Siapa sih, yang tak
mau anaknya menjadi anak yang disiplin dan bertanggung jawab? Siapa pula yang
tak mau anaknya menjadi pribadi yang jujur dan dapat dipercaya? Saya yakin,
semua orang tua pasti ingin memiliki anak yang berkarakter terpuji ini. Anak
berkarakter adalah anak dambaan orang tua, yang nantinya diharapkan dapat
menjadi pioner dalam memajukan bangsa ini.
Namun, menjadikan
anak sebagai pribadi berkarakter bukanlah hal yang mudah, bukan pula hal yang instant. Tak ada istilah sim salabim dalam dunia pendidikan. Dan,
sekolah pertama bagi anak untuk membentuk karakternya adalah keluarga, di mana
ibu dan ayah memiliki peranan yang sama pentingnya.
Pendidikan seorang
anak dimulai ketika ia berada di dalam kandungan. Anak dalam kandungan sudah dapat merasakan
kasih sayang yang diberikan oleh orang tuanya. Bahkan, ia juga dapat merasakan
emosi yang sedang dialami oleh ibunya. Tak hanya merasakan, keadaan emosi yang
dimiliki sang ibu akan berpengaruh pula pada kepribadian anak. Misalnya, ibu
yang ketika hamil senantiasa dalam keadaan sedih atau marah, anak yang
dilahirkannya pun akan memiliki emosi yang kurang stabil misalnya mudah rewel
atau mudah marah. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, seorang ibu hamil
hendaknya menjaga agar emosinya stabil agar anak yang dilahirkannya nanti
adalah anak dengan emosi stabil pula. Tentu saja, dukungan dari suami sangat
berarti dalam hal ini karena bagaimanapun keadaan yang terjadi di lingkungan
ibu hamil sangat memengaruhi kondisi fisik dan mentalnya.
Ketika anak lahir,
mulailah pendidikan secara nyata dilakukan. Pendidikan bukan hanya mengajarkan
baca, tulis, dan hitung saja seperti yang selama ini dipahami oleh sebagian
besar orang. Pendidikan karakter merupakan hal mendasar yang harus kita berikan
kepada anak untuk sebagai dasar untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
Percuma saja menjadi anak dengan nilai matematika yang bagus, dengan nilai IPA
yang luar biasa, jika dia tidak berkepribadian yang baik, bukan?
Mendidik karakter
anak dilakukan secara informal, dengan
situasi yang seolah-olah tak dikondisikan seperti di sekolah. Mendidik karakter
tidak menggunakan silabus, tetapi ada tujuan yang harus dicapai, dengan
langkah-langkah yang dikondisikan oleh orang tua tanpa disadari oleh anak.
Selain itu, orang tua juga dapat memanfaatkan kejadian insidentil untuk
memasukkan nilai karakter pada anak. Nilai-nilai ini harus diterapkan secara konsisten
dan berkesinambungan agar terpatri dalam ingatan dan menjadi pijakan bagi
tindakan anak sehari-hari.
Misalnya, nilai
religius kita tanamkan dengan kebiasaan beribadah sesuai agama masing-masing
dengan melibatkan anak dalam aktivitas ibadah tersebut. Bagi pemeluk agama
Islam, misalnya dengan membiasakan anak mengikuti shalat berjamaah di rumah
atau di masjid. Dan ini tentunya harus dilakukan setiap saat agar anak terbiasa
melakukannya.
Selain kegiatan yang
bersifat rutin, orang tua dapat memasukkan nilai-nilai karakter melalu kejadian
insidentil. Misalnya, ketika kita melihat sampah yang berserakan di jalan, kita
bisa menunjukkan kepada anak bahwa yang demikian itu tidak baik. Kita bisa
mengatakan akibat-akibat yang terjadi jika sampah dibuang sembarangan dan
tindak lanjutnya, jika anak membuang sampah, harus dikondisikan agar dia membuang
sampah pada tempatnya. Bila dalam
perjalanan anak hendak membuang sampah bungkus jajannya, bisa kita sampaikan
padanya, “Disimpan dulu di tas, ya, Nak. Nanti kita buang kalau sudah menemukan
tempat sampah.”
Demikian yang
senantiasa saya lakukan jika menjemput atau mengantar anak saya ke sekolahnya
di TK. Jarak rumah yang cukup jauh membuat kami sering menemui hal-hal yang dapat
dimanfaatkan sebagai media pendidikan karakter. Selain masalah kebersihan
tersebut, saya juga memanfaatkan lampu merah untuk memasukkan nilai
kedisiplinan. Di mana pun, kapan pun, bagaimanapun kondisi jalan, jika lampu
merah saya selalu berhenti. Bahkan, ketika lampu kuning pun, saya memilih
mengurangi kecepatan dan berhenti tepat saat lampu merah menyala. Berbeda
halnya dengan pengendara lain yang banyak melanggar lampu merah (terutama jika
belok ke kiri). Melihat yang seperti ini, selalu saya katakan padanya,” Nak,
lihat orang itu. Tidak boleh ditiru, ya. Lampu merah kok dilanggar.” Anak pun
paham dan ketika ada orang yang melanggar lampu merah dengan lantangnya ia
berkata, “Buk, itu ada orang melanggar lampu merah. Salah tuuhh…” Saya pun
langsung menanggapinya dengan pujian baginya dan ajakan untuk tetap berdisiplin
mematuhi peraturan lalu lintas jika dia besar nanti.
Memang tak mudah
mendidik anak. Tapi, dengan ketelatenan dari orang tua, karakter yang baik akan
terbentuk. Namun, tak boleh dilupakan bahwa menyuruh anak untuk melakukan
kebaikan tak ada gunanya jika orang tua tak memberi contoh. Misalnya saja, kita
mengomel, menyuruh anak untuk menjaga kebersihan tetapi kita sendiri tak mau
melakukannya. Kita ribut jika anak berteriak keras-keras, sedang jika kita lupa
bahwa kita pun berteriak pada anak. Kita pusing karena sulit memerintah anak
untuk disiplin waktu, sementara kita juga sering melalaikan waktu. Mendidik
anak hendaknya memberikannya contoh, teladan terbaik yang dapat dilihat dan
ditiru oleh anak karena anak adalah peniru paling ulung di muka bumi ini.
Ibaratnya, anak adalah cermin diri kita. Jadi, sebelum menjadikannya pribadi
yang berkarakter, jadikanlah diri kita, orang tua, sebagai pribadi yang
berkarakter teladan bagi anak. Kita tentu tak mau semuanya sia-sia belaka,
bukan?
Salam.
0 komentar:
Posting Komentar