Mutiara
Namanya
Pagi yang berkabut di
lereng gunung Wayang. Gunung Wayang, sebuah gunung yang tak aktif lagi di sudut
utara provinsi Jawa Tengah. Di sisi selatan lereng gunung ini terdapat sebuah
desa yang merupakan salah satu sentra perkebunan kopi. Desa Sumberwangi
namanya. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani sayur dan palawija
sedangkan sebagian yang lain bekerja di perkebunan dan pabrik pengolahan kopi
terbesar di kota ini.
Pada pagi yang berkabut
seperti ini, kebanyakan orang masih
enggan keluar dari rumah. Mereka lebih memilih untuk nongkrong di depan tungku
sambil menjerang air dan membakar ubi kayu. Di depan pawon, mereka akan duduk di dingklik,
berselimut sarung sambil menunggu air mendidih.
Dulu, ketika aku masih
kecil, ia pun sering melakukan hal yang sama, menjerang air dan membakar ubi
kayu, ditambah sedikit garam akan terasa gurih. Sayang, sudah lama sekali aku tak
menikmatinya. Sejak lulus kuliah dan mengajar di SMP Bakti Bangsa, aku tak
punya lagi kesempatan untuk menjerang air pagi hari sambil membakar ketela.
Kecuali hari Minggu tentu saja. Namun, ia pun akan melewatkan kebiasaan masa
kecilnya itu karena ia lebih suka pergi ke pasar sayur untuk sekadar berbelanja
sayur untuk dimasak hari ini sampai tiga hari ke depan.
Setelah matahari agak
tinggi, barulah orang-orang itu beranjak dari rumahnya untuk pergi ke sawah
atau ladang. Jika mereka bekerja untuk orang lain, tentunya mereka akan
berangkat pagi-pagi. Hal ini pula yang kulakukan setiap hari. Berangkat
pagi-pagi dari rumah untuk menuju ke tempat kerjaku, di SMP Bakti Bangsa. Meskipun
hari dingin dan berkabut, pekerjaan itu tetap kulajalani dengan riang gembira.
Dunia anak-anak itu memang duniaku.
Pagi ini, seperti
hari-hari biasanya, aku sudah tegak di pintu gerbang sekolah. Hanya sekolah
kecil dengan 6 lokal kelas kecil, ditambah satu kantor guru, ruang kepala
sekolah yang dihubungkan dengan tuang tata usaha, serta sebuah perpustakaan
kecil tempat anak-anak membaca dan mencari sumber referensi. Sekolah itu dulu
didirikan oleh almarhum ayah angkatku dan aku merasa berkewajiban untuk
melanjutkan apa yang telah dirintis oleh ayah, meskipun tak ada yang bisa
diharapkan dari sekolah ini selain pengabdian. Nasib baik kemudian membawaku
menjadi PNS pada penerimaan tahun ini, lalu sekaligus menjadi guru negeri yang
diperbantukan di sekolah swasta ini. Hal ini semakin mengukuhkan tekadku untuk
tetap berbakti di sekolah ini, di desa terpencil di lereng gunung, tempat
sebuah perkebunan kopi membentang luas.
Sambil menunggu
anak-anak yang berdatangan, Mutiara memandang gunung Wayang yang angkuh berdiri
nun jauh di utara. Gunung itu tengah
diselimuti kabut yang cukup tebal. Memang, gunung ini cukup tinggi sehingga
kabut seringkali datang menyelimutinya. Mutiara selalu menyukai aroma kabut.
Aroma khas yang tak pernah ditemuinya ketika ia bersekolah di kota. Aroma kabut
ini pula yang membuatnya selalu merindukan suasana gunung ketika ia tengah
berada jauh dari desanya.
Suasana sekolah masih
sepi. Belum ada seorang guru pun yang datang. Anak-anak juga masih segelintir.
Hari memang masih pagi, baru pukul
6 lewat beberapa menit. Seperti biasa, Mutiara
menjadi orang yang pertama datang di SMP Bakti Bangsa. Kalaupun tidak, ia menjadi orang kedua, berbagi tempat
dengan Pak Bustomi, sang kepala sekolah.
“Pagi, Bu,” sapa Warti.
Mutiara menoleh, lalu
mengembangkan senyumnya pada sang ketua kelas IX B. “Pagi juga, Warti. Pagi
benar kamu.”
“Masih kalah dengan Bu
Mutia.”
Mendengar jawaban
Warti, Mutiara semakin mengembangkan senyumnya.
“Coba semua anak
seperti kamu, Ti. Pasti sekolah kita semakin maju.”
Warti, anak Mak Karti,
masih tetangga jauh dengan Mutiara. Emaknya bekerja di pabrik kopi dan bapaknya
menjadi buruh tani. Memang hampir semua siswa yang bersekolah di SMP Bakti Bangsa
adalah warga desa Sumberwangi dan sekitarnya sehingga Mutiara mengenal
hampir semua murid dan keluarganya.
Sekolah ini berdiri delapan tahun yang lalu atas
inisiatif Pak Wiryo dan Pak Harun. Pak Harun sebagai pemilik lahan mewakafkan
tanahnya yang merupakan warisan dari keluarganya. Harusnya, jabatan ketua yayasan dipegang oleh
Pak Harun, tetapi karena tempat tinggalnya
di Bandung, jabatan ini dipegang oleh Pak Hadi, adik Pak Harun.
Pak Wiryo, ayah angkat
Mutiara, mendirikan bangunan di atas tanah wakaf itu. Dananya berasal dari dana pribadi dan hibah
sebagian kecil masyarakat desa yang peduli akan arti penting pendidikan bagi
anak-anak mereka. Untuk mendirikan bangunan yang semula hanya terdiri atas tiga
lokal dan satu buah kantor itu, Pak Wiryo menjual kebun jambunya, kebun tempat
Mutiara bermain bersama adiknya semasa kecil.
Perjuangan Pak Wiryo
dan Pak Harun untuk mendirikan SMP di desa itu ternyata tak sia-sia. Sebagian
besar anak yang dulu tak mengenal pendidikan menengah, sekarang bisa mencicipi
bangku SMP. Meskipun demikian, seringkali mereka tak masuk sekolah jika sedang
musim panen kopi. Banyak yang ikut menjadi buruh panen kopi untuk memperoleh
sedikit upah penambah uang jajan. Namun paling tidak, hadirnya SMP Bakti Bangsa
di desa itu telah sedikit banyak menggairahkan minat belajar anak-anak gunung
tersebut. Banyak yang lalu melanjutkan sekolah di SMK atau SMA. Bahkan, banyak
pula yang kemudian diterima di perguruan tinggi favorit di negeri ini. Suatu
hal yang awalnya demikian jauh dari angan-angan penduduk gunung ini.
Perjuangan Pak Wiryo
itu jugalah yang membuat Mutiara tegak berdiri di sekolah ini, menunda ajakan
Irfan, kekasihnya, untuk menikah. Mereka memang belum menemukan kesesuaian arah
karena Irfan bekerja di sebuah departemen di Jakarta. Sedangkan Mutiara yang
baru saja diangkat menjadi pegawai negeri tak mungkin untuk ikut pindah ke
sana. Ia pun belum mau meninggalkan SMP Bakti Bangsa karena masih ingin
berbakti untuk sekolah ini.
Ia hanya ingin membalas
budi ayah angkatnya dengan membaktikan diri di sekolah yang dirintis ayah
angkatnya itu. Selain itu, hatinya pun telanjur terpaut dengan sekolah beserta
isinya hingga ia enggan untuk beranjak dari desa dan menuju Jakarta yang hiruk
pikuk. Hubungan jarak jauh? Iya, kalau hanya pacaran. Tapi menjalani pernikahan
jarak jauh, Mutiara tak bisa. Menurutnya, kalau ia bersuami, maka ia harus melayani suaminya setiap hari,
setiap saat, setiap suaminya membutuhkan. Dan hal itu tak mungkin dilakukannya
jika mereka berpisah tempat setelah menikah. Hal itu pula yang membuat ia belum
mengiyakan ajakan Irfan untuk menikah meskipun orang tua Irfan telah datang
melamar Mutiara. Ia tak menolak, hanya meminta waktu sampai setelah SK PNS turun
dan mereka menyetujuinya.
Memang, sejak kecil
Mutiara telah biasa memiliki prinsip. Jika ia sudah memegang prinsip itu,
tentulah ia akan memegangnya kuat-kuat. Karakter inilah yang ditanamkan oleh
emak, ketika perempuan kurus dan sakit-sakitan itu belum meninggal dunia.
Setiap mengingat emaknya, mata Mutiara selalu membasah. Perempuan itu nasibnya
tak lebih baik dari tubuh kurus dan penyakit paru-paru yang menggerogotinya.
Suaminya, ayah Mutiara, meninggalkan emak ketika Mutiara masih dalam kandungan,
dalam keadaan hamil besar dan tanpa daya karena tak punya pekerjaan apa-apa.
Suaminya tergoda perempuan yang berasal dari kampung yang ada di kota,
tempatnya mengadu nasib sebagai buruh pabrik.
Sebenarnyalah, Sumi,
emak Mutiara masih memiliki hubungan kerabat jauh dengan Pak Wirya. Kakek Sumi
adalah adik kakek Pak Wirya. Nasib buruk Sumi yang masih kerabat jauh membuat
Pak Wirya terketuk hatinya untuk mengajak Sumi tinggal di rumahnya. Agar tak
melulu menumpang pada keluarga Pak Wirya secara gratis, Sumi menjadi tukang
masak di rumah besar itu. Ya, Pak Wirya memang termasuk keluarga berada di desa
itu. Pekerjaannya sebagai guru dan tanah warisan yang luas membuat mereka hidup
berkecukupan. Sayangnya, sampai 15 tahun usia pernikahan mereka, keluarga Pak
dan Bu Wirya belum dikaruniai seorang anak pun. Oleh karena itu, ketika Sumi
datang dalam keadaan mengandung, Pak Wirya meminta kepada Sumi agar bersedia
menyerahkan anaknya untuk diasuh Bu Wirya.
Dalam tradisi Jawa,
mengangkat anak bisa menjadi pancingan agar seorang perempuan bisa mengandung
anaknya sendiri. Begitu pula yang dimaksud oleh Pak Wirya. Siapa tahu, dengan
mengangkat anak Sumi sebagai anaknya, istrinya akan diberi keturunan oleh
Tuhan. Sumi menyetujuinya, toh Pak Wirya tak berniat menghilangkan garis
keturunannya dengan anaknya nanti. Lagi pula, ia juga yang nanti ikut
mengasuhnya karena mereka tinggal di rumah yang sama. Yang pasti, ia punya
kepastian bahwa anaknya akan bernasib lebih baik daripada dirinya.
Dan memang demikianlah
yang terjadi. Tak lama setelah bayinya lahir –Pak Wirya menamainya Mutiara- dan
keluarga itu secara simbolis mengangkat Mutiara menjadi anaknya, hamillah Bu
Wirya. Berlian, anak perempuan cantik itu, lahir setahun setelah Mutiara
merasakan hangatnya mentari pagi di bumi.
Meskipun mereka bukan
saudara kandung, wajah Berlian mirip dengan Mutiara. Banyak orang mengatakan
mereka ibarat pinang dibelah dua. Mungkin sedikit perbedaan mereka adalah
Berlian berkulit lebih bersih dan terang.
Tentu saja, semasa kecil Berlian sering dilarang keluar dari rumah oleh
Bu Wirya, sedangkan Mutiara kecil yang lebih banyak diasuh ibunya sering keluar
masuk hutan bersama teman-teman kecilnya. Ya, Berlian, si anak yang ditunggu
selama belasan tahun itu memang diperlakukan sangat istimewa di rumah itu,
terutama oleh Bu Wirya. Tentu, semua
orang pun memaklumi akan hal ini.
Mutiara kecil memanggil
Sumi dengan sebutan Emak. Bu Wirya dipanggilnya Ibu dan ia memanggil Bapak
kepada Pak Wirya. Perlakuan mereka sangat baik kepada Mutiara, hampir sama dengan
Berlian. Kalaupun berbeda, Mutiara selalu menyadarinya karena sejak kecil
emaknya selalu menekankan akan hal ini. Bahwa mereka masih bisa hidup dengan
nyaman dalam naungan rumah besar itu, sungguh sebuah anugerah yang luar biasa.
Mutiara selalu mengikuti nasihat emaknya dan oleh karena itulah ia selalu
menuruti permintaan Berlian, setiap apa yang dimaui anak manja itu.
Ia akan selalu menjadi
ibu peri yang baik bagi adiknya. Ibu peri yang selalu menuruti kemauan adiknya
meskipun harus dimarahi oleh ibu mereka. Ibu peri yang selalu mengorbankan
dirinya untuk dimarahi Bu Wirya ketika Berlian bandel, meskipun adiknya itu
yang bersalah. Pernah sekali waktu Berlian minta diantarkan untuk mandi ke
sungai Kembang nun jauh di bawah sana. Meskipun Mutiara sudah membujuknya untuk
tak ke sana, Berlian tetap merengek-rengek. Ia pun tak tega melihat adiknya itu
merengek-rengek. Diam-diam, ia pun mengantarkan Berlian ke sungai itu dan mandi
di sana.
Bu Wirya yang mendapat
laporan dari tetangga mereka, langsung menuju sungai untuk mencari mereka.
Benarlah, kedua anak itu sedang mandi di sana. Mereka mandi di kedung yang bisa mendadak banjir jika
hujan turun di hulu. Bisa ditebak, Bu Wirya pun marah besar. Ia memarahi kedua
anak itu dengan kata-kata sepanjang sungai Kembang mengalir. Mutiara mengaku
bersalah telah mengajak adiknya ke sungai. Sementara itu, Berlian tetap dengan
santai menghadapi kemarahan ibundanya karena ia tahu, ibunya tak pernah
benar-benar marah kepadanya.
Satu hal yang membuat
Mutiara menyesal ketika peristiwa itu terjadi adalah kesedihan yang memancar di
mata emaknya. Ia tahu, sepanjang perjalanan menuju sungai tadi emaknya pasti
diomeli oleh Bu Wirya karena kesalahan Mutiara yang mengajak Berlian ke sungai.
Mutiara tahu, ibunya sungguh terluka karena hal ini. Hati perempuan itu begitu
rapuh. Mutiara tak mau ibunya tersakiti lagi sehingga setelah itu ia pun
memutuskan untuk menjadi anak manis yang lebih banyak duduk di rumah. Membantu
emaknya memasak atau melakukan apa saja yang bisa dilakukannya di rumah itu.
Semuanya. Kecuali bermain boneka, karena ia memang tak pernah punya boneka.
Pak Wirya. Lelaki
bijaksana itu memperlakukan Mutiara sama dengan Berlian. Semua yang
diberikannya kepada Berlian, diberikan pula kepada Mutiara. Jika ia membelikan
Berlian buku, demikian halnya dengan Mutiara. Jika ia memuji Berlian karena
mendapatkan nilai bagus, demikian juga yang dilakukannya kepada Mutiara. Jika
ia memarahi Berlian karena memperoleh nilai buruk, demikian juga yang akan
dilakukannya kepada Mutiara. Sayangnya, nilai Mutiara selalu bagus sehingga ia
tak pernah dimarahi Pak Wirya. Lelaki bijaksana itu pula yang bersikukuh untuk
menguliahkan Mutiara meskipun Bu Wirya mengatakan bahwa mereka butuh biaya yang
sangat besar karena tahun depan Berlian
juga harus kuliah.
Akan tetapi, Pak Wirya
tetap bertahan dengan pendiriannya. Mutiara harus kuliah dan ia memilih jurusan
kependidikan sebagai satu-satunya pilihan. Mutiara ingin menjadi guru,
melanjutkan jejak ayahnya yang sebentar lagi pensiun. Keputusan Pak Wirya
memang tak salah. Pada tahun kedua, ketika Berlian mulai kuliah, Mutiara mulai
mendapatkan beasiswa dari sebuah lembaga. Bahkan, ia tak lagi minta uang saku
karena ia pun bekerja sampingan sebagai guru les. Sayang, Sumi tak dapat
melihat Mutiara kuliah karena ia meninggal ketika Mutiara duduk di bangku SMP.
Satu per satu anak
mulai berdatangan menyusul Warti. Mereka menyalami Mutiara yang berdiri di
gerbang untuk menyambut anak-anak yang baru masuk. Kebiasaan bersalaman antara
murid dengan guru ini memang sudah menjadi tradisi di SMP Bakti Bangsa. Dengan
kegiatan ini, diharapkan akan terjalin komunikasi yang santai tetapi santun
antara murid dengan guru. Dan hal ini memang sedikit terbukti. Anak-anak dekat
dengan Mutiara, salah satu guru yang paling rajin di SMP Bakti Bangsa. Selain
itu, mereka juga sungkan untuk berpakaian tak rapi dan terlambat masuk kelas.
Sungguh, penerapan nilai disiplin yang patut untuk ditiru.
0 komentar:
Posting Komentar