dari google
Sepi. Hujan di luar belum lagi deras. Namun, kabut tipis yang menebarkan aroma galau tampak terasa di hati Ilham. Galau hatinya terbawa gerimis yang turun setitik demi setitik. Kegelisahan merejam hatinya di ujung penantiannya. Ya, penantiannya atas sebuah kabar.
Tak pernah begini. Biasanya sms-nya selalu berbalas. YM-nya selalu bersambut. Facebooknya selalu berjawab. Kalau bukan ia yang menghubungi, pasti gadisnya yang akan menyapanya terlebih dahulu. Sekadar say hai, sekadar mengingatkan makan siang, atau justru sekadar laporan peristiwa apa yang sedang dilakukannya. Di mana dia?
Seingatnya, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya untuk menyakiti gadis itu. Ya, Moza terlalu baik untuk disakiti. Dia selalu menerima Ilham dengan segala kelapangan dadanya. Memberinya perhatian berlebih, atau hanya sekadar senyum hangat pembangkit semangat.
Dikenalnya gadis itu suatu masa yang lalu, di sebuah tempat beraroma kabut. Baginya, menikmati kabut, menciumnya dalam putih yang gelap merupakan suatu hal yang sangat menggairahkan. Dan ia menemukan kesukaan yang sama dari gadis itu. Mereka menikmati putihnya kabut dalam nuansa cinta yang tak terpahami.