“Hilang, Zid?”
Anak laki-laki sepuluh tahun itu mengangguk. Kepalanya menunduk, bibirnya mengatup. Emak pasti marah, pikirnya.
Senah menatap anaknya setengah tak percaya. Namun,
melihat ekspresi anaknya, lemaslah ia. Yazid tak berbohong. Anaknya
memang tak pernah berbohong. Kartu itu memang hilang. Kartu yang
digunakan untuk mengambil jatah daging itu tadi pagi diterima Yazid
seusai shalat ied. Yazid mengantonginya di saku celana. Anak itu lupa,
bahwa kantong celananya bolong dan kartu itu jatuh entah di mana.
Bukan karena Senah suka daging jika ia merasakan
kehilangan yang sangat. Namun, baginya, saat-saat pembagian daging Idul
Adha seperti ini adalah saat-saat yang tepat bagi anak semata wayangnya
itu untuk mendapatkan tambahan gizi. Makan daging bagi mereka memang
merupakan hal mewah, paling hanya terjadi jika hari raya Idul Adha
seperti ini atau ada tetangga yang akikahan. Ditelannya ludah untuk
membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
“Maafkan Yazid, Mak,” kata siswa kelas IV SD itu pelan.
“Tak apa, Yid, hari ini kita makan dengan ikan asin
saja, ya,” hibur Senah kepada Yazid. Yazid semakin menunduk. Matanya
berkaca-kaca. Teringat di benaknya ketika tadi ia melewati
rumah Imron, teman mainnya itu sedang membakar sate bersama ayahnya.
Betapa inginnya ia makan daging itu. Kata orang, daging akan membuat
tubuhnya kuat. Tak seperti dirinya sekarang yang kurus kering seperti
anak yang kurang gizi.
Melihat anaknya tertunduk, Senah pun bertanya, “Kenapa, Zid? Tak mau lauk ikan asin?”
Yazid menggeleng. Ia tahu, emaknya
pasti akan sedih jika tahu apa yang dipikirkannya. Emaknya sudah banyak
menderita selama ini. Sejak ayahnya pergi dengan perempuan lain tetangga
desa mereka, Yazid hidup seadanya bersama emaknya yang kemudian
terpaksa banting tulang demi mencukupi kehidupan mereka. Semua dilakukan
emaknya: menjadi buruh cuci baju, menyeterika, matun, atau pekerjaan apa saja yang diberikan oleh tetangga mereka yang sedang membutuhkan bantuan. Upahnya tak seberapa.
Bisa makan dengan ikan asin saja Yazid sudah
senang. Namun, mengingat daging sate milik Imron dan mencium bau gule
kambing dari rumah sebelah, pikiran Yazid mendadak berubah.
“Mak,” katanya pelan.
“Apa, Zid?”
“Bagaimana kalau Yazid meminta lagi ke masjid.”
Kening Senah mengkerut. Kepalanya menggeleng-geleng.
“Mak nggak setuju, Zid. Daging di masjid itu
pembagiannya pasti sudah dihitung hitung. Jatah daging kita tentu sudah
diambil oleh orang yang menemukan kupon itu, Zid.”
“Tapi, Mak…”
“Tapi kenapa?”
“Bukankah banyak yang minta ke masjid meskipun tak punya kupon?”
Maknya menggeleng-geleng.
“Tidak, Zid. Biarlah mereka meminta, tidak bagi
kita. Biarlah kita miskin, tapi jangan sampai kita menengadahkan tangan,
Zid. Jika memang jatah kita makan daging hari ini, kita pasti makan
daging, kok,” kata Senah lembut, tetapi tegas.
Yazid menunduk. Ia tahu betul prinsip emaknya.
Biarpun miskin, pantang bagi mereka untuk meminta-minta. Hanya harga
diri yang mereka punya, jangan sampai tergadai karena sepotong daging
yang enaknya hanya akan sampai di kerongkongan.
“Ya, Mak,” sahutnya lemah.
Melihat Yazid menunduk, emaknya tersenyum. “Makan,
yuk, Zid. Kalau perutmu kenyang, tentu kamu tak begitu bernafsu makan
daging lagi.”
Yazid mengangguk sambil tersenyum. “Mari, Mak. Biar Yazid yang ambil piringnya.”
Belum lagi Yazid beranjak, tiba-tiba terdengar
ketukan di pintu. Mas Amir, salah satu panitia kurban di masjid nampak
berdiri di depan pintu.
“Ada apa, Mas?” tanya Yazid dan emaknya serentak.
“Ini jatah dagingmu, Zid,” kata Mas Amir sambil mengulurkan sebuah bungkusan plastik hitam.
“Kak Mas tahu?” tanya Yazid keheranan.
“Tahulah, Zid. Kan ada namamu di dalam kupon itu.
Kebetulan tadi aku yang menemukannya. Sekalian saja kubawakan ke sini.
Lain kali jangan ceroboh, ya…”
“Ya, Mas,” sahut Yazid kegirangan. Kalau tak malu pada Mas Amir, tentulah ia sudah melonjak-lonjak.
“O, ya Yid, tadi jatah sate yang untuk panitia juga masih. Ini ada titipan dari panitia buat kamu dan emakmu.”
Mata Yazid berbinar-binar. Benar kata emak, jika daging
itu memang jatahnya, tentu hari ini ia akan makan daging. Rezeki
manusia tak akan tertukar dengan manusia lain. Tak perlu kita sangsi
atas kemurahan dan rahmat-Nya. Cukup kita bersyukur dan semuanya akan
terasa cukup. Ya, terasa cukup, begitu kata emaknya dulu. Yazid memang
belum paham, tapi ia mengangguk-angguk saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar