Bab 4
Musim Panen Kopi

Perkebunan kopi itu membentang  di lereng hingga kaki gunung Wayang, membentang sejauh mata memandang, dari barat sampai ke timur. Dan, hebatnya perkebunan itu bukan milik Perhutani melainkan milik pribadi. Sebenarnya perkebunan kopi itu awalnya merupakan tanah milik banyak orang, namun entah mengapa, sang pemilik tanah satu per satu menjual tanah itu kepada Pak Husin, seorang tuan tanah dari kota kabupaten. Oleh sang pemilik baru, semua lahan yang dibelinya dijadikan sebagai perkebunan kopi.
Selain perkebunan kopi, Pak Husin juga mendirikan pabrik pengolahan biji kopi. Pabrik ini didirikan di ujung desa, dekat jalan besar. Di area pabrik terdapat gudang-gudang penyimpanan kopi yang akan diolah.  Sebagian besar masyarakat desa Sumberwayang menggantungkan nafkahnya dengan bekerja di perkebunan dan pabrik kopi. Mereka berpendapat, dengan bekerja di perkebunan, mereka akan mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan. Menurut mereka, hal ini lebih aman  karena hasil sawah yang hanya sepetak tak mampu diandalkan hasilnya. Terkadang hama yang menyerang dan harga panen yang merosot membuat mereka terus merugi. Banyak orang yang tak berjiwa merdeka sehingga mereka lebih memilih menjadi pegawai karena lebih aman dari segi penghasilan. Artinya, mereka bisa mendapatkan penghasilan bulanan. Kalau mereka mengolah sendiri lahannya, hasilnya tidak bisa dipastikan. Bisa banyak jika panen berhasil dan sangat sedikit bahkan merugi jika panen gagal.
Bab 3
Tentang Jazuli

Mutiara tepekur mengamati buku presensi kelas. Sudah beberapa hari terakhir ini Jazuli, anak kelas IX B, tak masuk sekolah tanpa  surat izin. Ini berarti dia sudah menyalahi aturan sekolah. Padahal, selama ini hal yang paling ditekankan Mutiara di sekolah adalah kedisiplinan. Paling itu, hal itulah yang hendak diterapkan Mutiara di sekolah ini, khususnya bagi dia dan murid-muridnya.
Untuk urusan guru lain, ia tak mau ikut campur karena disiplin adalah tanggung jawab pribadi. Ia hanya mau memberikan keteladanan bagi anak-anak didiknya. Selain datang pagi setiap hari, ia juga tak pernah terlambat masuk kelas. Mutiara paling tak bisa memberikan toleransi bagi anak yang terlambat atau membolos tanpa keterangan. Karena itulah ia merasa sangat kecewa terhadap Jazuli.
Siang itu, pada jam terakhir ia masuk ke kelas Jazuli. Kebetulan sang murid sedang masuk sekolah sehingga ia bisa menanyai Jazuli apa alasannya sering membolos. Kebetulan pula rumah Jazuli agak jauh dari tempat tinggalnya sehingga ia tak mengetahui apa latar belakang yang menyebabkan Jazuli sering membolos.
“Sudah enam kali kamu tak masuk tanpa izin. Kalau Ibu boleh tahu, kenapa, Li?” tanya Mutiara halus kepada Jazuli. Tak tampak kesan kesal apalagi marah di raut wajahnya meskipun ia jengkel bukan main pada Jazuli.
Yang ditanya tak menjawab, tetapi malah menundukkan kepalanya. Beberapa saat lamanya Mutiara menunggu jawaban Jazuli.
Tiba-tiba terdengar celetukan dari belakang,” Jazuli momong, Bu!”
Bab 2
Aroma Kopi dalam Balutan Hujan

Gerimis sore ini mengundang kabut. Mutiara mengatakannya udan salah mangsa karena hujan itu jatuh ketika Juli belum lagi selesai. Ini masih pertengahan kemarau. Namun, Mutiara selalu senang menikmati hujan, kapan pun hujan itu menjatuhkan dirinya. Apalagi setelah panas seharian, ia akan membaui aroma tanah yang menguap bersama turunnya titik-titik air itu. Aroma khas yang membuat ia selalu merindukan hujan.
Mutiara berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka. Kabut sudah mulai turun seiring dengan gerimis. Aromanya menyentuh penciuman Mutiara. Selain aroma tanah yang menguap, ia memang senang sekali membaui aroma kabut. Selalu saja ada nuansa masa lalu yang kembali menyentuh imajinya dalam kabut itu. Angin yang datang perlahan menyentuh tirai angin berbentuk bintang-bintang menghadirkan dentingan yang terasa sungguh merdu di telinga Mutiara.
Rumah ini begitu sepi. Hanya Mutiara bertiga dengan Mak Yem dan Bu Wiryo di rumah yang cukup besar ini. Mak Yem, pembantu tua yang sudah seperti saudara itu telah bekerja sejak Mutiara belum lahir. Ia mencintai Mutiara seperti anaknya sendiri. Tak hanya karena ia tahu semua sejarah hidup Mutiara sehingga ia sangat sayang kepada  gadis itu, tetapi juga karena perilaku Mutiara yang lembut dan selalu menghormatinya.
Mutiara Namanya

Pagi yang berkabut di lereng gunung Wayang. Gunung Wayang, sebuah gunung yang tak aktif lagi di sudut utara provinsi Jawa Tengah. Di sisi selatan lereng gunung ini terdapat sebuah desa yang merupakan salah satu sentra perkebunan kopi. Desa Sumberwangi namanya. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani sayur dan palawija sedangkan sebagian yang lain bekerja di perkebunan dan pabrik pengolahan kopi terbesar di kota ini.
Pada pagi yang berkabut seperti ini, kebanyakan orang  masih enggan keluar dari rumah. Mereka lebih memilih untuk nongkrong di depan tungku sambil menjerang air dan membakar ubi kayu. Di depan pawon, mereka akan duduk di dingklik, berselimut sarung sambil menunggu air mendidih.
Dulu, ketika aku masih kecil, ia pun sering melakukan hal yang sama, menjerang air dan membakar ubi kayu, ditambah sedikit garam akan terasa gurih. Sayang, sudah lama sekali aku tak menikmatinya. Sejak lulus kuliah dan mengajar di SMP Bakti Bangsa, aku tak punya lagi kesempatan untuk menjerang air pagi hari sambil membakar ketela. Kecuali hari Minggu tentu saja. Namun, ia pun akan melewatkan kebiasaan masa kecilnya itu karena ia lebih suka pergi ke pasar sayur untuk sekadar berbelanja sayur untuk dimasak hari ini sampai tiga hari ke depan.
Setelah matahari agak tinggi, barulah orang-orang itu beranjak dari rumahnya untuk pergi ke sawah atau ladang. Jika mereka bekerja untuk orang lain, tentunya mereka akan berangkat pagi-pagi. Hal ini pula yang kulakukan setiap hari. Berangkat pagi-pagi dari rumah untuk menuju ke tempat kerjaku, di SMP Bakti Bangsa. Meskipun hari dingin dan berkabut, pekerjaan itu tetap kulajalani dengan riang gembira. Dunia anak-anak itu memang duniaku.
Pagi ini, seperti hari-hari biasanya, aku sudah tegak di pintu gerbang sekolah. Hanya sekolah kecil dengan 6 lokal kelas kecil, ditambah satu kantor guru, ruang kepala sekolah yang dihubungkan dengan tuang tata usaha, serta sebuah perpustakaan kecil tempat anak-anak membaca dan mencari sumber referensi. Sekolah itu dulu didirikan oleh almarhum ayah angkatku dan aku merasa berkewajiban untuk melanjutkan apa yang telah dirintis oleh ayah, meskipun tak ada yang bisa diharapkan dari sekolah ini selain pengabdian. Nasib baik kemudian membawaku menjadi PNS pada penerimaan tahun ini, lalu sekaligus menjadi guru negeri yang diperbantukan di sekolah swasta ini. Hal ini semakin mengukuhkan tekadku untuk tetap berbakti di sekolah ini, di desa terpencil di lereng gunung, tempat sebuah perkebunan kopi membentang luas.
Sambil menunggu anak-anak yang berdatangan, Mutiara memandang gunung Wayang yang angkuh berdiri nun jauh di utara. Gunung itu  tengah diselimuti kabut yang cukup tebal. Memang, gunung ini cukup tinggi sehingga kabut seringkali datang menyelimutinya. Mutiara selalu menyukai aroma kabut. Aroma khas yang tak pernah ditemuinya ketika ia bersekolah di kota. Aroma kabut ini pula yang membuatnya selalu merindukan suasana gunung ketika ia tengah berada jauh dari desanya.


Minggu pagi nan cerah di Ceruk.  Ceruk, sebuah tempat datar yang  tak begitu luas di  pegunungan Wayang, tetapi indah. Tempat itu biasa digunakan orang-orang untuk bersantai menikmati pemandangan. Seorang perempuan, berusia 28 tahunan tengah asyik menikmati pagi di sana bersama seorang bocah kecil. Mungkin setahun usianya. Bocah yang belum begitu tegak jalannya itu tengah asyik mengejar bolanya yang berlarian ke sana kemari. Tak ayal, sebentar-sebentar ia jatuh dan si perempuan akan bergegas untuk membantunya berdiri kembali.
“Pagi yang indah ya, Bin…,” kata perempuan itu kepada si bocah.
Bocah kecil yang sedari tadi asyik mengejar bola itu tiba-tiba berhenti dan menguap.