meladeninya, pasti
tak akan terjadi perkelahian ini. Sekarang kamu ikut Ibu ke kantor.”
Mutiara segera membawa
Taufan ke kantor BK. Tak ada orang di sana.
“Anak baru tapi sudah
menorehkan prestasi yang lumayan, ya Fan,” kata Mutiara menyindir Taufan.
“Setidaknya semua orang di sini akan tahu bagaimana Taufan, si ganteng yang
kaya raya itu berkelakuan.”
Taufan menundukkan
kepalanya. Sejak datang ke sekolah ini, ia memang selalu membuat masalah. Ini
memang sudah direncanakannya sejak awal, karena ia memang tak suka bersekolah
di sekolah kampung seperti Bakti Bangsa. Dulu ia sekolah di SMP SBI, sekolah
terfavorit dengan pengantar Bahasa Inggris. Sekarang? Gurunya saja banyak yang
jalan kaki ke sekolah. Beda dengan sekolahnya yang gurunya bermobil mengkilap.
Di sekolahnya dulu, semua ruangannya ber-AC. Sekarang? Kelasnya memang sejuk,
dari hembusan angin yang bertiup lewat jendela yang nakonya hilang sebuah.
Terkadang aroma kotoran sapi dari rumah di samping sekolah menjadi aroma terapi
yang membuatnya mual sepanjang pelajaran.
“Rasanya Ibu memang
harus segera berbicara dengan orang tuamu. Hari ini nanti, kamu dan Dedi baru
boleh pulang jika orang tua kalian sudah menjemput di sekolah.”
“Tapi orang tua saya
tak di rumah, Bu,” sahut Taufan.
“Siapa sajalah yang
tinggal serumah dengan kamu di sini,” kata Mutiara tegas. “Biar temanmu nanti
yang memberitahukan orang tua kalian masing-masing.”
Taufan diam saja. Ia
tak yakin kakaknya mau datang. Memang ia serumah dengan kakaknya, tetapi
kakaknya itu lebih asyik dengan hobinya melukis dan tanggung jawab pekerjaannya di pabrik. Taufan
merasa sendiri di rumah itu.
Dedi dijemput orang
tuanya pukul setengah dua. Setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar dari
Mutiara, ayahnya membawa Dedi pulang. Untunglah orang tua itu tak menuntut
Taufan karena menyadari bahwa sumber kesalahan pada anaknya. Sementara itu,
Mutiara masih menemani Irfan di kantor guru, sekalipun waktu sudah menunjukkan
pukul setengah tiga sore.
“Kita tunggu sampai
pukul empat sore, Fan. Kalau kakakmu tak juga datang, Ibu akan mengantarmu
pulang. Hari ini Ibu harus berbicara dengan orang yang bertanggung jawab
terhadap kamu.”
“Ya, Bu,” sahut Taufan
lemas. Anak itu sudah tak tampak garang lagi seperti tadi. Tiba-tiba muncul iba
di hati Mutiara. Anak ini pasti kurang mendapatkan perhatian.
“Lapar?”
Taufan mengangguk.
“Ini Ibu punya roti.
Kita bagi berdua, ya,” kata Mutiara sambil mengangsurkan roti dan segelas air
mineral kepada Taufan. Taufan menerimanya dan kemudian memakannya dengan lahap.
“Terimakasih, Bu,”
katanya pelan sambil menunduk.
Dalam keadaan menunggu,
Mutiara ingin sekali mendengarkan cerita tentang keadaan keluarga Taufan.
Menurutnya, keadaan keluarganyalah yang menyebabkan kebandelan Taufan selama
ini. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya. Anak itu baru saja mau
berbicara dengannya dan ia tak mau merusak suasana itu. Untuk itu, ia lebih
memilih diam dan tak bertanya-tanya lagi. Hujan yang turun di luar membuatnya
lebih memilih untuk memandang hujan, lalu menembus memori masa lalunya yang
datang sepaket dengan hujan. Masa lalunya ketika masih bersekolah, di mana ia
mengenal Irfan, tunangannya sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar