Parmin masih bersimpuh di tepian makam. Matanya membasah. Hari ini lebaran hari pertama dan Parmin masih di ibukota. Ia justru sedang berada di dekat sebuah kuburan baru di pinggiran kampung. Kuburan itu masih basah, tanahnya masih menggunduk, terdapat sedikit taburan bunga di sana, menunjukkan kalau kuburan itu memang benar-benar baru. Seseorang baru saja dikuburkan di situ. Seseorang yang dekat dengan Parmin, kawannya bekerja di bangunan ini. Ya, Bang Jono yang meninggal. Ia meninggal malam tadi setelah sore harinya tertabrak mobil yang melaju kencang. Nyawanya tak tertolong lagi setelah dibawa ke rumah sakit.

Parmin masih ingat benar apa yang ia bicarakan dengan Bang Jono kemarin malam, ketika sahur terakhir. Ketika itu barak sudah sepi karena sebagian besar kawan mereka mudik ke kampungnya masing-masing. Tinggal Parmin dan Bang Jono yang ada di sana, serta 2 orang sekuriti yang bertugas di luar.

Karangmurya, 13 Ramadhan 1432 H
Untuk Kang Parmin di Jakarta
Kang, bagaimana kabarmu? Baik-baik saja bukan? Kuharap demikian.  Meskipun berpuasa di tengah teriknya Jakarta  tidaklah mudah, kuharap Kang Parmin pun masih menjaga puasa Kakang.
Kang, di sini aku, kenang, emak, dan bapak dalam keadaan baik-baik saja.  Kami paham kalau Kakang tak pulang lebaran ini karena biaya mudik tak murah buat kita. Yang penting untuk biaya lahiran nanti ya Kang.

Kang Parmin sigaraning nyawaku,

Siang terik, matahari memanggang di atas kepala. Parmin duduk di tepi tumpukan batu bata yang terjajar dengan rapi. Dentaman palu, gemuruh mesin membuat siang itu menerik, menghanguskan kulit dan rambutnya, menguras peluh dari dalam tubuhnya.

“Puasa, Min?” kata Bang Jono yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Parmin menolehnya. Tampak Bang Jono sedang asyik membersihkan sisa makanan yang menyelip di giginya. Laki-laki itu lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Dihidupkannya dengan korek api, lalu dihisapnya dalam dalam.

Parmin meneguk ludahnya. Perlahan ia mengangguk. Puasa di siang terik begini, di tengah derunya pekerjaan proyek tidaklah ringan. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan menuntutnya banyak mengeluarkan tenaga dan keringat. Teman-temannya tak banyak yang puasa meskipun di KTP tertulis agama mereka Islam. Parmin memaklumi, tetapi ia tak mau ikut-ikutan. Biarpun berat, ia tetap berpuasa.


Dua jam sudah aku duduk di sini, di sudut taman kota, menunggumu menepati janji yang kesekian kali. Janji untuk bersemuka  seperti yang engkau ucapkan ketika itu.

Ramai orang lewat tak kuhiraukan, pandanganku hanya pada satu arah, jalan setapak yang menghubungkan taman ini dengan jalan raya. Kuharap kulihat sosokmu datang untuk sekadar menepati janji itu.

Dua jam bukan waktu yang sebentar meskipun aku selalu menyukai taman dan senja. Seiring menit yang laju, galauku semakin kelu. Tak jua engkau hadir, bahkan sekadar lewat kabar yang engkau kirim melalui ponsel.