Berulang kali kulihat lelaki itu. Lelaki bermuka buruk berwajah seram. Setiap kali aku berdiri di balik jendela dapur rumahku, kulihat ia tengah berdiri di seberang jalan dengan senyuman menyeringai. Matanya tajam, takut sekali aku dibuatnya.

Dia bukan tetanggaku. Aku tak pernah melihatnya selama ini. Kalau tetangga, pasti sekali dua aku pernah bersimpangan jalan dengannya. Tapi, siapa dia? Bajunya hitam, senyumannya menyeringai. Matanya yang tajam berwarna merah saga.

Aku pernah membaca di sebuah buku, katanya orang yang akan meninggal dunia akan didatangi oleh orang asing. Orang asing ini katanya merupakan jelmaan dari malaikat maut. Dia akan tampak sebagai laki-laki tampan jika yang meninggal orang saleh dan dia akan muncul sebagai laki-laki menyeramkan jika yang akan meninggal adalah orang yang banyak dosa.


“Jam berapa, Mbah?” tanyaku kepada Mbah Darmi yang masih duduk setengah tertidur di sampingku.
“Masih jam setengah empat, Le,” kata Mbah kepadaku. “Masih malam, tidurlah lagi.”
“Aku baru saja bermimpi tentang Ibu, Mbah.” Kulihat Mbah Darmi mengerutkan kening. Matanya yang tadi mengantuk mendadak melebar.
“Mimpi apa to Le… Sudah tidur lagi sana. Biar kamu cepat sehat.”
“Nggak bisa, Mbah, perih sekali rasanya mulutku.”

Sudah lima hari ini untuk kesekian kalinya aku dirawat di rumah sakit karena sariawan yang meradang tak kunjung sembuh. Entahlah, sejak kecil memang aku sakit-sakitan sehingga tak dapat bermain seperti teman-teman sebayaku. Kalaupun dapat, biasanya mereka pun akan menjauhiku. Alasannya, karena dilarang oleh orang tua mereka. Orang tua mereka memang tak mengatakan apa-apa padaku. Tapi pandangan mereka aneh terhadapku. Mungkin jijik, takut, atau kasihan, aku tak mengerti. Aneh saja, berbeda dengan tatapan Mbah Darmi padaku yang bisa menyejukkan hatiku ketika hatiku sakit karena ditolak bermain dengan teman sebayaku.