Bab 3
Tentang Jazuli

Mutiara tepekur mengamati buku presensi kelas. Sudah beberapa hari terakhir ini Jazuli, anak kelas IX B, tak masuk sekolah tanpa  surat izin. Ini berarti dia sudah menyalahi aturan sekolah. Padahal, selama ini hal yang paling ditekankan Mutiara di sekolah adalah kedisiplinan. Paling itu, hal itulah yang hendak diterapkan Mutiara di sekolah ini, khususnya bagi dia dan murid-muridnya.
Untuk urusan guru lain, ia tak mau ikut campur karena disiplin adalah tanggung jawab pribadi. Ia hanya mau memberikan keteladanan bagi anak-anak didiknya. Selain datang pagi setiap hari, ia juga tak pernah terlambat masuk kelas. Mutiara paling tak bisa memberikan toleransi bagi anak yang terlambat atau membolos tanpa keterangan. Karena itulah ia merasa sangat kecewa terhadap Jazuli.
Siang itu, pada jam terakhir ia masuk ke kelas Jazuli. Kebetulan sang murid sedang masuk sekolah sehingga ia bisa menanyai Jazuli apa alasannya sering membolos. Kebetulan pula rumah Jazuli agak jauh dari tempat tinggalnya sehingga ia tak mengetahui apa latar belakang yang menyebabkan Jazuli sering membolos.
“Sudah enam kali kamu tak masuk tanpa izin. Kalau Ibu boleh tahu, kenapa, Li?” tanya Mutiara halus kepada Jazuli. Tak tampak kesan kesal apalagi marah di raut wajahnya meskipun ia jengkel bukan main pada Jazuli.
Yang ditanya tak menjawab, tetapi malah menundukkan kepalanya. Beberapa saat lamanya Mutiara menunggu jawaban Jazuli.
Tiba-tiba terdengar celetukan dari belakang,” Jazuli momong, Bu!”

 Itu suara Bagong, anak berubuh pendek gempal yang sebenarnya sewaktu baru lahir diberi nama Bagus oleh orang tuanya. Anak-anak yang mendengar celetukan Bagong tertawa. Jazuli menunduk lesu. Ia malu karena teman-temannya tahu bahwa  ia membolos karena momong adik-adiknya yang ditinggal ibunya buruh gorek di kebun kopi.
“Betul, Li?” tanya Mutiara pelan.
Jazuli mengangguk. Anak itu bahkan tak berani mengangkat mukanya.
“Ibumu?”
“Terkadang ikut buruh gorek, Bu, adik saya yang paling kecil tak mungkin diajak. Di sana banyak semut merah.”
“Bapakmu?”
“Kerja, Bu. Jadi buruh tani.”
“Berapa saudaramu?” tanya Mutiara kemudian.
“Enam, Bu.”
“Enam?” Mutiara terbelalak. Berarti mereka tujuh bersaudara. Uang hasil buruh tani tentu sulit untuk mencukupi kebutuhan sembilan anggota keluarganya.
“Ibunya sedang hamil anak kedelapan, Bu,” seru sebuah suara lagi. Kali ini dari sisi kiri.
Anak-anak yang mendengar celetukan itu ikut tertawa. Kali ini agak gaduh.
“Sudah, sudaaah…” seru Mutiara agak keras menghadap kelas yang gaduh.
“Benar, Li?” tanyanya kemudian kepada Jazuli. Anak laki-laki tanggung itu semakin menunduk.
Mutiara menarik nafas panjang. Bukan main. Keluarga pas-pasan tetapi berani memiliki banyak anak. Tujuh anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan seorang yang masih di kandungan tentu membutuhkan gizi yang cukup agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Lalu, berapa pendapatan ayahnya sebagai buruh tani? Tak tentu. Jika sedang dibutuhkan tenaganya, mungkin dua puluh lima ribu bisa tergenggam di tangan setelah bekerja sehari. Namun, jika tidak?
Mutiara tak habis pikir. Pantas saja, ibunya ikut buruh gorek dan adiknya terpaksa tak ada yang menjaga di rumah.
“Kamu akan ketinggalan pelajaran, Li,” kata Mutiara pelan.
Jazuli menunduk, “Ya, Bu,” sahutnya. “Tapi bagaimana lagi?”
“Kamu kan bisa bantu kalau pulang dari sekolah.”
“Dapatnya sedikit, Bu. Kurang buat biaya makan kami.”
Tiba-tiba saja Mutiara ikut pusing memikirkan nasib Jazuli. Anak ini memang tak begitu pandai, namun ia tak nakal, bahkan terkadang lucu.  Anak laki-laki kecil berkulit hitam terbakar dengan rambut keriting kemerahan itu seringkali membawakan Mutiara buah wuni dari hutan. Wuni?  Itu lho, buah kecil-kecil mirip buah salam yang rasanya asam bukan main. Agak keras, namun segar untuk dicecap. Sewaktu kecil dulu, Mutiara sering ke hutan untuk mencari buah wuni.  Terkadang, jika ia merindukan masa lalunya, ia bercerita kepada anak-anak tentang buah wuni dan juwet yang biasa dipetiknya. Dan esok harinya, pasti ada seorang anak yang akan membawakannya buah kecil-kecil berwarna hijau kemerahan itu. Jazuli salah satunya. Mutiara senang menikmatinya dengan bumbu rujak ketika kecil dulu bersama Berlian, tetapi sekarang ia cukup memandangi buah-buah itu karena ternyata seleranya telah berubah, ia tak lagi suka asam-asam sekarang.
“Begini, Li, Ibu berniat menolong kamu, tetapi sampai hari ini Ibu belum menemukan solusi. Kamu tunggulah beberapa hari lagi. Namun, ingat, jika memang kamu berhalangan masuk karena harus momong adikmu, orang tuamu harus membuatkan surat izin. Ini sekolah, Li. Ini institusi resmi,  bukan tempat bermain yang bisa seenaknya saja orang keluar masuk,” kata Mutiara.
Jazuli mengangguk. “Ya, Bu. Maafkan saya,” katanya.
Sesampai Mutiara  di rumah, gadis itu masih saja terbayang-bayang dengan kondisi perekonomian keluarga Jazuli. Tiba-tiba ia teringat akan emaknya yang terlunta-lunta dalam keadaan hamil besar tak tahu harus ke mana karena ditinggalkan oleh suaminya. Untunglah saat itu Pak Wirya datang sebagai dewa penolong sehingga emak dan dia tak harus menggelandang.
Jazuli memang tak menggelandang. Sepulang sekolah tadi, dengan naik ojek, disempatkannya melewati rumah Jazuli yang terletak di kampung sebelah. Rumah yang sungguh tak layak dikatakan rumah. Gentingnya memang bukan genting rumbia, tetapi dindingnya hanyalah terbuat dari anyaman bambu yang penuh lubang di sana-sini. Lantainya dari tanah. Mutiara tak dapat membayangkan, bagaimana mereka bersembilan dapat tinggal berdesakan di rumah berukuran 30 meter persegi itu. Bagaimana bisa?
Mutiara sedih membayangkan nasib Jazuli. Kemiskinan benar-benar membelit keluarga itu. Kemiskinan pula yang mungkin menyebabkan ibu Jazuli tak ber-KB sehingga anaknya sebanyak itu. Mutiara bersyukur, nasibnya jauh lebih baik dari Jazuli, meskipun ia tak mengenal bapaknya. 
“Kamu melamun, Tiara?” tanya Bu Wirya tiba-tiba. Rupanya Mutiara tak sadar jika tingkahnya telah diperhatikan Bu Wirya sejak beberapa saat yang lalu.
Mutiara tergeragap. “Eh, Ibu,” katanya terkejut. Diulaskannya senyum tipis kepada wanita 60 tahunan itu.
“Ada apa? Bilang pada Ibu.”
“Hanya masalah pekerjaan, kok Bu.”
“Kenapa? Kamu belum bosan menjadi guru, kan?”
Mutiara tertawa kecil. “Ah, ibu ada-ada saja,” sahutnya,” mana mungkin bosan, Bu. Mengajar itu kan panggilan hati saya. Lagipula,  separuh jiwa saya adalah anak-anak itu, Bu.”
“Lalu kenapa kamu tampak murung begitu?” tanya Bu Wirya.
“Ibu mau mendengarkan cerita saya?”
“Kenapa tidak? Rasanya kita sudah lama tak saling cerita, ya,” sahut Bu Wirya.
Mutiara tersenyum kecil. Ya, selama ini ibunya memang cenderung lebih menutup diri dari Mutiara. Mutiara hanya dekat dengan Pak Wirya, sementara kepada Bu Wirya, entah mengapa, ia selalu merasa ada batas yang tak terurai antara mereka.
Selama ini Bu Wirya memang lebih sibuk memperhatikan Berlian. Anak itu memang menjadi pusat perhatian di rumah ini, sehingga ketika ia pergi dan hanya Mutiara di rumah itu, sikap Bu Wirya masih kaku seperti dulu. Memang susah untuk mengubah sikap yang sudah tertanam selama bertahun-tahun.
Mutiara merasakan, apa yang dilakukan Bu Wirya sore ini merupakan sebuah langkah baik bagi hubungannya dengan ibu angkatnya itu. Setidaknya, sekarang mereka bisa saling berbagi rasa yang menggelisahkan hati.
“Murid saya, Bu. Namanya Jazuli. Kasihan dia,” kata Mutiara memulai ceritanya. Lalu, mengalirlah dari mulutnya cerita tentang Jazuli, seorang anak buruh tani, anak pertama dari tujuh bersaudara yang sebentar lagi akan memiliki adik ketujuh.
“Saya ingin menolong keluarga itu tetapi tak tahu harus bagaimana. Membantu secara finansial dengan langsung memberikan uang mungkin bisa membuat mereka tersinggung, Bu.”
Bu Wirya menyimak cerita itu dengan saksama. Dalam benaknya, ia teringat dulu betapa dermawannya Pak Wirya, suaminya. Suaminya yang baik hati itu begitu peduli terhadap kesusahan yang dialami oleh orang lain. Kebaikannya pula yang mengantarkan Mutiara menjadi anak angkatnya dan menurut kepercayaan pula, anak angkat itu bisa dijadikan sebagai pancingan agar memiliki anak sendiri. Dan memang terbukti, nyatanya ia sekarang memiliki Berlian. 
Ia pun kemudian membayangkan bagaimana reaksi almarhum suaminya jika ada orang yang sangat membutuhkan pertolongan seperti ini. Suaminya yang dermawan itu pasti akan mengulurkan tangannya untuk memberikan bantuan kepada keluarga Jazuli, jika ia masih hidup. Tiba-tiba terbersit sebuah niat dalam benaknya.
“Kita bisa menolong mereka, Tiara,” katanya mantap.
“Benarkah, Bu?” tanya Tiara melonjak. Hatinya girang bukan main melihat reaksi ibu angkatnya yang demikian baik. Sungguh tak dinyana. Ia tahu, Bu Wirya orang baik, namun selama ini ibu angkatnya itu lebih banyak diam, mengikut apa kata suaminya. Wanita itu jarang bicara, hanya jika perlu saja. Ia sungguh tak tahu, apa yang bermukim di benak orang yang tak banyak bicara seperti Bu Wirya.
“Tentu saja,” kata Bu Wirya. “Kita punya sepetak tanah yang belum tergarap di sudut desa itu, Tiara. Sejak bapakmu meninggal, ibu memang tak tahu harus berbuat apa. Tanah itu teronggok begitu saja, tak ada yang merawat. Kamu bisa minta kepada ayahnya Jazuli untuk mengolah tanah itu. Semua biaya perawatan tanaman dari kita. Nanti hasilnya bisa dibagi berdua, antara kita dengan mereka. Kalau toh mereka membutuhkan, biarlah bagian kita juga untuk mereka. Kita hanya butuh orang yang bisa merawat peninggalan bapakmu saja, kok. Mungkin ini bisa sedikit meringankan beban mereka.”
“Benarkah, Bu?” kata Mutiara masih tak percaya. Ketika dilihatnya ibunya itu mengangguk dengan mantap, ia dengan spontan memeluk wanita itu. Bu Wiryo membalasnya dengan pelukan yang tak kalah hangat. Tiba-tiba ia merasa dekat dengan perempuan yang mupu dia semasa bayi itu. Demikian pula halnya yang terjadi dengan Bu Wirya. Tiba-tiba ia merasa dekat dengan  gadis yang diangkatnya sebagai anak sejak sebelum anak itu dilahirkan. Semua ini pasti karena tak ada Berlian di sisinya. Ya, selama ini kasih sayang Bu Wirya hanya untuk Berlian dan sedikit sekali yang ia limpahkan kepada Mutiara.
“Oh, ya, selama tanah itu belum mengeluarkan hasil, emaknya Jazuli suruh bantu-bantu Mak Yem di sini saja. Lumayan bisa buat persiapan lahiran bayinya nanti,” kata Bu Wirya kemudian.
Inggih, Bu, terimakasih,” kata Mutiara kepadanya ibunya.
Entah mengapa, hari ini ia merasa sedemikian dekat dengan ibunya itu. Sesuatu yang selama ini tak pernah dirasakannya. Ada rasa hangat menjalar di dalam hatinya. Ia tak lagi merasa sesepi kemarin. 
“Besok saya akan langsung ke rumah Jazuli, Bu,” kata Mutiara kepada ibunya.
Ibunya mengangguk sambil tersenyum Dalam hati ia berpikir bahwa sifat-sifat suaminya memang menurun kepada Mutiara. Sifat dermawan dan suka menolong orang lain yang sedang berada dalam kesusahan. Ia pun mengerti, mengapa dulu Pak Wirya begitu sayang terhadap Mutiara meskipun Tiara hanyalah seorang anak angkat. Dulu, terkadang ia cemburu terhadap perhatian Pak Wirya yang demikian berlebih kepada Mutiara, tak ada bedanya dengan Berlian yang anak kandungnya. Hari ini dia paham mengapa Pak Wirya seperti itu. Sikap Mutiara memang tak ada celanya, pantaslah kalau dia disayangi oleh semua orang.
Esok harinya,  sepulang dari sekolah Mutiara singgah di rumah orang tua Jazuli. Kebetulan ibu Jazuli sedang berada di rumah. Perempuan yang tengah payah hamil itu sedang meraut daun pandan untuk dijadikan tikar. Dua anaknya yang masih kecil tampak bermain tanah di sebelahnya duduk, di sebuah dingklik kecil. Kakinya berselonjor, tampak susah menahan perutnya yang memberat.
“Assalamualaikum, Bu,” sapa Mutiara.
“Waalaikum salam,” sahutnya. Perempuan itu rupanya tak mengira kalau akan ada orang yang bertamu ke rumahnya. Keningnya berkerut, tak mengenali siapa yang datang. Selama ini ia memang tak pernah mengambilkan raport Jazuli sehingga ia tak mengenal Mutiara.
“Saya gurunya Jazuli, Bu,” kata Mutiara memperkenalkan diri. “Putrinya Pak Wirya.”
“O, Bu Mutia. Jadi ini Bu Mutia. Wah, cantik sekali, Jazuli sering bercerita tentang Ibu,” kata Ibu Jazuli.
Mutiara tersenyum. “Ah, biasa saja, Bu. Kebetulan Ibu ada di rumah, saya ada keperluan sedikit dengan Ibu,” kata Mutiara sambil berjongkok di sisi wanita itu.
“Ah, jangan jongkok, Bu, mari masuk ke dalam,” kata ibu Jazuli sambil berusaha bangkit dari tempat duduknya.
Namun, Mutiara menolaknya dan meminta ibu Jazuli kembali duduk. “Ibu, di sini saja. Saya tak lama, kok. Lagian, kasihan Ibu. Sudah berapa bulan kehamilannya, Bu?”
“Jalan tujuh bulan, Bu,” kata ibu Jazuli. Sesungguhnya ibu Jazuli belum begitu tua, mungkin hanya beberapa tahun di atas Mutiara usianya. Namun, beratnya beban hidup membuat wanita kurus itu tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya yang sebenarnya.
“Begini, Bu, saya ke sini datang untuk membicarakan masalah Jazuli,” kata Mutiara.
“Ada apa dengan anak itu, Bu?” tanya ibu Jazuli. Hatinya sungguh takut kalau-kalau guru cantik itu membawa berita tentang kenakalan Jazuli.
“Ah, tak apa, Bu, anaknya tak nakal, kok,” kata Mutiara seolah dapat menebak jalan pikiran ibu Jazuli.
“Lalu?”
“Begini, Bu. Jazuli sering sekali bolos, tak masuk tanpa keterangan. Ketika saya tanya, alasannya momong adiknya di rumah. Benarkah itu, Bu?”
Ibu Jazuli mengangguk, kepalanya tertunduk. “Maaf, Bu Guru, memang demikian adanya. Terpaksa anak itu saya suruh menjaga adiknya jika saya ikut buruh gorek.”
“Tapi Jazuli akan ketinggalan pelajaran, Bu. Sayang, kan? Apalagi sekarang ia sudah duduk di kelas sembilan.”
“Iya, Bu, saya mengerti. tapi bagaimana lagi? Kami butuh uang untuk biaya makan.”
“Saya mengerti keadaan Ibu. Begini. Kalau Ibu mau, saya datang untuk menawarkan sebuah jalan keluar.”
“Maksud Bu Guru?”
“Maaf,  bukan saya mau mencampuri keadaan keluarga Ibu. Sekali lagi, saya minta maaf kalau apa yang saya katakan nanti menyinggung keluarga Ibu.”
“Tak apa, Bu Guru. Kalau ini demi kebaikan kami, pasti kami akan menerimanya dengan senang hati.”
“Begini, Bu. Kemarin ibu saya menawarkan tanah kami yang ada di sudut desa untuk digarap oleh Bapak. Semua biaya perawatan dari kami, sedangkan hasilnya bisa dibagi dua. Kalaupun keluarga ini membutuhkan,  semua hasilnya juga tak apa. Yang penting Bapak dan Ibu punya tanah garapan yang tetap dan Jazuli bisa tetap sekolah tanpa harus sering bolos.
“Maksud Bu Mutia, suami saya diminta untuk mengerjakan tanah milik Pak Wirya, begitu?”
“Benar sekali, Bu. Tanahnya lumayan luas, sudah ada beberapa tanaman keras di sana. Sayangnya, sejak Bapak meninggal tanah itu tak terawat dengan baik. Itu kalau Ibu sekeluarga tak keberatan.”
“Tentu saja tidak, Bu,” kata ibu Jazuli. “Saya malah berterima kasih sekali. Ini pertolongan bagi kami. Terima kasih banyak, Bu,” kata perempuan itu sambil mengusap air matanya.
Mutiara menganggukkan kepalanya. “Nanti akan saya sampaikan kepada Ibu, Bu. Oh, ya, pesan Ibu, sebelum Ibu melahirkan, Ibu bisa membantu Mak Yem di rumah kami.  Hitung-hitung buat tambahan biaya lahiran nanti.”
“Iya, iya Bu Guru. Terima kasih banyak. Besok saya akan ke sana sekaligus mengucapkan terima kasih saya secara langsung.”
“Baiklah kalau begitu, Bu. Saya harap, setelah hari ini Jazuli tak lagi membolos sekolah, Bu,” kata Mutiara.

Perempuan itu mengangguk-angguk dengan roman muka bahagia. Berkali-kali ia mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Mutiara sampai gadis itu merasa jengah. Tiba-tiba Mutiara teringat lagi akan emaknya dulu. Mungkin emaknya pun akan merasakan kelegaan yang sama ketika Pak Wirya datang untuk mengulurkan bantuannya ketika raga dan jiwanya hampir tak kuat lagi menopang hidupnya.

0 komentar:

Posting Komentar