Di tepian sebuah hutan, tinggallah seorang anak lelaki bersama ibunya. Anak
lelaki ini bernama Cinde Laras dan ibunya bernama Dewi Limaran. Mereka
tinggal berdua di dalam sebuah gubug yang reot, tetapi hidupnya bahagia.
Pada suatu hari, ketika Cinde Laras sedang bermain
di halaman rumahnya, terbanglah seekor burung elang. Burung elang itu
menjatuhkan telur ke dekat kaki Cinde Laras.
“Hai, Cinde Laras, “ seru Elang kepada Cinde Laras.
“Burung Elang, “ seru Cinde Laras takjub, “Engkau bisa bicara?”
“Aku bawakan telur untukmu, Cinde Laras. Rawatlah ia!” seru Elang kapada Cinde Laras.
“Baiklah, Elang. Terima kasih, ya,” sahut Cinde Laras.
Ia pun kemudian memungut telur yang dijatuhkan oleh
Cinde Laras. Kebetulan ayamnya sedang mengerami telurnya, sehingga ia
pun menitipkan telur itu untuk ditetaskan. Ketika menetas, ternyata
seekor ayam. Ia pun merawatnya dengan baik sehingga ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat.
Istimewanya, ayam ini pandai berkokok dengan bahasa manusia.
Kalau berkokok, bunyinya seperti ini: Kukuruyuuuukkk…, Jagone Cinde Laras, Omahe tengah alas, Payone godhong klaras, Ibune Dewi Limaran, Bapake Raja Jenggala.
Jika diartikan, maka kokok ayam itu berbunyi: Kukuruyuuukk,
Jagonya Cinde Laras, Rumahnya di tengah hutan, atapnya dari daun bambu.
Ibunya bernama Dewi Limaran, Ayahnya adalah raja Jenggala.
Mendengar ayamnya berkokok seperti itu, Cinde Laras
yang telah tumbuh menjadi remaja tanggung pun bertanya kepada ibunya,
“Ibu, benarkan aku adalah anak Raja?”
Ibunya yang juga turut mendengarkan kokok ayam
jantan itu pun akhirnya bercerita. Sebenarnya ia adalah permaisuri raja
Jenggala. Oleh selir raja yang tak suka, ia pun difitnah. Raja pun
percaya pada fitnah itu.
Pada suatu hari, Raja berpura-pura mengajak Dewi
Limaran pergi ke hutan. Di tengah hutan, Dewi Limaran yang saat itu
sedang hamil muda tergiur melihat buah buni. Ia pun meminta Raja untuk
mengambilkan. Raja lalu memanjat pohon itu. Sesampainya di atas, bukan
buah buni yang diambilnya melainkan sarang semut. Dilemparkannya sarang
semut itu ke mata permaisuri. Permaisuri pun kesakitan dan mencari air
untuk membersihkan matanya. Di saat itulah, Raja meninggalkan permaisuri
sendirian.
Permaisuri yang akhirnya sadar kalau ditinggalkan
suaminya pun kemudian dengan susah payah mencari jalan keluar.
Sesampainya di tepi hutan, dengan dibantu penebang kayu yang kebetulan
lewat, ia pun mendirikan gubuk tempat ia dan anaknya kelak tinggal.
Mendengar cerita ibunya, mendidihlah darah Cinde Laras.
“Ibu, aku akan menuntut balas atas penderitaanmu
selama ini. Pokoknya Raja harus bertekuk lutut meminta maaf kepada Ibu,”
katanya.
“Jangan, Ngger. Ayahmu tak tahu kalau saat itu ibu
sedang hamil. Sudahlah, lupakan saja. Ibu tak mau kehilangan dirimu.
Raja Jenggala pasukannya banyak. Kamu bisa dibunuh mereka, nanti.”
“Tidak, Bu. Izinkan aku pergi. Aku tak akan pulang
jika belum membawa Raja untuk meminta maaf kepada Ibu. Selamat tinggal,
Bu, “ kata Cinde Laras kepada ibunya. Ia pun segera mengemasi
pakaiannya. Dibawanya ayam jago kesayangannya. Ia kan mengadu nasibnya
dengan ayam itu.
Pada zaman itu, menyabung ayam memang menjadi kebiasaan. Mereka menyabung ayam di tempat-tempat keramaian seperti pasar. Sabung ayam ini disertai dengan taruhan. Pada setiap tempat yang dilaluinya, Cinde Laras selalu menyertakan ayamnya dalam persabungan
itu. Karena ia tak memiliki apa-apa, maka ia selalu mempertaruhkan
nyawanya untuk dapat mengikuti sabung ayam itu. Jika ayamnya menang ia
akan mendapatkan uang dan jika kalah, maka nyawanya akan diambil oleh si
pemenang.
Untunglah, dalam setiap persabungan ayam Cinde
Laras selalu meraih kemenangan. Dan eloknya pula, setiap kali ia
memenangkan pertarungan, ayam itu pun keluar arena terbang ke dahan
pohon, lalu berkokok:
Kukuruyuuuukkk… Jagone Cinde Laras, Omahe tengah alaass, Payone godhong klaras, Ibune Dewi Limaran, Bapake Raja Jenggala.
Kesaktian ayam jago Cinde Laras terdengar pula
sampai ke telinga raja. Raja yang gemar pula menyabung ayam itu pun
mengundang Cinde Laras untuk manyabung ayam Cinde Laras dengan ayam
Raja. Mendengar hal itu, senanglah hati Cinde Laras. Sebentar lagi
dendamnya akan terbalas.
“Wahai Cinde Laras, apa yang hendak kau pertaruhkan dalam sabung ayam ini?” tanya Raja.
“Duhai, Baginda Raja, saya hanya punya nyawa saya
dan ibu saya. Maka saya akan mempertaruhkan nyawa saya jika ayam saya
kalah dalam pertarungan nanti.”
“Beraninya kamu mempertaruhkan nyawamu? “
“Berani, Baginda. Bahkan nyawa ibu saya pun akan saya pertaruhkan jika Baginda berkehendak.”
“Baiklah, Cinde Laras. Cukup nyawamu saja. Apa yang kau minta dariku jika ayamku yang kalah?’
“Saya hanya minta separuh dari kerajaan ini, Baginda.”
“Separuh, katamu? Bukankah itu terlalu besar?”
“Saya rasa, tidak, Baginda. Saya telah mengorbankan nyawa saya untuk pertandingan ini.”
“Baiklah, kalau begitu. Besok kita lakukan sabung ayam di alun-alun.”
Esok harinya, diadakanlah
sabung ayam di alun-alun. Ayam jantan Raja yang setiap hari dirawat
dengan istimewa tampak gagah bertengger di tepi arena. Ia
mengepak-ngepakkan sayapnya seolah menentang ayam Cinde Laras yang
kecil.
Pertarungan itu pun dimulai. Ayam raja yang besar
dengan garangnya menyerang ayam Cinde Laras. Sementara itu, ayam Cinde
Laras dengan lincah mengelak dari terjangan ayam Raja. Sorak sorai
menggema dari seluruh penonton. Semua orang menjagokan ayam raja yang
tampak tangguh itu.
Namun, lama-kelamaan ayam raja kelelahan. Tak sekali pun terjangannya mengenai ayam Cinde Laras. Tiba-tiba,
saat ayam raja sudah kelelahan, majulah ayam Cinde Laras dengan sekuat
tenaga. Diterjangnya ayam Raja hingga kepalanya berdarah. Leher dan
sayapnya juga tak lepas dari terjangan ayam Cinde Laras. Akhirnya, matilah ayam raja.
Melihat ayamnya kalah, raja pun menjadi lemas.
Namun, ia pun bisa menerimanya dengan lapang dada. “Baiklah, Cinde
Laras, aku mengaku kalah. Aku akan menyerahkan separuh kerajaan ini
padamu.”
“Baginda, kalau Baginda berkenan, serahkanlah
separuh kerajaan ini untuk ibu saya. Beliau menunggu saya di tepi
hutan,” kata Cinde Laras.
Tiba-tiba saja ayam Cinde Laras berkokok
“Kukuruyuuuukkk…, Jagone Cinde Laras, Omahe tengah alas, Payone godhong
klaras, Ibune Dewi Limaran, Bapake Raja Jenggala.”
Raja yang mendengar itu merasa heran. Namun, dipendamnya keingintahuannya itu.
Keesokan harinya, mereka pun menuju tepi hutan tempat tinggal Cinde Laras selama ini.
“Ibu, Ibu, “ seru Cinde Larar dari kejauhan.
“Cinde Laras? Kau selamat, Nak? “ tanya ibunya sambil berlari lari dari dalam rumah.
Sesampainya di luar, sejenak ia tertegun. Ternyata Cinde Laras datang bersama Raja yang tak lain adalah suaminya.
“Diajeng Limaran… ,” kata Raja tak sanggup berkata-kata.
“Iya, Kakanda. Cinde Laras adalah putra kita. Aku
tengah mengadung ketika Kakanda meninggalkanku di sini,” kata Dewi
Limaran sambil menangis.
“Dinda, maafkan aku, telah termakan hasutan Dewi Galuh. Maafkan aku, Dinda,” kata Raja sembari memohon.
“Ya, Kakanda, aku telah memaafkan Kakanda sejak Kakanda meninggalkanku di sini.”
“Terimakasih, Dinda,” kata Raja. “Cinde Laras,
sekarang kamu sudah besar. Kerajaan ini tak lagi separuh yang kuberikan
padamu, tetapi semuanya. Oleh karena itu, sekarang kita kembali ke istana bersama ibumu.”
“Baiklah, Baginda,” kata Cinde Laras.
Mereka pun kembali ke istana. Beberapa waktu
kemudian Cinde Laras menggantikan ayahnya menjadi raja. Sementara itu,
selir raja yang berhati jahat diampuni tetapi harus meninggalkan istana.
Mereka pun hidup bahagia sampai tua. Di bawah Cinde Laras, Kerajaan
Jenggala mencapai kejayaannya.
0 komentar:
Posting Komentar