Bu Ratna namanya. Guru
favoritku, mengajarkan Bahasa Indonesia. Orangnya cantik dan santun. Ramah,
disiplin, dan selalu mengajarkan kejujuran kepada kami, meskipun sekarang tak
mudah untuk hidup dalam kejujuran. Setiap kali ulangan, beliau selalu menekankan
kepada kami agar kami jujur, paling tidak, tak membohongi diri kami sendiri
dengan nilai hasil contekan.
Namun, kami tetap kami, anak
SMP yang juga ingin mendapatkan nilai bagus. Tentu, agar kami tak dimarahi
orang tua kami. Tentu, agar guru-guru senang karena sudah berhasil mengajar.
Juga, tentu saja agar kami bisa membanggakan diri kami di hadapan teman-teman
karena nilai yang bagus. Apalagi jika dipuji guru di depan teman teman yang
lain. Tentu, hal ini akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi kami yang sedang
dalam masa aktualisasi diri.
Lalu, semua pun berjalan dengan
demikian adanya. Meskipun Bu Ratna tak pernah bosan mengingatkan kami agar kami
jujur, kami pun tak pernah bosan melanggarnya. Terakhir kali, satu setengah
bulan lalu, menjelang ujian nasional, beliau berpesan agar kami jujur dalam
mengerjakan ujian. Tak usah mencontek, karena teman belum tentu benar. Tak usah
mencari bocoran, karena yang tak lulus karena terlalu percaya bocoran pun
banyak.
Lalu, tawaran menggiurkan itu
menghampiri kami. Sebuah kalimat berhembus, cukup lima puluh ribu saja. Semua
mapel, semua paket. Beres. Tinggal siap dengan hape yang disilent di saku. Tak usah ragu, karena
sumbernya dari seorang guru sekolah x, madrasah y, yang kapabilitasnya tak
diragukan lagi. Menggiurkan, bukan?
Kami? Tentu saja tertarik.
Sekolah tiga tahun, dengan biaya yang tak sedikit, percuma rasanya kalau tak
lulus. Nilai jelek? Ah, susah cari sekolah yang bagus. Jadi, kalau ada tawaran
menggiurkan seperti ini, rasanya sayang kalau ditolak. Cukup lima puluh ribu.
Pengawas? Ah, gampang. Asal tak banyak gerak, mereka juga tak akan bertindak.
Mulus. Dan, sukses.
Selesai ujian, kami bisa bernafas lega karena sebagian besar jawaban kami
benar. Semua lulus. Semua siap bergembira. Tak ada yang tahu kalau kami
mendapatkan bocoran. Jadi, ketika hari pengumuman tiba, kami pun tak was-was.
Kami pasti lulus.
Memang benar. Semua bergembira
ria. Si Candra, temanku yang suka makan, bahkan menyembelih kambing untuk
syukuran. Semua orang tahu kalau Candra tak pandai. Bahkan, perkalian satu
sampai seratus pun masih kalah dengan adikku yang kelas tiga SD. Tapi, nilai
matematikanya 9,5. Katanya, ia kurang tebal dalam melingkari dua jawaban. Luar
biasa, bukan?
Lalu, sekolah pun ramai. Semua
guru bertanya-tanya. Bagaimana mungkin anak yang sehari-hari tak pandai dapat
memperoleh nilai sempurna?
Bu Ratna memanggilku, menanyakan
apa yang terjadi sebenarnya. Dengan mata beningnya ditatapnya aku yang entah
mengapa, tak pernah bisa berbohong terhadap guru yang sangat kusegani ini.
"Dedi mau bercerita kepada
Ibu?" tanyanya lembut. Matanya menatap mataku. seolah hendak membaca kebohongan
yang terpancar dari sana. Aku tak berkutik, tetapi terdiam di depannya sambil
menunduk dalam-dalam, seakan menahan beban yang sedemikian berat.
"Bocor, Ded?"
tanyanya dengan suara menahan tangis.
Aku kelu, tapi perlahan
kuanggukkan kepala. Aku tak mau bohong di depannya.
"Dari siapa?"
"Anak SMP Anu, Bu."
"Sumbernya?"
"Guru sekolah X dan
madrasah Y."
"Kamu yakin?"
Aku mengangguk.
"Mengapa?"
Aku tak kuasa menjawab.
"Mengapa kamu rega
berbohong pada Ibu, orang tuamu, dan kamu sendiri?" tanyanya perlahan,
nyaris tak kedengaran.
"Bu..."
"Ibu kecewa, Ded. Pada
kamu, pada teman-temanmu, pada guru-guru tak bermoral itu. Percuma setahun ini
Ibu memberikan pesan kejujuran kepada kalian kalau hanya karena nilau ujian
nasional saja kalian berani membohongi nurani."
BU Ratna menangis, menangis di
hadapanku. Beliau terisak-isak, bahunya berguncang-guncang, lalu sesaat
kemudian diam. Diam menatapku tanpa berkata apa-apa. Lama, lama sekali.
Aku tak tahu harus berkata apa.
Sesaat kemudian, aku pun keluar ketika Bu Ratna memberikan isyarat dengan
tangannya agar aku keluar.
Selamatlah aku dari rasa
bersalah karena melihat Bu Ratna menangis. Namun, sejak saat itu, tak kutemui
lagi senyum manis Bu Ratna ketika bertemu dengan kami. Raut mukanya kaku dan
hambar. Mungkin beliau kecewa pada kami tapi semua telah telanjur. Aku sendiri
tak puas dengan nilaiku meskipun rata-ratanya mencapai 9,5. Entahlah, ada
sesuatu yang hilang dari kebanggaanku bernilai bagus. Karena kupikir nilaiku
pun akan tetap bagus meskipun tak sebagus hasil contekan itu.
Aku memang merasakan
kehilangan yang tak kutahu apa itu, dan tak mungkin lagi kudapatkan karena
ujian telah lewat dan aku telanjur lulus dengan soal bocoran. Mungkin seperti
Bu Ratna yang mesti menelan kekecewaan karena murid-muridnya telah belaku
curang. Kupikir kami telah mati rasa karena hal ini. Kebanggaan itu memang tak
pernah kudapat, apalagi jika melihat roman muka Bu Ratna yang sangat datar,
seakan kehilangan ekspresi keceriaannya. Kupikir aku akan menyesali hal ini,
selamanya, karena aku kehilangannya sosoknya yang selama ini begitu hangat,
ramah, serta penuh semangat.
0 komentar:
Posting Komentar