Parmin masih bersimpuh di tepian makam. Matanya membasah. Hari ini lebaran hari pertama dan Parmin masih di ibukota. Ia justru sedang berada di dekat sebuah kuburan baru di pinggiran kampung. Kuburan itu masih basah, tanahnya masih menggunduk, terdapat sedikit taburan bunga di sana, menunjukkan kalau kuburan itu memang benar-benar baru. Seseorang baru saja dikuburkan di situ. Seseorang yang dekat dengan Parmin, kawannya bekerja di bangunan ini. Ya, Bang Jono yang meninggal. Ia meninggal malam tadi setelah sore harinya tertabrak mobil yang melaju kencang. Nyawanya tak tertolong lagi setelah dibawa ke rumah sakit.

Parmin masih ingat benar apa yang ia bicarakan dengan Bang Jono kemarin malam, ketika sahur terakhir. Ketika itu barak sudah sepi karena sebagian besar kawan mereka mudik ke kampungnya masing-masing. Tinggal Parmin dan Bang Jono yang ada di sana, serta 2 orang sekuriti yang bertugas di luar.


Bang Jono memang tak mudik karena ia tak punya kampung halaman. Jangankan kampung halaman, keluarganya saja ia tak tahu.Sejak kecil ia tinggal di Panti Asuhan di Medan. Ketika menginjak remaja, ia lari ke Jakarta.

Hidup yang keras membawanya ke jalanan hingga akhirnya bertemu dengan Pak Zainal, pemilik proyek ini. Pak Zainal pernah ditolong Bang Jono ketika kecelakaan di dekat tempat Bang Jono mangkal. Sebagai ucapan terimakasihnya kepada Bang Jono, beliau memberinya pekerjaan sebagai mandor di proyek-proyeknya. Itu makanya, Bang Jono sangat disegani di sini. Orangnya jujur meskipun kasar. Kehidupannya yang keras di jalanan membuatnya jauh dari syariat agama. Itu yang Parmin tahu tentang Bang Jono.

Malam menjelang fajar itu, Parmin yang usai mendirikan sholat tahajud sebelum menyantap makan sahur merasa diperhatikan oleh seseorang. Ia pun menoleh dan dilihatnya Bang Jono tengah menatapnya dengan pandangan aneh. Baru kali ini ia mendapati Bang Jono menatapnya dengan pandangan seperti itu. Tak biasanya, juga karena biasanya Bang Jono selalu masih tidur saat Parmin mendirikan shalat malam.

“Kenapa, Bang?” tanya Parmin keheranan.
Bang Jono tergeragap. “Ah, tak apa…,” sahutnya tergesa.
“Ada yang aneh?”
Bang Jono menggeleng. Parmin pun segera melipat sajadahnya dan mengambil nasi bungkus yang dibelinya semalam. Hanya sebungkus karena ia tahu Bang Jono tak pernah puasa.
“Sahur, Bang?” tawar Parmin basa basi. Disangkanya Bang Jono akan menggeleng, tapi betapa terkejutnya Parmin ketika Bang Jono ternyata mengangguk. Bang Jono segera bangkit dari tempatnya dan menghampiri Parmin.

“Aku mau puasa juga, Min,” katanya pelan.
Parmin terkesiap, tetapi ia mencoba untuk bersikap wajar.
“Benar, Bang? Kalau begitu, kita bagi makan sahur ini untuk berdua. Cukup, kok Bang.”
Pemin segera membagi nasi bungkusnya menjadi 2 dan mengulurkan sebagian pada Bang Jono. Bang Jono pun menerimanya dan segera menyantapnya. Terlihat lahap meskipun hanya dengan rames dan telur bacem.

“Jangan lupa niatnya, Bang,” kata Parmin.
“Ajari aku, Min,” kata Bang Jono lirih.
Parmin pun segera melafalkan doa puasa dan ditirukan Bang Jono. Meskipun terbata-bata, ia terlihat khusyuk. Mereka pun melanjutkan makan dalam diam.

“Min, aku ingin seperti kamu,” kata Bang Jono tiba-tiba.
“Seperti aku, Bang? Kenapa?”
“Kamu punya keluarga. Kamu punya kampung. Meskipun miskin, kamu bahagia, Min.”
“Kaya dan miskin itu kan anugerah Allah, Bang. Ya kita nikmati saja daripada mengeluh melulu.”
Bang Jono terdiam sejenak, lalu katanya, “Nah itu dia Min. Itu juga yang bikin aku ingin sepertimu.”
“Seperti gimana, Bang. Aku ndak ngerti.”

“Agama, Min. Agama. Aku ngaku Islam tapi tak pernah menjalankan sholat apalagi puasa. Malu aku, Min. Sebenarnya dari dulu aku ingin belajar seperti kamu, tetapi malu untuk bilang, Min. Malu dibilang sama orang-orang. Malu, sudah tua begini baru mau belajar shalat.”
“Bang, malu yang seperti itu yang tidak pada tempatnya,” tukas Parmin. “Kalau Abang mau aku bisa ngajari Abang sedikit sedikit.”

Bang Jono terbeliak. “Benar, Min? Kamu mau ngajari aku?”
Parmin mengangguk. Mungkin ini saat yang tepat bagi Bang Joni untuk kembali ke jalan yang lurus, setelah sekian lama berkutat dalam kelamnya masa lalunya.
“Aku mau ngajari Abang. Mungkin ini hidayah bagi Abang. Abang masih bisa menjalani puasa terakhir Ramadhan tahun ini,” kata Parmin.
Seusai makan sahur, Parmin mengajari Bang Jono kalimat syahadat dan surat Al Fatihah. Setelah azan Subuh bergema di mushola kampung sebelah, mereka pun melaksanakan sholat berjamaah. Parmin menjadi imam dan Bang Jono menjadi makmumnya.

Sore itu Bang Jono bersikeras untuk mencari lauk berbuka di warung Padang. Parmin sudah melarangnya tetapi Bang Jono bersikeras. Ternyata ia memang telah dinanti malaikat maut di perempatan itu. Sebuah mobil melindasnya sore itu, menjelang maghrib. Tangannya masih membawa 2 bungkus nasi padang untuknya berbuka berdua.

***
Parmin mengusap air matanya yang mengalir. Bang Jono yang telah ikut puasa terakhir, ternyata tak sempat menikmati indahnya takbir. Air matanya masih menetes. Bang Jono yang sangar itu meninggal dalam keadaan berpuasa meskipun sepanjang hidupnya nyaris tak pernah beribadah.

Jalan mati, siapa yang tahu? Manusia hanya bisa berusaha, Allah juga sang penentu akhir. Parmin masih duduk di tepi makam. Air matanya mulai mengering. Sejenak kemudian, ia bangkit dan berjalan gontai meninggalkan makam. Ia akan segera berkemas untuk mudik hari ini. Semalam, ia menemukan tiket di saku Bang Jono. Dua lembar tiket bus menuju kampung halamannya di Karangmurya.
Siang kemarin, Bang Jono memang bilang mau ikut mudik dengan Parmin. Ternyata ia mudik lebih dahulu ke kampung akhirat.


2 komentar:

Rhein Fathia mengatakan...

Karena kematian yang sudah pasti itu entah kapan akan datang...

Jadi inget ibu camer saya, pergi tepat satu hari setelah lebaran kemarin. Sedih rasanya... :'(

Dian Khristiyanti mengatakan...

Turut berduka cita, Mbak Rhein, semoga arwah beliau diterima di sisi Allah dan diampuni semua kesalahan beliau semasa hidupnya.
Semoga menjadi pembelajaran bagi kita yang masih hidup.

Posting Komentar