Judul Novel :
(Bukan) Salah Waktu
Pengarang :
Nastity Denny
Penerbit :
Bentang Pustaka
Tahun Terbit :
Desember 2013
Tebal
Buku : 244 halaman
Tak ada yang salah di antara kita, kecuali masa lalu.
Itu quote yang tertera pada halaman sampul novel ini. Novel ini saya beli
karena gencarnya promosi yang dilakukan melalui jejaring sosial. Pun, novel ini
adalah pemenang lomba novel "Wanita dalam Cerita" sehingga saya yakin
pasti baguslah.
(Bukan) Salah Waktu menceritakan tentang kehidupan
seorang wanita yang bernama Sekar. Sekar, istri Prabu, adalah wanita pekerja
yang memutuskan untuk berhenti bekerja. Di saat krisis itu, suaminya mengetahui
bahwa selama ini Sekar menyimpan rahasia tentang kehidupan keluarganya yang broken home. Namun, ketika mereka
berkonflik tentang masalah ini, masa lalu Prabu pun terkuak. Ternyata, Prabu
punya anak dengan bekas kekasihnya yang bernama Laras. Muncul pula nama Bram
Aditya, kekasih Miranda sahabat Sekar, juga adik Laras, yang awalnya berniat
menghancurkan keluarga Prabu dan Sekar, tetapi akhirnya justru jatuh cinta
pada`Sekar.
Kira-kira begitulah jalan ceritanya. Cukup menarik,
meskipun agak berbelit. Saya seakan melihat telenovela dalam cerita ini.
Menurut saya sih, bagian awal novel ini sangat bagus, namun, bagian akhirnya
terkesan bertele-tele dan ada beberapa hal yang cenderung dipaksakan. Klimaks
dalam novel ini agaknya kurang terolah dengan baik. Misalnya begini. Ketika
Sekar mencari Bram di rumah sakit, ia mendapatkan informasi bahwa Bram sudah
pulang. Namun, dalam perjalanan, ia bertemu dengan Bram yang terlihat misterius
dan Bram menyuruhnya datang ke sebuah tempat. Di tempat itu, Bram mengakui
tentang kebenaran yang ada. Menurut saya sih, bagian itu bisa diolah menjadi
klimaks yang bagus sehingga bagian selanjutnya tak berkesan bertele-tele. Ada
beberapa bagian yang bisa dihilangkan semestinya, misalnya tentang kunjungan Bram
dan Sekar ke yayasan milik mama Sekar. Atau mungkin pertemuan Prabu dengan
Laras yang nyaris tak ada fungsinya apa-apa karena Prabu justru menawarkan masa
depan bersama Laras dan Laras yang tiba-tiba nampak baik karena menangis
tersedu-sedu menyesali apa yang telah dilakukannya. Kalau dia menyesal, ia tak
meninggalkan Wira sendiri, kan? J
Lalu, ada pula bagian yang kurang tersentuh. Menurut
saya, sih, Prabu akan melakukan sesuatu yang sangat 'berarti' ketika mengetahui
Sekar hamil setelah pernikahan mereka yang berjalan dua tahun ini. Bukannya
pasrah atas apa saja keinginan Sekar, termasuk menceraikannya. Kalau benar
cinta, mengapa nggak dipertahankan, sih. Paksalah si Sekar untuk memaafkannya,
hehehe... Satu bagian lain yang kurang nampak adalah komunikasi yang terjalin
antara Sekar dan Prabu. Mereka digambarkan sebagai seorang yang saling
mencintai, tetapi komunikasi nyaris tak ada. Misalnya saja, Prabu tidak tahu mengapa
istrinya berhenti bekerja. Okelah, mungkin ini memang yang dimaksudkan oleh
pengarang sebagai sumber konflik. Namun, ada saatnya komunikasi mereka perlu ditampakkan,
misalnya ketika Prabu meminta Sekar untuk menerima Wira sebagai bagian keluarga
mereka. Jika bagian ini dikembangkan dengan baik, tentu akan jadi sesuatu yang
bisa mengaduk-aduk emosi pembaca karena Sekar yang mengalami trauma masa lalu karena
diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang tua angkatnya harus menerima seorang
anak tiri di rumahnya.
Bagian yang paling menarik dari cerita ini adalah
kepiawaian penulis menggambarkan seseorang yang berada dalam kondisi psikis
yang buruk, dikejar-kejar mimpi kelam kehidupannya. Kehidupan seorang wanita
yang kompleks dengan segala permasalahannya bisa kita lihat dengan cermat dalam
novel ini. Selain itu, gambaran psikologis seorang wanita yang baru saja keluar
dari pekerjaannya pun tampak nyata. Dialog-dialog yang manis dan lancar menjadi
keunggulan tersendiri cerita ini.
0 komentar:
Posting Komentar